“Guna memitigasi risiko sistemik di sektor keuangan, Bank Indonesia (BI) terus memperkuat kebijakan makroprudensial. Kebijakan ini ditempuh dengan mengarahkan pengendalian kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi“ (Enciety.co, 2014)
Laju perekonomian bangsa Indonesia masih dikategorikan baik, meskipun berjalan lambat. Kondisi perekonomian sangat dipengaruhi oleh berbagai sektor. Sektor yang sangat berpengaruh adalah sektor keuangan. Ancaman sektor keuangan pun pernah mendera bangsa Indonesia. Betapa kerasnya bangsa Indonesia untuk bangkit dari krisis yang terjadi pada tahun 1998 menjadi sebuah pelajaran yang berharga. Bangkit dari keterpurukan krisis keuangan tersebut membutuhkan biaya yang mahal. Bukan hanya itu, waktu untuk recovery-pun membutuhkan waktu yang lama. Dengan adanya krisis tahun 1998 memberikan bukti bahwa ketahanan di sektor keuangan merupakan aspek yang sangat penting dalam membentuk dan menjaga perekonomian yang berkelanjutan. Sistem keuangan yang tidak stabil akan mengganggu jalannya perekonomian (www.bi.go.id).
Tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi terulangnya krisis tahun 1998 dilakukan dengan memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) terhadap perkembangan perbankan Indonesia. Menurut laman Financeroll.co.id (2013), Direktur Eksekutif Kebijakan MakroPrudensial Bank Indonesia mengatakan bahwa perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh perubahan ekonomi global dengan anjloknya komoditas yang mempengaruhi nilai ekspor Indonesia. Dengan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang akan dijalankan mulai tahun 2013, supaya krisis ekonomi, inflasi dan pengangguran tinggi seperti tahun 1998 tidak terjadi. Bank juga harus patuh mendukung industri keuangan. Apalagi menurut Gubernur Bank Indonesia Darmin Nasution pada tahun 2012 pernah mengungkapkan, bahwa kebijakan terhadap sistem keuangan sangat penting, karena krisis yang bisa saja datang dari dalam dan luar negeri. Namun, krisis yang datang dari dalam perlu lebih diwaspadai lantaran lebih sulit terdeteksi (Imam Sukamto, 2012).
Perlunya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)
Apa yang dimaksud dengan sistem keuangan? Sistem keuangan dapat diartikan sebagai kumpulan institusi, pasar, ketentuan perundangan, peraturan-peraturan, dan teknik-teknik di mana surat berharga diperdagangkan, tingkat bunga ditetapkan, dan jasa-jasa keuangan (financial services) dihasilkan serta ditawarkan ke seluruh bagian dunia. Dalam prosesnya, sistem keuangan terdiri dari otoritas keuangan, sistem perbankan, dan sistem lembaga keuangan bukan bank, pada dasarnya merupakan tatanan dalam perekonomian suatu negara yang memiliki peran utama dalam menyediakan fasilitas jasa-jasa keuangan. Fasilitas jasa keuangan tersebut diberikan oleh lembaga-lembaga keuangan, termasuk pasar uang dan pasar modal. (Peter S. Rose, 2000 dalam Dwi Wulan Ramadani,& Dedi Rahman, 2013). Sistem keuangan berfungsi dalam mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus kepada pihak yang mengalami defisit. Jika, sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya (www.bi.go.id).
Tindakan untuk menjaga stabilitas keuangan yang dilakukan oleh bank sentral, juga dilakukan di beberapa negara, seperti Inggris, Australia, Korea dan Malaysia. Untuk menjaga stabilitas keuangan sudah termasuk dalam tugas pokok Bank Indonesia, yaitu mencapai dan memelihara stabilitas Rupiah melalui stabilitas moneter. Oleh sebab itu, fungsi untuk menjaga stabilitas moneter tidak dapat terlepas dari fungsi menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) (Info Seputar Perbankan, 2012). Hal-hal yang berhubungan dengan stabilitas keuangan akan berkaitan dengan 2 elemen penting, yaitu 1) stabilitas harga; dan 2) stabilitas sektor keuangan, yang mencakup lembaga keuangan serta pasar keuangan yang secara keseluruhan mendukung jalannya sistem keuangan. Dengan demikian, jika salah satu elemen tersebut terganggu ataupun tidak dapat berfungsi dengan baik, makaelemenlainnyaakanterpengaruh. Meskipun, stabilitas keuangan bukanlah merupakan suatu target akhir, namun lebih kepada suatu persyaratan prakondisi yang penting bagi pertumbuhan perekonomian. Namun, untuk mencapai kondisi sektor keuangan yang stabil paling tidak diperlukan beberapa prasyarat berikut: 1) Lembaga Keuangan yang Sehat; 2) Pasar Keuangan yang Stabil; dan 3) Lembaga Pengaturan dan Pengawasan yang Kompeten (Dwi Wulan Ramadani & Dedi Rahman, 2013.
Menurut Bank Indonesia (BI) (2014), bahwa sistem keuangan yang mengalami gejolak di lembaga dan pasar keuangan berpengaruh terhadap perekonomian dan bisamengeluarkan biaya besar, seperti:
1.Indonesia (1997-1998) sebesar 51% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
2.AS (September 2008 - …) ditaksir sebesar >43% dari PDB (IIF, 2008)
3.Social and political costs sangat tinggi.
Apalagi kita memahami krisis Keuangan Global/Global Financial Crisis (GFC) memberikan dampak ke luar (ekternal), seperti: 1) Meluasnya dampak krisis akibat interconnectedness; 2) Kegagalan kebijakan makro, kegagalan pasar, kegagalan regulasi; 3) FSB menekan pentingnya kebijakan yang mampu mencegah munculnya risiko sistemik; dan 4) Adanya potensi peningkatan risiko pada perekonomian, seperti: financial innovations. Sedangkan dampak ke dalam (internal) seperti: 1) Peran Bank Indonesia dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK); 2) Perubahan signifikan atas struktur otoritas pengawasan lembaga keuangan di Indonesia (UU No. 21 tahun 2001 tentang OJK membawa perubahan atas tujuan dan tugas BI; dan 3) Pengalaman Indonesia dalam menghadapi krisis tahun 1997/1998.Jangan heran, jika kondisi sektor keuangan akan mempengaruhi fluktuasi makroekonomi (bisa lihat garfiknya di bawah ini).
Grafik di atas menunjukan bahwa saat fluktuasi naik (ekspansi) timbul optimisme yang berlebihan, mendorong kredit yang berlebihan dan terjadi akumulasi risiko disektor keuangan. Tetapi di saat fluktuasi sedang menurun (kontraksi), maka timbul pesimime yang berlebihan, keengganan untuk menyalurkan kredit, dan muncul Risk Averse (menolak resiko).
Perlu dipahami, bahwa sistem keuangan memiliki fungsi-fungsi pokok, yaitu fungsi tabungan (saving function), fungsi kekayaan (wealth function), fungsi likuiditas (liquidity function), fungsi kredit (credit function), fungsi pembayaran (payment function), fungsi resiko (risk function), serta fungsi kebijakan (policy function). Selanjutnya, untuk mencapai stabilitas keuangan yang baik, diperlukan kerangka misi, tujuan, strategi dan instrumen yang bisa ditunjukan dalam gambar berikut.
Bangsa Indonesia mengharapkan perjalanan sistem keuangan yang stabil, agar mampu menstimulus aktivitas ekonomi seperti: investasi, penyaluran kredit, pengembangan dunia usaha, prospek bisnis dan perekonomian, dan sebagainya. Di sisi lain, kita tidak mengharapkan sistem keuangan berjalan penuh gejolak. Karena, hal yang akan terjadi adalah kemampuan pemberian pinjaman perbankan akan melemah. Pelemahan ini akan mengakibatkan aliran uang tersendat, sehingga aktivitas perekonomian masyarakat akan terganggu terutama pada sector-sektor dunia usaha yang memerlukan bantuan perbankan seperti UMKM. Terhambatnya sektor dunia usaha, tentu akan mengakibatkan prospek bisnis dan perekonomian menjadi kurang mendukung. Muara dari semua itu adalah pertumbuhan ekonomi yang lamban (Ryan Alief Putra, 2011). Dampak lain yang bisa timbul karena system keuangan yang tidak stabil adalah kondisi yang tidak menguntungkan, seperti: 1) Transmisi kebijakan moneter tidak berfungsi secara normal sehingga kebijakan moneter menjadi tidak efektif; 2) Fungsi intermediasi tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya akibat alokasi dana yang tidak tepat sehingga menghambat pertumbuhan ekonomi; 3) Ketidakpercayaan publik terhadap sistem keuangan yang umumnya akan diikuti dengan perilaku panik para investor untuk menarik dananya sehingga mendorong terjadinya kesulitan likuiditas; dan 4) Sangat tingginya biaya penyelamatan terhadap sistem keuangan apabila terjadi krisis yang bersifat sistemik (www.bi.go.id).
Oleh sebab itu, kita berharap agar sistem keuangan berjalan stabil dan tangguh. Diperlukan monitoring terhadap gejala-gejala yang dapat menimbulkan potensi krisis dari dua (2) risiko, yaitu 1) risiko endogen yang berada di dalam sektor keuangan itu sendiri seperti dari perbankan seperti risiko kredit, risiko pasar dan risiko operasional;dan 2) risiko eksogen yang timbul di luar sektor keuangan, seperti gangguan karena ekonomi makro atau risiko kejadian seperti adanya bencana alam (Wartawan3, 2014). Tindakan yang perlu dilakukan oleh Pemerintah untuk menanggulangi dari gangguan di sektor keuangan adalah menjaga ketangguhan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Jangan lupa, bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dipengaruhi oleh ketangguhan kondisi stabilitas moneter. Karena Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan Stabilitas Moneter bagai dua sisi mata uang. Namun, ada perbedaan mendasar di antara keduanya, yaitu: terletak pada definisi, instrumen pengontrol, struktur proyeksi, dan alat proyeksi. Sedangkan hubungan antara Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) danStabilitas Moneter dapat digambarkan pada gambar berikut.
Gambar tersebut menunjukan bahwa Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dipengaruhi oleh kondisi Stabilitas Moneter untuk menciptakan kondisi ekonomi makro yang baik. Kondisi moneter juga dipengaruhi oleh kondisi inflasi dan Produk Domestik Bruto (PDB). Dari kondisi ekonomi makro pun akan menimbulkan dampak kondisi keunagan, seperti kondisi perbankan nasional yang selanjutnya akan berdampak pada kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang sehat.
Banyak orang awam yang masih belum mengetahui tentang Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Sebenarnya Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) belum memperoleh definisi baku baku secara internasional. Tetapi, muncul beberapa definisi mengenai Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang pada intinya mengatakan bahwa suatu sistem keuangan memasuki tahap tidak stabil pada saat sistem dan telah membahayakan dan menghambat kegiatan ekonomi (Financeroll.co.id, 2013). Menurut pendapat European Central Bank (2011) mengatakan, “…suatu kondisi dimana sistem keuangan yang terdiri dari lembaga intermediasi, pasar keuangan dan infrastruktur pasar, tahan terhadap tekanan dan mampu mengatasi ketidakseimbangan keuangan yang bersumber dari proses intermediasi yang mengalami gangguan secara signifikan”. Sedangkan menurut Bank of England (2008), menyatakan, “...suatu kondisi terpeliharanya kepercayaan masyarakat terhadap sistem keuangan”. Lain halnya dengan laman www.bi.go.id, yang menyatakan:
“Arti stabilitas sistem keuangan dapat dipahami dengan melakukan penelitian terhadap faktor-faktor yang dapat menyebabkan instabilitas di sektor keuangan. Ketidakstabilan sistem keuangan dapat dipicu oleh berbagai macam penyebab dan gejolak. Hal ini umumnya merupakan kombinasi antara kegagalan pasar, baik karena faktor struktural maupun perilaku. Kegagalan pasar itu sendiri dapat bersumber dari eksternal (internasional) dan internal (domestik). Risiko yang sering menyertai kegiatan dalam sistem keuangan antara lain risiko kredit, risiko likuiditas, risiko pasar dan risiko operasional”.
Oleh sebab itu, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) sangat penting bagi sistem perekonomian kita, agar: 1) Kestabilan sistem keuangan akan membentuk pasar yang sehat, terkontrol dan alokasi dari berbagai sumber daya yang ada dapat dikondisikan secara optimal; 2) Kestabilan sistem keuangan berdampak langsung dengan kesehatan dunia perbankan, dengan sistem keuangan yang stabil dunia perbankan dapat menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dan penyalur dana masyarakat secara maksimal, tentu hal ini juga akan mempengaruhi sektor riil; 3) Dengan stabilnya sistem keuangan akan mempengaruhi perputaran jumlah uang beredar di masyarakat karena sistem keuangan berjalan dengan baik, sehingga inflasi pun dapat dikendalikan; 4) Biaya dari instabilitas sistem keuangan dapat ditekan karena pengaruh dari instabilitas tersebut menyerang langsung sektor keuangan yang mempunyai biaya restrukturisasi yang tidak murah, seperti sektor perbankan; dan 5) Instabilitas sistem keuangan mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap terjadinya krisis moneter, sehingga diperlukan upaya yang maksimal dalam menjaga stabilitas sistem keuangan (Rishan Adha, 2011).Apalagi, Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) memberikan pengaruh langsung terhadap stabilitas makro dalam sebuah sistem perekonomian begitu pun sebaliknya. Saat stabilitas makro bergejolak stabilitas keuangan pun akan mendapatkan dampaknya.
Menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) merupakan tugas Pemerintah, yang diserahkan kepada Bank Indonesia. Patut dipelajari, bahwa Bank Indonesia mempunyai lima (5) peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah: 1) Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter, seperti melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi dan sebaliknya. Oleh karena itu, Bank Indonesia menerapkan suatu kebijakan yang disebut Inflation Targeting Framework (ITF); 2) Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi; 3) Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik; 4) Bank Indonesia melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan; dan 5) Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuanganmelalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR) yang mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi LoLR sebagai peran tradisional Bank Indonesia (bank sentral) dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan (www.bi.go.id).
Untuk menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang stabil dan sehat, perlu didukung oleh beberapa faktor, yaitu: 1) lingkungan ekonomi makro yang stabil; 2) lembaga keuangan yang dikelola dengan baik; 3) pengawasan institusi keuangan yang efektif; dan 4) sistem pembayaran yang aman dan handal (Wartawan3, 2014). Kita bisa melihatnya di gambar berikut.
Oleh sebab itu, kita perlu menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Hal ini dikarenakan: 1) Fungsi Sistem Keuangan sangat vital (“Udara” bagi perekonomian, Intermediary roles, Transmisi kebijakan moneter, Pengelolaan asset (wealth management), Sumber pembiayaan bagi sektor riil, dan Sistem pembayaran dan setelmen); 2) Adanya potensi peningkatan resiko pada perekonomian; 3) Krisis di lembaga dan pasar keuangan berdampak signifikan terhadap perekonomian dan berbiaya besar; 4) Kegagalan kebijakan makro, kegagalan pasar, kegagalan regulasi; dan 5) Atas dasar krisis 2008, FSB menekankan bank sentral untuk melengkapi kebijakan macroeconomic dengan kebijakan macroprudential (Bagus Cahyo Jaya Pratama, 2014).
Bingkai kerja (Framework) Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) meliputi Misi Bank Indonesia (BI), Tujuan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), Strategi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), dan instrumen yang berhubungan.
Kita berharap Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) bisa berjalan dengan baik.Oleh karena itu, berbagai pihak yang berkompeten harus mengemban tanggung jawab yang baik. Mengapa? Hal ini dikarenakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) merupakan kebijakan publik (Crockett, 1997 dalam Wartawan3, 2014). Sedangkan, pihak-pihak yang terkait adalah: 1) Otoritas keuangan (pemerintah, bank sentral, lembaga penjamin simpanan, dan lin-lain); 2) Pelaku keuangan (bank, pasar modal, lembaga keuangan non bank); dan 3) Publik, khususnya pengguna jasa keuangan. Dari salah satu pihak tersebut, yang paling mendominasi dalam mengeluarkan kebijakan dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) adalah Bank Indonesia (BI) yang akan selalu memberikan strategi monitoring Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dan solusi bila terjadi krisis.
Strategi tersebut mencakup koordinasi dan kerjasama, pemantauan, pencegahan krisis dan manajemen krisis. Bank Indonesia bekerja sama dengan instansi terkait lainnya, seperti dalam pengelolaan informasi dan efektivitas kebijakan dalam stabilisasi sistem keuangan, maka perlu adanya koordinasi antara lembaga tersebut. Pemantauan terhadap stabilitas keuangan penting dilakukan untuk mampu mengukur tekanan risiko yang akan timbul, khususnya gangguan yang bersifat sistemik atau dapat menciptakan krisis. Sedangkan dalam pencegahan krisis berisi prosedur penyelesaian krisis dan kejelasan peran serta tanggung jawab dari masing-masing institusi yang terlibat didalamnya yang dilakukan dengan cara mencegah ketidakstabilan dalam sistem keuangan (www.bi.go.id). Dengan demikian, Bank Indonesia melakukan semaksimal mungkin untuk menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang sehat. Tetapi, dalam pelaksanaannya dibutuhkan 12 standar utama, agar pelaksanaan sistem Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) berjalan sesuai apa yang diharapkan.
Peranan Bank Indonesia (BI) dalam Stabilitas Sistem Keuangan (SSK)
Setelah dibahas sebelumnya, bahwaStabilitas Sistem Keuangan (SSK) dipengaruhi oleh kebijakan moneter yang merupakan tindakan pemerintah (atau bank sentral) untuk mempengaruhi situasi makro yang dilaksanakan melalui pasar uang atau sebagai tindakan makro pemerintah dengan cara mempengaruhi proses penciptaan uang yang indikatornya adalah: 1) Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi, khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan; 2) Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan terus diperkuat dan ditingkatkan; dan 3) Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran sasaran inflasi yang telah ditetapkan (Financeroll.co.id, 2013).
Dengan menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), berarti menjagakestabilan nilai rupiah agar tidak menimbulkan inflasi. Karena, kestabilan nilai rupiah tercermin dari tingkat inflasi dan nilai tukar yang terjadi, serta naiknya harga barang-barang secara umum. Perlu diketahui, bahwa inflasi merupakan salah satu masalah ekonomi yang banyak mendapatkan perhatian para ahli ekonomi. Mengapa kita harus menjaga tingkat inflasi? Menjaga tingkat inflasi berdasarkan pertimbangan bahwa inflasi yang tinggi dan tidak stabil memberikan dampak negatif kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat, seperti: 1) inflasi yang tinggi akan menyebabkan pendapatan riil masyarakat akan terus turun sehingga standar hidup dari masyarakat turun dan akhirnya menjadikan semua orang, terutama orang miskin, bertambah miskin; dan 2) inflasi yang tidak stabil akan menciptakan ketidakpastian (uncertainty) bagi pelaku ekonomi dalam mengambil keputusan.Salah satu cara menjaga kestabilan nilai rupiah dalam kapasitas Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) yang dilakukan oleh Bank Indonesia adalah dengan mengeluarkan Kebijakan Makroprudensial. Dengan demikian menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) dalam Kebijakan Makroprudensial merupakan tugas Bank Indonesia yang bertindak sebagai bank sentral.Alur tugas Bank Indonesia dalam mengeluarkan Kebijakan Makroprudensial dalam menciptakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) bisa ditunjukan dlam gambar di bawah ini.
Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 Tahun 2004 pasal 7, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Amanat ini memberikan kejelasan peran bank sentral dalam perekonomian, sehingga dalam pelaksanaan tugasnya lebih fokus dalam pencapaian “single objective”-nya (Financeroll.co.id, 2013). Apalagi, arah kebijakan Bank Indonesia pada tahun 2014 tetap difokuskan untuk menjaga stabilitas perekonomian dan sistem keuangan melalui penguatan bauran kebijakan di bidang moneter, makroprudensial, dan sistem pembayaran. Sedangkan di bidang makroprudensial, arah kebijakan BI diarahkan untuk memitigasi risiko sistemik di sektor keuangan serta pengendalian kredit dan likuiditas agar sejalan dengan pengelolaan stabilitas makroekonomi (Sindo Trijaya, 2014).
Menurut UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, masalah pengawasan bank yang semula didasarkan pada pola pendekatan pengawasan institusional diubah menjadi pola pendekatan pengawasan fungsional. Oleh sebab itu, sesuai Pasal 34 UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia mengamanatkan perlu adanya pemisahan fungsi otoritas moneter dan sistem pembayaran di satu sisi dengan fungsi pengawasan dan pembinaan bank di sisi lainnya. Dengan demikian, Bank Indonesia selaku hanya akan menjalankan otoritas dibidang kebijakan moneter dan sistem pembayaran, sedangkan otoritas di bidang pengawasan dan pembinaan bank akan dilakukan oleh sebuah lembaga independen, yaitu: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sesuai dengan UU RI No.21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan (DwiWulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013). Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjalankan tugas pokok dan fungsi guna menjamin Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) agar tetap dapat terjaga guna mencapai tujuan mewujudkan sistem keuangan yang tumbuh secara sehat, sustainable, dan stabil.
Sesuai amanat Undang-undang (UU) No. 21 tahun 2011 tentang OJK, terhitung sejak 31 Desember 2013, fungsi pengaturan dan pengawasan perbankan yang selama ini dilakukan oleh Bank Indonesia, telah dialihkan kepada OJK (Gatti, 2014). Dengan demikian, tugas pengawasan perbankan berpindah dari Bank Indonesia ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per 31 Desember 2013 yang mencakup: 1) mengatur dan mengawasi sektor pasar modal; 2) mengatur dan mengawasi sektor industri keuangan; dan 3) mengatur dan mengawasi sektor perbankan (Jogo Hera, 2014). Sedangkan, sepuluh (10) sasaran strategis OJK meliputi: 1) terwujudnya Sektor Jasa Keuangan (SJK) yang tangguh, kontributif, dan inklusif; menjaga sistem keuangan yang stabil dan berkelanjutan, dan melindungi kepentingan konsumen dan masyarakat; 2) meningkatkan pengaturan SJK yang selaras dan terintegrasi; 3) mengembangkan SJK yang stabil dan berkelanjutan; 4) mengoptimalkan pengawasan SJK yang terintegrasi dan terkoordinasi secara efektif; 5) mengoptimalkan edukasi dan perlindungan konsumen; 6) meningkatkan surveillance sistem keuangan dan koordinasi secara efektif; 7) meningkatkan tata kelola yang efektif; 8) mengoptimalkan pengelolaan keuangan yang akuntabel; 9) meningkatkan organisasi yang efisien dan efektif didukung SDM yang professional; dan 10) mengembangkan sistem informasi dan sarana prasarana yang memadai (Wartawan3, 2014).
Kebijakan makroprudensial dikeluarkan oleh Bank Indonesia untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan mencegah serta mengurangi risiko sistemik yang dapat mengganggu stabilitas ekonomi di sektor keuangan dan moneter. Oleh sebab itu, keluarnya kebijakan makroprudensial pun mendapat pengawasan dari Bank Indonesia. Pengawasan tersebut dilakukan untuk mewujudkan sistem keuangan yang stabil dan berkualitas. Agar semakin optimal, upaya mencapai kestabilan sistem keuangan tersebut dikoordinasikan oleh Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang beranggotakan Departemen Keuangan RI, Lembaga Penjamin Simpanan, Bank Indonesia dan OJK (Jogo Hera, 2014). Di luar itu, Pemerintah juga membentuk lembaga lain bernama Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Kehadiran Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) juga berkontribusi aktif dalam memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai kewenangannya. Tugas LPS adalah melaksanakan penjaminan simpanan, melaksanakan penyelamatan bank gagal sistemik dan melaksanakan penyelesaian bank gagal non-sistemik. Sesuai denganUndang-Undang (UU) Nomor 24 Tahun 2004 tentang LPS sebagaimana diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 2009, LPS memiliki fungsi: 1) sebagai lembaga penjamin simpanan; dan 2) sebagai lembaga yang ikut serta menjaga stabilitas keuangan Negara (Hukumonline.com, 2012).
Kebijakan Makroprudensial
Ada perbedaan antara antara Makroprudensial dan Mikroprudensial, yaitu: 1) Makroprudensial mencakup: kebijakan moneter, stabilitas sistem keuangan dan pengaturan dan pengawasan SIBs, sedangkan 2) Mikroprudensial mencakup: Pengaturan dan pengawasan SIBs danPengaturan dan pengawasan non-SIBs (Bank Indonesia (BI), 2014). Mungkin kita bertanya, apa sih Kebijakan Makroprudensialitu? Banyak versi yang memberikan pengertian tentang Kebijakan Makroprudensial. Menurut International Monetary Fund (IMF) menyatakan, bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik (IMF, “Macroprudential Policy: An Organizing Framework”, 2011). Sama halnya dengan pendapat yang dinyatakan oleh versi Bank of England, bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian (Bank of England, “The Role of Macroprudential Policy”, 2009).
Berbeda dengan versi Working Group G-30 yang menyatakan bahwa Kebijakan Makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk memitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (procyclical) sehingga memperbesar risiko sistemik (WG G30, “Enhancing Financial Stability and Resilience: Macroprudential Policy, Tools, and Systems for the Future”, 2010).Lain halnya denganBorio (2009) dalam Iskandar Simorangkir (2014) yang mendefinisikan pendekatan makroprudensial berdasarkan tujuannya adalah untuk membatasi resiko pada sistem keuanganguna mengurangi potensi menyebarnya dampak negatif (cost) pada perekonomian. Atau Kebijakan Makroprudensial bertujuan untuk membatasi risiko individual institusi keuangan tanpa memperhatikan dampaknya pada makro ekonomi.
Kebijakan Makroprudensial digunakan sebaik mungkin untuk memperbaiki keadaan ekonomi, dalam hal ini menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), yaitu: 1) Penyaluran kredit perbankan ke sektor yang tepat dan mendatangkan profit yang menjanjikan bagi perbankan; 2) Kebijakan tersebut memerhatikan faktor politik, hukum, dan sosial yang ikut dipengaruhi oleh sektor kebijakan ekonomi melalui naik atau turunnya suku SBI; 3) Berorientasi kepada stabilitas keuangan yang merata di sektor pemerintah, perbankan, dan masyarakat pengguna jasa keuangan; 4) adanya rule yang dikomunikasikan dalam awal penerapan. Namun, tetap membuka ruang untuk melakukan diskresi apabila terjadi shock dalam perekonomian; 5) dimensi time-series, yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan; dan 6) Bersifat countercyclical yang akan bersinergi dengan tujuan kebijakan moneter dalam mengurangi fluktuasi perekonomian. Kebijakan makroprudensial untuk memperketat persyaratan modal dan likuiditas di saat perekonomian sedang melaju kencang (periode up swing) akan mendorong bank untuk mengurangi pertumbuhan kredit sehingga menjaga daya tahan bank ke depan di saat perekonomian memburuk (Dwi Wulan Ramadani, & Dedi Rahman, 2013). Kebijakan Makroprudensial yang berfungsi untuk mengurangi risiko sistemik keuangan pun telah dilakukan oleh beberapa negara yang dipengaruhi oleh beberapa instrumen, seperti yang terlihat di bagan berikut.
Bagaimana dengan implementasi Kebijakan Makroprudensial? Menurut Bank Indonesia (BI) (2014), menyatakan bahwa implementasi Kebijakan Makroprudensial dilakukan dengan:
1.Loan To Value Ratio (LTV) untuk KPR dan Down Payment (DP) KKB.
a.SE BI No. 14/10/DPNP tanggal 15 Maret 2012 untuk Bank Umum konvensional dan SE No. 14/33/DPbS tanggal 27 November 2012 untuk bank umum syariah. Kalibrasi ulang dengan SE BI No. 15/40/DKMP tanggal 24 September 2013.
b.Tujuan: meredam resiko sistemik yang mungkin timbul akibat pertumbuhan KPR yang pada saat itu mencapi lebih dari 40%, serta tingkat kegagalan nasabah KKB untuk memenuhi kewajiban yang pada saat itu mencapai hamper 10%.
c.Pertumbuhan KPR yang terlalu tinggi dapat mendorong peningkatan harga asset property yang tidak mencerminkan harga sebenarnya (bubble), sehingga dapat meningkatkan risiko kredit bagi bank-bank dengan eksposur kredit properti yang benar.
d.Pokok ketentuan: LTV progresif untuk KPR dan 20%-30% untuk KKB.
2.Giro Wajib Minimum (GWM) berdasarkan Loan to Deposits Ratio (LDR)
a.PBI No. 12/19/PBI/2010 tanggal 4 Oktober 2010 dirubah dengan PBI No. 15/7/PBI/2013 tanggal 26 September 2013, dan SE BI No. 15/41/DKMP tanggal 1 Oktober 2013.
b.Tujuan: meningkatkan ketahann sektor perbankan dalam menghadapi berbagai resiko, khususnya terkait dengan resiko kredit dan likuiditas. Sehingga dapat mendukung stabilitas system keuangan sekaligus stabilitas moneter melalui penguatan peran intermediasi bank.
c.Pokok ketentuan:
1)Bank wajib memelihara tambahan GWM rupiah (selain GWM primer dan GWM sekunder yang besarnya ditentukan berdasarkan persentase tertentu dari total DPK rupiah bank) yang nilainya ditentukan berdasarkan angka LDR bank.
2)Apabila angka LDR bank berada dalam kisaran LDR target, yakni 78%-92% (sebelumnya 100%) maka besarnya (tambahan) GWM LDR bank adalah 0%.
3)Apabila LDR bank < 78%maka besarnya (tambahan) GWM LDR bank adalah GWM LDR= (78% - LDR bank) x 0,1% (parameter disinsentif bawah).
4)Apabila LDR bank > 92% maka besarnya (tambahan) GWM LDR bank adalah GWM LDR= (LDR bank – 92%) x 0,2% (parameter disinsentif atas), kecuali dengan CAR > 14%, maka GWM LDR bank adalah 0%.
Kebijakan GWM LDR (SE ekstern No. 15/41/DKMP tanggal 1 Oktober 2013):
a.Kewajiban GWM Sekunder yang saat ini sebesar 2,5% akan dinaikkan:
b.Penyesuaian dilakukan terhadap batas atas GWM LDR yang diturunkan dari 100% menjadi 92%, sementara batas bawah tetap sebesar 78%.
c.Bank diharapkan dapat menjaga LDRmereka pada kisaran 78% - 92%. Disinsentif batas atas dikenakan kepada bank-bank yang memiliki LDRdi atas 92% dengan KPMM (Kewajiban Penyediaan Modal Minimum) atau CAR kuarang dari 14% . Sementara disinsentif batas bawah dikenakan kepada bank-bank dengan LDR kurang dari 78%. Adapun perhitungan disinsentif untuk pelanggaran terhadap batas atas atau batas bawah dilakukan dengan mekanisme perhitunagn yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
3.Transparansi Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK)
a.SE BI No. 13/5/DPNP tanggal 8 Pebruari 2011, diuabh dengan SE BI No. 15/1/DPNP tanggal 15 Januari 2013.
b.Tujuan:
1)Mitigasi resiko kredit melalui persaingan yang sehat pada industry perbankan;
2)Meningkatkan good governance dan kompetisi melalui market discipline yang lebih baik;
3)Mendorong bak untuk menciptakan formulasi suku bunga kredityang efisien dan akurat;
4)Meningkatkan transparansi produk dan jasa perbankan, khususnya terkait dengan perhitungan keuntungan, resiko, dan biaya; dan
5)Meningkatkan perlindungan nasabah melalui mitigasi assymetric information antara nasabah dan bank.
c.Pokok ketentuan:
1)Bank wajib melaporkan kepada BI dan melakukan publikasi secara rutin atas komponen SBDK untuk masing-masing kredit korporasi, ritel, konsumsi (KPR dan Non KPR) dan kredit mikro (melalui perubahan SE tahun 2013)
2)Komponen SBDK yang wajib dilaporkan adalah harga pokok dana untuk kredit (HPDK), biaya overhead dan marjin keuntungan. Sedangkan risk premium tidak wajib dilaporkan.BankIndonesia, 2014
Agar Kebijakan Makroprudensial berjalan sesuai dengan harapan, maka diperlukan adanya pengaturan dan pengawasan. Bank Indonesia mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia (PBI) tentang Pengaturan dan Pengawasan Makroprudensial, yaitu: 1) Pengalaman krisis keuangan global menunjukkan pentingnya untuk menjaga stabilitas sistem keuangan mengingat kompleksitas dan keterkaitan dalam sistem keuangan mengakibatkan krisis yang bersumber dari dalam sektor keuangan tidak hanya berdampak negatif di sektor keuangan, tetapi juga meluas sehingga mempengaruhi kinerja makroekonomi dan menimbulkan biaya pemulihan ekonomi yang tinggi; 2) Dalam rangka mendukung terpeliharanya stabilitas sistem keuangan maka diperlukan upaya-upaya untuk membatasi dan mencegah risiko sistemik, mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas, serta meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan melalui kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial; dan 3) Untuk melaksanakan kegiatan pengaturan dan pengawasan makroprudensial, Bank Indonesia perlu menetapkan kerangka kebijakan pengaturan dan pengawasan makroprudensial dalam PBI (www.bi.go.id).
Adapun, pokok-pokok ketentuan dalam Peraturan Bank Indonesia (PBI) mengenai pengaturan dan pengawasan makroprudensial, mencakup: 1) Bank Indonesia melakukan pengaturan dan pengawasan makroprudensial (dalam rangka: a. mencegah dan mengurangi risiko sistemik; b. mendorong fungsi intermediasi yang seimbang dan berkualitas; dan c. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan); 2) Pengaturan makroprudensial dilakukan dengan menggunakan instrumen pengaturan (antara lain untuk: a. memperkuat ketahanan permodalan dan mencegah leverage yang berlebihan; b. mengelola fungsi intermediasi dan mengendalikan risiko kredit, risiko likuiditas, risiko nilai tukar, dan risiko suku bunga, serta risiko lainnya yang berpotensi menjadi risiko sistemik; c. membatasi konsentrasi eksposur (exposure concentration); d. memperkuat ketahanan infrastruktur keuangan; dan/atau d. meningkatkan efisiensi sistem keuangan dan akses keuangan); 3) Pengawasan makroprudensial (dilakukan melalui: a. surveilans sistem keuangan dalam rangka melakukan penilaian terhadap risiko sistemik; dan b. pemeriksaan dalam rangka meyakini risiko sistemik yang bersumber dari kegiatan usaha bank terhadap : (1) systemically important banks dan/atau bank lainnya yang memiliki common exposure yang berpotensi memberikan dampak sistemik; dan (2) perusahaan induk, perusahaan afiliasi, dan perusahaan anak dari bank jika dinilai memberikan eksposur risiko yang signifikan terhadap bank atau berdampak sistemik); dan 4) Terdapat kewajiban bank (antara lain untuk: a. mematuhi ketentuan Bank Indonesia di bidang makroprudensial; b. menyediakan dan menyampaikan data dan informasi yang diperlukan dalam kegiatan surveilans Bank Indonesia; c. memberikan dokumen dan/atau data, keterangan dan penjelasan secara lisan maupun tulisan, akses terhadap sistem informasi bank, dan hal lainnya yang diperlukan dalam kegiatan pemeriksaan Bank Indonesia; dan d. melaksanakan tindak lanjut atas hasil pengawasan makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia (www.bi.go.id).
Menurut Bank Indonesia (BI) (2014, mengungkapkan bahwa kewenangan Bank Indonesia terkait dengan pengaturan dan pengawasan Makroprudensial tercantum dalam:
1.Penjelasan pasal 7 UU OJK, “Pengaturan dan pengawasan mengenai kelembagaan, kesehatan, aspek kehati-hatian, dan pemeriksaan bank merupakan lingkup pengaturan dan pengawasan microprudentialyang menjadi tugas dan wewenang OJK. Adapun lingkup pengaturan dan pengawasan macroprudential, yakni pengaturan dan pengawasan selain hal yang diatur dalam pasal ini, merupakan tugas dan wewenang Bank Indonesia.Dalam rangka pengaturan dan pengawasan macroprudential, OJK membantu Bank Indonesia untuk melakukan himbuan moral (moral suasion) kepada perbankan.
2.Pasal 40 dan penjelasan pasal 40 UU OJK. 1) Pasal 40: (1) Dalam hal BI untuk melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya memerlukan pemeriksaan khusus terhadap bank tertentu, BI dapat melakukan pemeriksaan langsung terhadap tersebut dengan menyampaikan pemberitahuan tertulis terkebih dahulu kepada OJK, (2) Dalam melakukan kegiatan pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), BI tidak dapat memberikan penilaian terhadap tingkat kesehatan bank.2)Penjelasan pasal 40: (1) Pada dasarnya wewenang pemeriksaan terhadap bank adalah wewenang OJK. Namun, dalam hal BI melaksanakan fungsi, tugas dan wewenangnya membutuhkan informasi melalui kegiatan pemeriksaan bank, BI dapat melakukan pemeriksaan secara langsung terhadap bank tertentu yang masuk systemically important bank dan/atau bank lainnya sesuai dengan kewenangan BI di bidang macroprudential.
Bukan hanya mengenai pengaturan dan pengawasan, Bank Indonesia (BI) pada tahun 2014 juga telah menerbitkan tiga (3) kebijakan makroprudensia, berupa: 1) pemberian kredit loan to value; 2) giro wajib minimum dikaitkan fungsi intermediasi; serta 3) Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) (Telisa Aulia Falianty, 2014). Di luar itu, sesuai berjalannya reformasi yang lebih baik, lebih transparan, dan intermediasi keuangan yang lebih efisien dalam rangka pengembangan kerangka regulasi dan pengawasan sektor jasa keuangan melalui pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) yang komprehensif dan terintegrasi berdasarkan UU No. 21 tahun 2011. Bersamaan dengan pembentukan OJK, Pemerintah Indonesia sedang menyiapkan Undang-Undang tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (Jaring pengaman Sektor Keuangan-JPSK) bersama-sama dengan DPR untuk secara signifikan meningkatkan stabilitas sistem keuangan (www.depkeu.go.id).
Apalagi, Pemerintah melalui Bank Indonesia dan Indonesia Deposit Insurance Corporation (OJK) telah membentuk Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) sesuai apa yang diamanatkan oleh UU OJK agar memiliki tanggung jawab untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Hal ini dikarenakan, bahwa dalam penanganan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) memerlukan koordinasi yang efektif antara Departemen Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pemerintah juga membentuk Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) pada bulan Juni 2007 oleh Bank Indonesia (BI), Departemen Keuangan (Depkeu) dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) disebut oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) sebagai penyelamat negara dalam krisis global tahun 2008 seperti apa yang diungkapkan dalam Pidato Kenegaraan di Gedung DPR, Jumat (16/8/2013).
"Kita beruntung Forum Stabilisasi Sektor Keuangan yang awalnya dibentuk antara pemerintah, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan ketika krisis subprime mortgage mampu menyelamatkan Indonesia" (Ilyas Istianur Praditya,2013).
Presiden juga menambahkan, bahwa Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menjadi satu lembaga yang mengambil alih beberapa peran Bank Indonesia dalam mengelola lembaga keuangan non bank. Lembaga tersebut diharapkan akan membantu Forum Stabilitas Sistem Keuangan (FSSK) dalam menjaga momentum pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Sesuai amanat UU OJK, pembentukan FKSSK pun pernah dibahas dalam seminar internasional yang diadakan di Westin Hotel, Nusa Dua-Bali pada tanggal 6-7 Desember 2013 yang bertemakan “Financial Stability Through Effective Crisis Management And Inter-Agency Coordination Held By Coordination Forum Of Finacial System Stability” (www.depkeu.go.id). Selanjutnya, pembentukan Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) berfungsi mengevaluasi secara reguler atas Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), termasuk menetapkan kondisi dalam krisis serta mengambil kebijakan dalam rangka pencegahan dan menangani krisis. Tiap-tiap institusi mengemukakan kondisi terkini yang menjadi wewenangnya termasuk rekomendasi kebijakan terkait pencegahan dan penangangan krisis (Telisa Aulia Falianty, 2014).Untuk memperkuat Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui Kebijakan Makroprudensial, disadari betul oleh pemerintah yang beberapa tahun belakangan juga telah membentuk Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) yang terdiri dari 3 lembaga yang bersentuhan langsung dengan bidang moneter, yaitu: Kementerian Keuangan, Bank Indonesia dan Lembaga Penjamin Simpanan LPS(RishanAdha, 2011).
Menurut www.bi.go.id, FSSK mempunyai empat (4) fungsi pokok, yaitu: 1) Menunjang pelaksanaan tugas Komite Koordinasi dalam proses pengambilan keputusan terhadap Bank Bermasalah yang ditengarai sistemik; 2) Melakukan koordinasi dan tukar menukar informasi untuk sinkronisasi peraturan perundang-undangan dan ketentuan di bidang perbankan, lembaga keuangan non bank, dan pasar modal; 3) Membahas berbagai permasalahan yang dihadapi oleh lembaga-lembaga yang berkecimpung dalam sistem keuangan yang berpotensi sistemik berdasarkan informasi dari otoritas pengawas lembaga keuangan; dan 4) Mengkoordinasikan pelaksanaan atau persiapan inisiatif tertentu di sektor keuangan. Di sisi lain, FKSSK bisa mengusulkan rekomendasi kepada setiap anggota untuk melakukan tindakan dan/atau membuat kebijakan untuk menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK), serta menentukan dan melaksanakan kebijakan dalam rangka mencegah dan mengurangi krisis. Sebagai tambahan, menurut Dnaberita.com (2014) melansir informasi bahwa Koordinasi tersebut akan terus ditingkatkan dalam rangka menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) seperti apa yang disampaikan oleh Agus D.W. Martowardojo saat masih menjabat Menteri Keuangan ketika menghadiri Rapat Dengar Pendapat Umum dengan Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
"Namun fungsi yang selama ini dijalankan oleh BI, dan kini akan dipisah menjadi disiplin pengawasan makro prudential, begitu pula dengan mikro prudential (yang akan dijalankan) oleh OJK, tidak mungkin dibagi secara penuh. Tetap ada koordinasi tingkat tinggi yang harus dijalankan sehingga stabilitas sistem keuangan tetap terjaga, dan ini adalah periode penting yang perlu kita kawal bersama, agar berjalan dengan lancar" ucapnya” (Dnaberita.com, 2014).
Kebijakan Makroprudensial yang menjadi wewenang dari Bank Indonesia harus bekerja sama dengan OJK yang menangani masalah kebijakan mikroprudensial dalam mencipakan Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Unuk lebih jelasnya dapat digambarkan dalam gambar berikut.
Kita juga memahami bahwa Kebijakan Makroprudensialsangat berperan dalam sektor kredit perbankan. Menurut laman www.bi.go.id, dari sisi intermediasi perbankan, kredit kepada sektor swasta tumbuh melambat menjadi 15,39% (yoy) dari bulan sebelumnya sebesar 17,2% (yoy) sejalan dengan perlambatan perekonomian. Adapun risiko kredit perbankan masih dalam batas aman. Indikator kredit bermasalah (NPL) berada pada level 2,24%, jauh dibawah batas aman 5%. Tetapi, Bank Indonesia mencermati betul mengenai tingginya NPL pada 4 sektor, yakni: 1) sektor konstruksi; 2) pertambangan; 3) perdagangan; dan 4) jasa sosial. Prestasi Kebijakan Makroprudensial di sektor kredit adalah pada bulan Juli 2014, NPL sektor konstruksi tercatat sebesar 4,43% atau naik dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 4,24%. Pada sektor pertambangan, NPL tercatat sebesar 3,09% dibandingkan bulan sebelumnya 2,49%.
Di sisi lain, menurut laman Enciety.co (2014) melansir berita bahwa Bank Indonesia juga mengungkapkan bahwa jumlah kredit perbankan nasional yang disalurkan ke sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) mencapai Rp 608,8 triliun hingga akhir Desember 2013. Sebagian besar kredit UMKM disalurkan kepada usaha menengah yang mencapai 19,4 persen. Pertumbuhan kredit UMKM pada bulan Desember 2013 adalah sebesar 15,7persen (yoy), meningkat dari pertumbuhan tahun lalu yakni sebesar 14,9 persen di 2013. Untuk NPL (kredit macet) UMKM pada Desember 2013 tercatat di angka 3,21 persen yang membaik dari Desember 2012 yakni3,23 persen. Sebagai informasi, jumlah unit usaha UMKM mencapai 56,5 juta atau 99,9 persen dari total pelaku usaha. Sementara UMKM menyerap tenaga kerja sebanyak 97,2 persen dari total tenaga kerja 107,7 juta.
Sehubungan dengan Kebijakan Makroprudensial tersebut, Bank Indonesia tengah menggodok beberapa instrumen, di antaranya instrumen untuk mecegah dan mengurangi leverage berlebihan melalui penguatan tambahan permodalan guna mengantisipasi kondisi siklikal. Selanjutnya, instrumen untuk membatasi konsentrasi eksposur seperti pengaturan pembatasan pemberian kredit sektor tertentu dan persayaratan Central Counter Parties (CCP). Sebagai contoh adalah pemberian kredit berlebihan di sektor yang sedang booming seperti CPO dan batu bara yang bisa menimbulkan resiko sehingga perlu diatur. Sebuah bank terlalu eksesif hanya ke sektor tertentu dikhawatirkan bila terjadi guncangan secara tiba- tiba bisa terjadi kredit macet. Kredit lainnya adalah yang berhubungan dengan properti, di manakredit rumah pertama tipe 70 meter ke atas akan dikenakan LTV maksimal 70 persen atau DP 30 persen dari harga jual. Rumah kedua 60 persen (DP 40 persen). Rumah ketiga dan seterusnya 50 persen (DP 50 persen) (Telisa Aulia Falianty, 2014).
Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam menjalankan Kebijakan Makroprudensial juga telah menerapkan Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK) kepada seluruh bank-bank di bawah kewenangannya. Untuk mengetahui dengan jelas tentang daftar Suku Bunga Dasar Kredit (SBDK), kita bisa mencermatinya pada tabel di bawah ini.
Dalam menjalankan Kebijakan Makroprudensial, Bank Indonesia juga berperan dalam menjaga kondisi likuiditas sektor keuangan (perbankan nasional). Dengan adanya Kebijakan Makroprudensial, kondisi likuiditas menunjukan sinyal positif. Sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Deputi Gubernur, Halim Alamsyah, pasca Rapat Dewan Gubernur September 2014 bahwa berdasarkan hasil monitoring Bank Indonesia, risiko likuiditas perbankan terjaga dan diperkirakan terus membaik hingga akhir tahun. Kondisi tersebut didukung oleh aliran masuk uang kartal pasca lebaran dan mulai ekspansifnya keuangan Pemerintah. Untuk masa depan likuiditas perbankan diperkirakan terus membaik dengan semakin tingginya belanja Pemerintah sesuai dengan polanya. Simulasi dengan menggunakan skenario pertumbuhan kredit 17%, pembalikan modal dan kenaikan harga BBM, rasio likuiditas perbankan di 2014 diperkirakan masih diatas batas aman (www.bi.go.id).
Perlu diketahuim bahwa penanganan likuiditas sangat berpengaruh dalam mengurangi instabilitas ekonomi. Bank Indonesia bergerak cepat me-mitigasi (meringankan) dampak terjadinya instabilitas tersebut terhadap ekonomi melalui instrumen yang dimilikinya untuk mengurangi tekanan likuiditas maupun mempercepat pemulihan kepercayaan masyarakat. Apa yang dilakukan Bank Indonesia terhadap masalah likuiditas? Masalah tersebut dapat diatasi dengan open market operations dan bantuan likuiditas melalui Lender-of-Last Resort (LoLR) atau discount window. Kebijakan lain yang dapat dilakukan Bank Indonesia adalah dengan melakukan penyesuaian reserve requirements atau dengan kebijakan suku bunga untuk mendorong ekonomi bergerak ke arah normal (Wartawan3, 2014).
Dengan berjalannya Kebijakan Makroprudensial, maka kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) mengalami perbaikan yang signifikan (Bank Indonesia, 2014). Perbaikan tersebut ditandai dengan:
1.Ketahanan permodalan: paska krisis 2008, ketahanan perbankan secara umum membaik, didukung oleh permodalan yang cenderung tumbuh meningkat. CAR perbankan juga terjaga dan membaik.
2.Likuiditas perbankan: perkembangan alat likuiditas perbankan masih pada level aman.
3.Perkembangan intermediasi (Kedit dan DPK): Pertumbuhan kredit dan DPK mengalami penurunan sejak pertengahan 2012 terkait perlambatan ekonomi.
Perbaikan kondisi Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) melalui Kebijakan Makroprudensial yang dilakukan oleh Bank Indonesia juga memberikan sinyal positif, seperti apa yang ditunjukan dalam Indeks Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) bulan Desember 2013 di bawah ini, yang menunjukan kondisi normal.
Akhirnya, dari pembahasan secara mendalam di atas, kita bisa memahami bahwa Kebijakan Makroprudensial yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia sebagai bank sentral yang mempunyai kewenangan penuh, sangat berperan penting dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK). Bank Indonesia bersinergi dengan institusi atau otoritas lainnya seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan LPS dalam memberikan pengaturan dan pengawasan kebijakan. Kehadiran Forum Koordinasi Stabilitas Sistem Keuangan (FKSSK) yang terdiri dari beberapa otoritas keuangan mampu menyelamatkan kondisi perekonomian bangsa Indonesia dalam sektor keuangan.
Kebijakan Makroprudensial pun diharapkan terus mampu menjaga inflasi yang mampu memberikan gejolak ekonomi bangsa. Meskipun pada prosesnya, Kebijakan Makroprudensial tidak bisa lepas dari Kebijakan Moneter yang ada pada Bank Indonesia juga. Apalagi bersinergi dengan Kebijakan Mikroprudensial, dalam menjaga Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) akan semakin sehat untuk mengantisipasi berbagai gejolak ekonomi atau krisis global yang terjadi secara tidak terduga di masa yang akan datang. Kita pun berharap, agar Stabilitas Sistem Keuangan (SSK) tetap memberikan rasa aman dan nyaman bagi perputaran roda perekonomian bangsa Indonesia.
Referensi:
Adha, Rishan. 2011. Arti dan Pentingnya Stabilitas Sistem Keuangan. Diambil dari http://ikhtisarekonomiindonesia.blogspot.com/2011/03/stabilitas-sistem-keuangan.html
Bank Indonesia (BI). 2014. Kebijakan Makroprudensial dan Stabilitas Sistem Keuangan. Diambil dari http://www.bi.go.id/id/publikasi/artikel-kertas-kerja/kertas-kerja/Documents/FGD_17%20Januari%202014_Makroprudensial.pdf
Dnaberita.com. 2014. Jaga Stabilitas Sistem Keuangan, BI, OJK dan LPS Perkuat Sinergi. Diambil dari http://www.dnaberita.com/berita-86372--jaga-stabilitas-sistem-keuangan-bi-ojk-dan-lps-perkuat-sinergi.html.html
Enciety.co. 2014. BI Perkuat Kebijakan Makroprudensial. Diambil darihttp://www.enciety.co/bi-perkuat-kebijakan-makroprudensial/
Facebook.com. Urgensi Menjaga Stabilitas Sistem Keuangan. Diambil dari https://m.facebook.com/notes/indonesian-corporate-governance-banking-watch/urgensi-menjaga-stabilitas-sistem-keuangan/130842103637304/
Financeroll.co.id. 2013. Bank Indonesia Perkuat Stabilitas Sistem Keuangan. Diambil dari http://financeroll.co.id/news/bank-indonesia-perkuat-stabilitas-sistem-keuangan-perbankan/
Gatti. 2014. OJK Tetapkan 10 Sasaran Strategis. Diambildari http://beritamoneter.com/ojk-tetapkan-10-sasaran-strategis/
Hera, Jogo. 2014. Pengalihan Fungsi Pengawasan Bank Umum dari Bank Indonesia (BI) ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK).Diambildari http://jogohera.blogspot.com/2014/07/pengalihan-fungsi-pengawasan-bank-umum.html
Hukumonline.com. 2012. Pemerintah Siapkan Protokol Sistem Stabilitas Keuangan, FKSSK berfungsi sebagai wadah untuk mengkoordinasikan perkembangan sistem keuangan antar lembaga terkait di Indonesia. Diambil dari http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5069c5200d8f0/pemerintah-siapkan-protokol-sistem-stabilitas-keuangan
Info Seputar Perbankan. 2012. Kerangka Stabilitas Keuangan. Diambil dari http://infoseputarperbankan.wordpress.com/perbankan/stabilitas-sistem-keuangan/kerangka-ssk/
Okezone.com. 2014. Tantangan Besar Hantui Stabilitas Sistem Keuangan. Diambil dari http://arsip.bewara.co/read/2014/05/tantangan-besar-hantui-stabilitas-sistem-keuangan/
Praditya, Ilyas Istianur. 2013. SBY Sebut FSSK Sebagai Penyelamat Krisis. Diambil dari http://bisnis.liputan6.com/read/666545/sby-sebut-fssk-sebagai-penyelamat-krisis
Sindo Trijaya. 2014. BI Fokus Jaga Stabilitas Perekonomian Dan Sistem Keuangan. Diambil dari http://www.sindotrijaya.com/yogyakarta/news/detail/5950/bi-fokus-jaga-stabilitas-perekonomian-dan-sistem-keuangan
Simorangkir, Iskandar. 2014. Pengantar Kebanksentralan, Teori dan Praktek di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Sukamto, Imam. 2012. Gubernur BI: Karena OJK, Volume Pekerjaan BI Turun. Diambil dari http://www.tempo.co/read/news/2012/08/21/087424722/Gubernur-BI-Karena-OJK-Volume-Pekerjaan-BI-Turun
Timlo.Net. 2013. LPS Sosialisasikan Perannya Jaga Stabilitas Keuangan. Diambil dari http://www.ceritamu.com/cerita/lps-sosialisasikan-perannya-jaga-stabilitas-keuangan
Wartawan3. 2014. Jaga Stabilitas Sistem Keuangan, OJK Tetapkan 10 Sasaran Strategis. Diambil dari http://presnapos.com/news_detail.php?n=550
www.facebook.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H