Mohon tunggu...
cas dira
cas dira Mohon Tunggu... -

Pengais makna, lahir dan besar di Indramayu, sempat mengenyam pendidikan di Institut Teknologi Bandung dan kini bekerja di sektor migas. Memiliki rumah maya di http://www.casdiraku.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Ledakan" LPG, BPH Migas dan UU Migas

20 Oktober 2010   10:23 Diperbarui: 26 Juni 2015   12:16 196
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Isu “ledakan” LPG memang sudah mereda, meskipun tempo hari masih ada satu kasus yang muncul di layar kaca. Namun, bukan berarti persoalan itu selesai. Kita tahu, sebuah isu kerap jauh terlihat lebih besar dari yang sesungguhnya, manakala ada kepentingan tertentu yang dituju. Begitu juga sebaliknya, hal-hal besar terjadi, tetapi tidak muncul ke permukaan, lantaran terbentur kepentingan tertentu yang lebih besar. Hal yang sama bisa terjadi dengan ledakan LPG.

Dari sekian banyak pemberitaan dan analisis yang muncul, sebagian besar menyorot Pertamina selaku produsen dan distributor LPG, padahal sederet lembaga negara lainnya juga turut andil dan bahkan seharusnya lebih bertanggungjawab.

Kalau kita amati, penyebab terjadinya ledakan ini ada dua. Pertama, kondisi tabung dan aksesorisnya yang tidak layak pakai, akibat banyaknya produsen, pengedar maupun pengecer “liar” tabung LPG beserta aksesorisnya. Bisa dimaklumi, mengingat ini merupakan ladang bisnis baru bagi orang-orang yang mau mengambil keuntungan dengan cara-cara yang kotor. Saya kira, itu sudah lazim terjadi di negara kita.

Ke dua, faktor human error, akibat minimnya pengetahuan masyarakat tentang pemakaian LPG yang benar dan aman. Salah satunya pemakaian selang yang asal-asalan, dililit pakai isolasi, diikat dengan kawat, dan sebagainya. Tidak sedikit juga yang menyimpan tabung dan kompor pada posisi yang sejajar dan berdekatan. Jika terjadi kebocoran, kontan saja ledakan terjadi. Padahal, jika posisi tabung diletakkan semestinya, kecil kemungkinan terjadi ledakan, sekalipun tabung bocor, karena berat jenis LPG relatif lebih besar daripada udara.

Di samping itu, lingkungan atau ruang dapur yang buruk juga turut memicu terjadinya ledakan. Salah satunya karena minim ventilasi, atau bahkan ruang dapur yang menyatu dengan ruang tidur dan sebagainya. Harus diakui, ini memang sulit dihindari karena faktor kemiskinan. Kawan penyuluh Pertamina malah punya joke, banyak masyarakat miskin yang tidak tahu bahwa LPG yang dipakainya bocor, lantaran tidak bisa membedakan bau LPG dengan got di sebelah rumahnya.

Faktor lemahnya pengawasan dan minimnya sosialisasi barangkali turut jadi penyebab maraknya kasus ledakan LPG. Siapa yang sesungguhnya paling bertanggungjawab? Apakah memang betul Pertamina? Sebagian masyarakat sudah menyadari, bahwa Pemerintahlah yang sesungguhnya bertanggungjawab, mengingat program konversi dari minyak tanah ke LPG merupakan mandat Pemerintah melalui wakil presiden yang menjabat pada waktu itu.

Nyaris tidak ada yang menyadari peran lembaga negara yang sudah dibentuk berdasarkan undang-undang dan bertugas mengatur dan melakukan pengawasan terhadap sektor hilir migas: BPH MIGAS! UU No 22 tahun 2001 telah menyudahi kewenangan Pertamina sebagai penanggungjawab sektor migas di Indonesia, baik hulu maupun hilir. “Nasib” sektor hulu telah diserahkan ke BPMIGAS, sementara sektor hilir diserahkan ke tangan BPH MIGAS.

Fakta bahwa Pertamina yang menjadi produsen dan distributor LPG, itu soal lain, karena Pertamina harus melalui proses tender untuk memenangkan “proyek” pengadaan konversi minyak tanah ke LPG. Saya tidak tahu persis bagaimana kontrak antara Pertamina dan Pemerintah soal program konversi ini. Tetapi semestinya, sebagai BUMN “biasa”, tugas Pertamina hanya sebatas pada proses “pengadaan” LPG, tabung maupun aksesorisnya - yang memang betul produk Pertamina, di luar tabung dan aksesoris abal-abal. Soal pembinaan dan pengawasan tetap menjadi tanggungjawab Pemerintah melalui BPH MIGAS, sesuai dengan amanat Undang-Undang Migas.

Soal pengawasan produksi tabung, semestinya Departemen Perindustrian juga ikut andil. Begitu juga Departemen Perdagangan, seharusnya mereka ikut menyingsingkan lengan baju mengawasi perdagangan tabung LPG dan aksesorisnya yang beredar di pasaran. Lantas kenapa perhatian publik justeru terpusat pada Pertamina?

Inilah titik lemah lainnya dari UU Migas. Undang-undang ini memberikan mandat pengelolaan sektor hilir migas kepada BPH MIGAS yang sama sekali tidak memiliki infrastruktur pendukung. Wajar, lembaga ini kurang efektif dan nyaris tidak dikenal masyarakat luas. Bagaimana pun, sorotan publik terhadap Pertamina bisa dipahami dan mencerminkan harapan masyarakat kepada Pertamina sebagai satu-satunya badan usaha milik negara yang bisa mengemban tugas mengelola sektor migas. Pertamina lah yang memiliki kelengkapan infrastruktur pendukung, baik di sektor hulu maupun hilir. Karena itu, akan jauh lebih efektif jika pengelolaan sektor migas dikembalikan kepada Pertamina, bukan BPMIGAS dan BPH MIGAS

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun