Yang sering kudengar, kalau mau memahami pelajaran yang diberikan,cintai dulu gurunya...
***
Cuaca cerah dan panas seperti biasanya. Dan seperti biasanya juga, 77 mahasiswa harus rela berebut udara yang disebarkan empat kipas angin. Kami harus tahan- tahan iman dalam ruang kelas berukuran 6x10 m dengan jendela dan ventilasi tidak memadai dan "tanpa" AC. Belum lagi ditambah embel- embel bau badan yang menyeruak ke seluruh penjuru ruangan yang tanpa berdosa memaksa masuk ke dalam indera penciuman.
Satu mata kuliah baru saja berakhir. Perut- perut lapar yang belum terisi sarapan pagi tadi mulai merengek- rengek minta di isi. Masih ada waktu kurang dari setengah jam sebelum mata kuliah ekstra Kegawatdaruratan dimulai. Beberapa mahasiswa memutuskan untuk mencari pengganjal perut di kantin. Ada yang betah di kelas, tapi kebanyakan ke luar untuk mencari udara segar.
Dua puluh menit berlalu ketika sosok tinggi putih dengan kacamata tipis itu masuk ke kelas. Seperti biasanya seisi kelas yang berjenis kelamin perempuan semua itu, rata- rata langsung pasang tampang "sok lugu". Ada yang sibuk ngerapiin rambut, jilbab, senyam- senyum nggak jelas, de el el. Pokoknya semua kepenatan langsung hilang tanpa sisa. Aku masih berkutat pada tugas yang belum selesai dan duduk di pojokan belakang dekat kipas angin.
Sepanjang si dosen yang memakai kemeja biru dengan lengan digulung itu menjelaskan materinya, mahasiswa tak mengalihkan perhatian sedikitpun darinya. Seolah- olah benar- benar menyimak materi kuliah hari itu.
Dokter spesialis anak berdarah Manado itu, sebut saja dr. H, memang selalu dinantikan kehadirannya di kelas kami. Selain tampangnya yang oke dan penampilan kece, cara mengajarnya juga enak. Meski sudah memasuki usia 40 tahunan, dokter itu masih berstatus lajang. Nggak heran, banyak teman sekelas yang jadi klepek- klepek. Aku sih, biasa aja. Yang penting materi yang disampein nyangkut di otak. Tapi, banyak juga teman- teman yang sampai berkhayal ketinggian. Ada yang nyebut dirinya sebagai istrinya lah, calon istrinya lah, ada yang ngaku pacarnya lah, dan sebagainya lah. Aku geleng- geleng kepala aja kalau dengar mereka.
"Kalau dia ngelamar aku, pasti kuterima tanpa pikir- pikir lagi." Begitu celetuk salah satu temanku suatu hari.
"Yakin? 40 tahun, lho. Kamu kan baru 19." Sergahku.
"Cinta itu kan nggak pandang umur."
Hmmm...