Belakangan ini, beredar kabar bahwa DPR tengah menggodok UU Migas yang baru. Melihat UU Migas No 22 tahun 2001 yang mengandung sejumlah kelemahan, bahkan menjadi penyebab amburadulnya tata kelola migas nasional, kehadiran UU yang baru tersebut telah memberikan angin segar. Meskipun saya masih bertanya-tanya: ke arah mana angin segar itu akan berhembus?
Dari desas-desus yang ada, UU ini akan lebih menguatkan posisi Pertamina sebagai perusahaan milik negara. Jika benar, ini tentu merupakan kabar baik bagi kita sebagai bangsa. Pasalnya, UU Migas yang lama telah meminggirkan peran Pertamina secara sistematis. Di atas kertas, UU itu memang “menyejajarkan” Pertamina dengan perusahaan minyak mana pun yang beroperasi di negeri ini, tetapi faktanya, bahkan Pertamina kerap kali “dikalahkan” oleh pemerintahnya sendiri.
Kasus terakhir yang saya tahu adalah soal “kalahnya” Pertamina dalam tender distribusi BBM PSO (public service obligation, alias BBM bersubsidi) di Medan, Sumatera Utara. Pemerintah Republik Indonesia, melalui BPH MIGAS, telah mempercayakan distribusi BBM bersubsidi itu kepada Petronas, perusahaan minyak asal Malaysia. Jadi, mulai tahun ini, masyarakat Medan dan sekitarnya tidak lagi berurusan dengan Pertamina soal penyediaan BBM bersubsidi di sana, tetapi Petronas lah yang bertanggung jawab. Padahal, sejauh ini, sudah terbukti Pertamina lah yang memiliki kelengkapan infrastruktur penyimpanan hingga distrribusi BBM. Bahkan selama ini, sepanjang yang saya tahu, BBM (non subsidi) yang dijual Petronas juga dibeli dari Plumpang: depot milik Pertamina. Dagelan!
Tetapi barangkali dengan menangnya tender BBM PSO di Medan, Petronas akan impor minyaknya sendiri dari Malaysia atau negara lain, tidak lagi membeli dari Pertamina. Jangan tanya soal potensi kerugian Pertamina, dengan hilangnya pangsa pasar sebanyak penduduk Medan itu. Meskipun bisa jadi proses ini akan bertahap, karena realitanya keberadaan SPBU Pertamina masih dominan di sana. Di balik itu, di internal Pertamina sendiri sempat menimbulkan keresahan: kantor dan seluruh tenaga pemasaran di sana mau dikemanakan? Akankah mereka di-PHK? Barangkali yang terakhir ini kurang diperhitungkan oleh pemangku otoritas.
Kembali ke UU Migas yang baru ini. Saya berharap setidaknya UU ini memang benar-benar menguatkan posisi Pertamina. Bukan soal monopoli atau kekhawatiran Pertamina kembali menjadi “superbody” seperti jaman UU No 8/1971 dulu. Kita perlu sadari bahwa Indonesia sudah menjadi “net oil importer” permanen (setidaknya saya tidak melihat tanda-tanda produksi migas kita akan menyalip kenaikan konsumsi). Untuk mencukupi kebutuhan BBM dalam negeri, kita begitu tergopoh-gopoh. Apalagi pas harga minyak dunia meroket, seperti medio 2008 lalu. Pemerintah dan DPR kerap harus meninjau ulang APBN hanya karena asumsi harga minyak dan imbasnya ke subsidi BBM! Ini tidak akan mengkhawatirkan seandainya kita surplus minyak.
Sebagai perusahaan minyak negara, sudah sewajarnya Pertamina mengemban tugas mengamankan pasokan BBM dalam negeri. Ini bukan melulu soal ekonomi, melainkan sudah masuk ranah ketahanan negara. Tersendatnya aliran BBM dari luar ke dalam negeri, karena kita harus impor BBM lebih dari 300 ribu barel per hari, bisa melumpuhkan aktivitas ekonomi negara ini. Saya kira statement ini tidak berlebihan, mengingat sebagian besar konsumsi enegri primer kita berasal dari minyak bumi: termasuk untuk sektor industri dan listrik!
Karena itu, perkuat Pertamina untuk melakukan ekspansi penguasaan ladang minyak produktif, baik domestik maupun overseas, demi security of supply minyak dalam negeri. Inilah urusan “primer” perusahaan minyak negara. Ini pula yang telah dilakukan oleh China: negara yang sedang haus minyak untuk memberi minum industri mereka yang tengah menggeliat. Jangan karena alasan-alasan “sekunder” seperti iklim investasi migas, good governance di tubuh Pertamina dan penghormatan akan “kesucian” kontrak, yang seringkali ini hanya merupakan alibi, akhirnya kita enggan merevisi regulasi dan kebijakan-kebijakan yang mengecilkan Pertamina dan membesarkan perusahaan minyak asing. Semua itu memang penting, tetapi tidak lebih penting daripada ketahanan nasional kita!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H