Mohon tunggu...
Marisa Umami
Marisa Umami Mohon Tunggu... -

:) :D ^_^

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Mereka Suka tapi Tetap Tak Bisa

25 Mei 2011   03:49 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:16 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Yang sering kudengar, kalau mau memahami pelajaran yang diberikan,cintai dulu gurunya...

***

Cuaca cerah dan panas seperti biasanya.  Dan seperti biasanya juga, 77 mahasiswa harus rela berebut udara yang disebarkan empat kipas angin. Kami harus tahan- tahan iman dalam ruang kelas berukuran 6x10 m dengan jendela dan ventilasi tidak memadai dan "tanpa" AC. Belum lagi ditambah embel- embel bau badan yang menyeruak ke seluruh penjuru ruangan yang tanpa berdosa memaksa masuk ke dalam indera penciuman.

Satu mata kuliah baru saja berakhir. Perut- perut lapar yang belum terisi sarapan pagi tadi mulai merengek- rengek minta di isi. Masih ada waktu kurang dari setengah jam sebelum mata kuliah ekstra Kegawatdaruratan dimulai. Beberapa mahasiswa memutuskan untuk mencari pengganjal perut di kantin. Ada yang betah di kelas, tapi kebanyakan ke luar untuk mencari udara segar.

Dua puluh menit berlalu ketika sosok tinggi putih dengan kacamata tipis itu masuk ke kelas. Seperti biasanya seisi kelas yang berjenis kelamin perempuan semua itu, rata- rata langsung pasang tampang "sok lugu". Ada yang sibuk ngerapiin rambut, jilbab, senyam- senyum nggak jelas, de el el. Pokoknya semua kepenatan langsung hilang tanpa sisa. Aku masih berkutat pada tugas yang belum selesai dan duduk di pojokan belakang dekat kipas angin.

Sepanjang si dosen yang memakai kemeja biru dengan lengan digulung itu menjelaskan materinya, mahasiswa tak mengalihkan perhatian sedikitpun darinya. Seolah- olah benar- benar menyimak materi kuliah hari itu.

Dokter spesialis anak berdarah Manado itu, sebut saja dr. H, memang selalu dinantikan kehadirannya di kelas kami. Selain tampangnya yang oke dan penampilan kece, cara mengajarnya juga enak. Meski sudah memasuki usia 40 tahunan, dokter itu masih berstatus lajang. Nggak heran, banyak teman sekelas yang jadi klepek- klepek. Aku sih, biasa aja. Yang penting materi yang disampein nyangkut di otak. Tapi, banyak juga teman- teman yang sampai berkhayal ketinggian. Ada yang nyebut dirinya sebagai istrinya lah, calon istrinya lah, ada yang ngaku pacarnya lah, dan sebagainya lah. Aku geleng- geleng kepala aja kalau dengar mereka.

"Kalau dia ngelamar aku, pasti kuterima tanpa pikir- pikir lagi." Begitu celetuk salah satu temanku suatu hari.

"Yakin? 40 tahun, lho. Kamu kan baru 19." Sergahku.

"Cinta itu kan nggak pandang umur."

Hmmm...

Tapi, kalau giliran ujian datang, kekaguman mereka langsung menguap kayak  air panas. Apa sebab? Soalnya, kalau si dokter keren itu buat soal, lumayan buat puyeng dan sampe bikin nangis. Sebenarnya, kalau baca catatan materi atau handout yang diberikan, pasti bisa ngerjakan soalnya. Tapi, lantaran kalau si dokter mengajar, mahasiswanya bukan memperhatikan materi melainkan si dosen, jadilah keluhan- keluhan menyedihkan langsung bergema begitu ke luar dari ruang ujian. Malangnya, sampai ada juga yang terpaksa mengambil semester pendek akibat tidak lulus ujian yang artinya harus membayar uang semester tambahan. Kasihan orang tua di rumah yang banting tulang cari uang.

Dari kejadian itu, aku jadi mikir. Ternyata apa yang aku dengar selama ini nggak selamanya benar. Seperti dr.H itu. Semua mahasiswa suka padanya. Dan tidak sedikit yang tergila gila. Namun nyatanya, tidak semua mahasiswa yang memahami materi yang dijelaskannya. Malahan ada yang bablas sama sekali.

Menyukai guru ataupun dosen yang mengajar memang perlu. Karena dengan begitu, suasana belajar mengajar akan terasa lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Menyukai guru atau dosen juga memberikan kemudahan untuk menerima materi yang disampaikannya. Dibandingkan guru/ dosen yang cenderung suka marah- marah, judes, sombong, dan segudang hal yang tidak kita sukai, tentunya materi akan lebih mudah kita terima jika disampaikan oleh dosen yang kita sukai.

Sayangnya, hal positif tersebut dapat berbalik merugikan ketika kesukaan kita itu menjadi berlebihan atau berubah menjadi "suka" yang lain. Terlalu mengagumi bisa jadi membuat kita jadi lupa terhadap segalanya. Ketika mengajar, yang jadi fokus hanya dia. Dan akhirnya gagal ujian menjadi salah satu akhir menyedihkan yang harus dihadapi.

Jadi, satu hal yang kutetapkan dalam hati "Sukailah gurumu dalam batas yang sewajarnya dan tidak berlebihan."

Seperti yang kita tahu juga, segala hal yang berlebihan memang berakibat tidak baik. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun