Mohon tunggu...
Marwah EugeniaCascarella
Marwah EugeniaCascarella Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Airlangga

Islamic Economic

Selanjutnya

Tutup

Pulih Bersama

Efektifkah Integrasi Kebijakan Moneter G20?

21 Mei 2022   18:53 Diperbarui: 21 Mei 2022   19:58 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam pertemuan kedua di Washington DC, G20 mendorong untuk menetapkan kebijakan moneter yang terintegrasi untuk menciptakan pemahanaman yang sama mengenai kerangka kebijakan yang terintegrasi. Hal ini dirasa perlu agar negara berkembang lebih siap dalam mengantisipasi dampak dari percepatan normalisasi kebijakan beberapa bank sentral dan meningkatnya inflasi karena perang antara Rusia dan Ukraina. Sebelum membahas lebih lanjut mengenai efektivitas integrasi kebijakan moneter G20, mari kita sedikit mengulik sejarah terbentuknya G20 dan peran nyata G20.

G20 (Group of Twenty) merupakan forum kerja sama multilateral 20 negara yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa. Kerja sama ini bersifat informal dan tidak memiliki mekanisme akuntabilitas. G20 dibentuk pada tahun 1999 yang bermula dari anggota G7. Pembentukan forum G20 dilatarbelakangi oleh krisis yang terjadi pada tahun 1997 di Asia yang dampaknya meluas secara global. Anggota G20 mewakili dua pertiga dari populasi bumi, 75% perdagangan global, dan 80% PDB Dunia. Anggota G20 terdiri dari Afrika Selatan, Amerika Serikat, Arab Saudi, Argentina, Australia, Brasil, India, Indonesia, Inggris, Italia, Jepang, Jerman, Kanada, Meksiko, Republik Korea, Rusia, Perancis, Tiongkok, Turki, dan Uni Eropa. Tujuan utama pembentukan forum G20 adalah mewujudkan pertumbuhan global yang kuat, sustainable, seimbang dan menyeluruh. Selain itu, sebagai sarana para pembuat kebijakan keuangan untuk mencapai stabilitas keuangan global melalui penanganan permasalahan maupun krisis keuangan yang terjadi secara global.

Dalam menanggapi krisis pandemi COVID-19, G20 mendorong untuk menetapkan kebijakan moneter yang terintegrasi. Integrasi kebijakan moneter dilakukan untuk menjaga stabilitas keuangan, mendorong pertumbuhan ekonomi global, dan pengelolaan aliran modal. G20 memandang bahwa IMF dan BIS (Bank for International Settlement) perlu bekerja sama dalam menyusun kebijakan moneter yang terintegrasi dengan pertimbangan bahwa arus modal tidak hanya berdampak pada stabilitas moneter namun juga pada stabilitas sistem keuangan. Di tengah ketidakpastian ini, G20 telah merancang persiapan yang lebih matang dengan berencana untuk memberikan bantuan dan memfasilitasi negara-negara anggota terutama negara-negara yang kurang berkembang melalui perumusan Resillience and Sustainability Trust Fund.

Di tahun 2022 ini, Indonesia resmi memegang Presidensi Group of Twenty (G20). Ini merupakan kesempatan bagi Indonesia karena hanya terjadi satu kali dalam 20 tahun untuk mendorong pemulihan ekonomi yang diharapkan akan pulih bahkan lebih baik dari sebelum terjadinya krisis pandemi COVID-19. Tema presidensi G20 di Indonesia adalah "Recover Together, Recover Stronger". Dengan tema ini, Indonesia mengajak seluruh dunia untuk bekerja sama mendorong pemulihan perekonomian pasca pandemi. Sri Mulyani Indrawati selaku Mentri Keuangan Indonesia menyebutkan bahwa tema tersebut fokus pada tiga pilar utama. Pertama, mendorong produktivitas dengan penguatan sumber daya manusia. Kedua, meningkatkan perekonomian yang kuat dan berkelanjutan dengan stabilisasi sistem keuangan dan moneter. Ketiga, memastikan pertumbuhan berkelanjutan dan inklusif.

Efektivitas tidak hanya dilihat dari kemampuan menciptakan solusi dari krisis-krisis finansial global yang terjadi, namun juga sejauh mana negara-negara mengadopsi transparansi dan keadilan bagi seluruh penduduk dunia. Efektivitas juga dipengaruhi oleh kemampuan negara anggota maupun negara non anggota dalam menerapkan kesepakatan dalam G20. Seperti halnya krisis finansial pada tahun 2008, meskipun krisis ini bermula dari Amerika Serikat namun negara-negara lain juga merasakan dampak dari krisis ini yang meluas secara global terutama negara-negara Uni Eropa dan negara maju lainnya. Peran G20 dalam menangani krisis keuangan tahun 2008 dapat dikatakan baik karena dapat mengatasi krisis finansial di beberapa negara terdampak yaitu Amerika Serikat dan Uni Eropa. Namun, upaya ini dirasa belum maksimal dan memiliki kekurangan karena sifatnya yang tidak mengikat sehingga masih ada negara anggota yang tidak menjalankan upaya yang diserukan oleh G20.

Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengatakan bahwa ekonomi global di tengah pandemi COVID-19 sudah mulai membaik namun belum seimbang. Hal ini disebabkan sebagian besar negara maju sudah pulih sementara negara berkembang masih berupaya dalam pemulihan ekonomi. Berkaca dari penanganan krisis finansial tahun 2008 yang belum maksimal karena tidak semua negara anggota mengadopsi upaya yang diserukan oleh G20. Pada dasarnya tidak ada negara yang dapat bangkit sendiri dan semua negara saling terkoneksi. Disinilah kemudian pentingnya membangun integrasi kebijakan moneter sehingga pemulihan ekonomi global bisa lebih seimbang. Perry Warjiyo mengamati kebijakan moneter yang diterapkan oleh sejumlah negara maju. Amerika Serikat berencana untuk melakukan kebijakan pengurangan likuiditas, begitu juga pada negara maju lainnya. Sesuai dengan tema presidensi G20 di Indonesia, "Recover Together, Recover Stronger", koordinasi integrasi kebijakan moneter menajdi sangat penting agar dapat segera pulih bersama dan tidak menimbulkan dampak rambatan negatif ke negara-negara berkembang.

Presidensi G20 di Indonesia pada tahun 2022 ini harus dimanfaatkan sebagai momentum memperkenalkan keunggulan kebijakan moneter Indonesia, salah satunya dual monetary policy. Salah satu instrumen keuangan Islam adalah zakat. Zakat ini bersifat fleksibel, tidak hanya digunakan sebagai instrumen fiskal tetapi juga dapat menjadi instrumen moneter. Selama krisis pandemi COVID-19, zakat juga membuktikan pengaruhnya dalam menangani krisis dan upaya menuju pemulihan ekonomi. Logikanya, ketika muzakki membayar zakat maka dapat menggerakkan aktivitas ekonomi sehingga roda perekonomian tetap berjalan dan inflasi juga terkendali. Selain itu, zakat juga terbukti dapat mengurangi ketimpangan antara si kaya dan si miskin. Potensi zakat ini dapat diadopsi oleh negara-negara muslim G20 sebagai pengendali moneter sekaligus dapat menangani permasalahan ekonomi yang lebis luas, baik krisis keuangan, kemiskinan, maupun ketimpangan ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pulih Bersama Selengkapnya
Lihat Pulih Bersama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun