Tetapi bagaimanapun juga operasi2 tersebut tidak akan bisa "menghilangkan" budaya indisipliner dalam berkendara. Pada akhirnya, kembali ke pengendara masing-masing, hanya dari "kesadaran" pengendara itu sendiri yang bisa "mencegah" terjadinya kecelakaan.
Dampak nyata di jalan raya/Tol.
Di Jakarta, dan di kota-kota besar lainnya seperti Surabaya, Medan, dan Makassar. Tipikal banyak ditemui pengendara "ugal-ugalan" yang biasa parkir disembarang tempat, saat lampu merah tidak berhenti di belakang garis (zebra cross).
Bahkan kita sendiri mungkin tidak tahu cara menyalip "yang benar" (yang benar adalah menyalip melalui sisi kanan, bukan kiri) mungkin juga diakibatkan dari ketidaktahuan jalur "prioritas" kendaraan berdasarkan kecepatan (seharusnya, jika tersedia 3 jalur, disisi jalan paling kiri untuk kendaraan paling "lambat", jalur tengah utk kecepatan "sedang" dan jalur kanan, utk "paling cepat" atau untuk menyalip).
Dan menurut penulis yang cukup fatal adalah saat di jalan Tol, banyak pengendara yang "terbiasa" menyalip melalui bahu jalan !
Padahal, bahu jalan (jalur paling kiri, ditandai dgn jalur garis lurus) pada dasarnya hanya diperbolehkan untuk tempat berhenti darurat / istirahat kendaraan, tidak diperbolehkan untuk "menyalip" kendaraaan.
Akibatnya saat ini makin sering terjadi "multiple chain accident" yaitu kecelakaan diatas kecelakaan,
akibat kendaraan yang berhenti dibahu jalan baik akibat kerusakan/kecelakaan lalu ditabrak lagi oleh kendaraan dibelakangnya yang sedang menyalip atau berjalan di bahu jalan.
(Adakah) Etika pengendara mobil "low cost"/ LCGC
Persaingan pasar, proses fabrikasi yang semakin efisien, didukung kebijakan pemerintah sebagai faktor pemicu kehadiran mobil LCGC .
Tetapi sayangnya tujuan "mulia" LCGC agar pengendara "entry level" mudah memiliki kendaraan, mulai terlihat akibatnya disebabkan banyak pengendara entry level "memaksakan" kendaraan LCGC berjalan di atas hingga 100km/jam (atau karena ketidaktahuan) seperti kendaraan seperti Avanz_, Ayl_, maupun Agy_ yang faktanya sangatlah "tidak stabil" jika dipaksakan berjalan diatas 100 km/jam dan beresiko tinggi terjadi kecelakaan fatal.
Banyak pengendara entry level memakai analogi "ngawur" yang tetap merasa aman dgn kecepatan tinggi selama kendaraan low cost nya selalu dirawat/ masih baru, atau kecepatan kendaraannya masih "dalam jangkauan" speedometer.
Solusi masalah dan "kesadaran" pemilik SIM
Sudah sepatutnya praktek kepemilikan SIM secara ilegal harus diberantas, dan "calon pengendara" memiliki harus kesadaran tidak memakai "jalur cepat" tersebut, meskipun hal ini dialami penulis yang harus mengulang 3x tes, baru lulus tes berkendara dan akhirnya mendapatkan SIM.
Pengendara harus memiliki landasan berpikir bahwa kepemilikan SIM bukanlah seperti KTP, tetapi sebagai pemilik SIM harus memiliki tanggung jawab besar dalam berkendara, dan jalan adalah "milik bersama" sehingga jangan merenggut "hak orang lain" dengan selalu taat akan aturan dan rambu yang ada.
Terakhir, pengendara harus mengetahui "batasan empiris" kemampuan kendaraannya berdasarkan "case by case" yang tidak cukup hanya mengacu dari "buku manual" saja khususnya untuk mobil low cost, maupun LCGC demi keselamatan dirinya sendiri, serta penumpangnya.