Mohon tunggu...
Carwoto Saan
Carwoto Saan Mohon Tunggu... Wiraswasta - Menulis untuk berbagi dan mengikat ilmu

Saya pernah menulis, sedang menulis, dan Insya Allah akan menulis lagi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kisah Tragis Bertuah yang Tersembunyi di Balik Rangkaian Aksara Jawa

21 November 2023   09:10 Diperbarui: 26 November 2023   20:09 850
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Sumber: karangtengah.bantulkab.go.id)

Di pulau tersebut, Sembada ditinggal dan diberi tugas untuk menjaga keris pusaka milik Aji Saka. Setelah Aji Saka dinobatkan menjadi raja Medang Kamulan, ia mengutus Dora untuk pergi ke pulau Majeti guna menjemput Sembada dan membawa keris yang dititipkan ke Sembada. Inilah penjabaran cerita yang tersirat di balik barisan pertama aksara Jawa.

Para Utusan Berselisih Paham

Jika ditransliterasikan ke huruf latin, barisan kedua aksara Jawa adalah da-ta-sa-wa-la. Bila dirangkai, menjadi kalimat "data sawala". Kata "data" berarti saling. Kata "sawala" terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, yang berarti debat, bantah, diskusi. Dengan demikian, "data sawala" bisa diartikan "saling berdebat" atau "berselisih pendapat" atau bahasa Jawa diartikan "padha kerengan".

Kembali ke kisah legenda Aji Saka. Setelah mendapat perintah menjemput dan mengambil keris dari Sembada, maka Dora pun pergi ke pulau Majeti. Sesampainya di pulau Majeti, Dora lantas menyampaikan perintah Aji Saka untuk mengambil keris yang dititipkan pada Sembada.  

Sembada adalah abdi yang setia kepada Aji Saka dan memegang teguh amanah. Sembada menolak memberikan keris pusaka itu. Mengapa? Karena dia ingat pesan Aji Saka, bahwa tidak ada seorang pun boleh mengambil pusaka itu, kecuali Aji Saka sendiri yang mengambilnya. Akhirnya terjadilah perdebatan antara Dora dengan Sembada.

Bertarung Sengit, Sama-sama Sakti

Barisan ketiga huruf atau aksara Jawa adalah pa-dha-ja-ya-nya. Jika dirangkai, menjadi kalimat "padha jayanya". Kata padha berarti sama. Sedangkan kata jayanya bisa diartikan jayane dalam bahasa Jawa sekarang, atau dalam bahasa Indonesia berarti berjaya. Jadi, "padha jayanya" artinya "padha jayane" atau sama-sama berjaya.

Dalam lanjutan cerita mitos tersebut, antara Dora dan Sembada saling mencurigai bahwa masing-masing pihak ingin mencuri atau memiliki keris pusaka milik Aji Saka. Setelah perdebatan memuncak, akhirnya terjadilah pertarungan keduanya. Karena kesaktian keduanya imbang, alias sama-sama sakti atau digdaya, pertarungan mereka berlangsung sengit. Mereka mulanya sama-sama berjaya, nyaris tidak ada yang menang dan tidak ada yang kalah.

Berakhir Tragis, Kedua Utusan Meninggal

Barisan keempat yang merupakan baris terakhir aksara Jawa adalah ma-ga-ba-tha-nga. Jika dirangkai, menjadi kalimat "maga bathanga". Kata "maga" berarti ini. Sedangkan kata "bathanga" bisa diartikan bathange dalam bahasa Jawa, yang berarti bangkainya atau jazadnya. Jadi, "maga bathanga" artinya "iki bathange", yang dalam bahasa Indonesia berarti "ini bangkainya".

Akhir cerita, Aji Saka heran mengapa setelah sekian lama Dora yang diutus mengambil keris pusaka belum kembali juga. Maka ia lantas berangkat  sendiri ke pulau Majeti. Sesampainya di sana, Aji Saka terkejut menemukan mayat kedua abdi setianya, Dora dan Sembada. Keduanya meninggal, sebagai akhir pertarungan sama kuat. Aji Saka barulah menyadari telah terjadi kesalahpahaman antara kedua abdinya berujung kepada tragedi memilukan ini. Aji Saka sedih dan merasa bersalah, sebab perintahnyalah yang menyebabkan terjadinya pertengkaran akibat kesalahpahaman yang berujung kematian.

Untuk mengenang kesetiaan kedua abdinya maka Aji Saka lalu menciptakan sebuah puisi dengan huruf "aneh", yang jika dibaca menjadi aksara Jawa: hana caraka; data sawala; padha jayanya; maga bhathanga. Inilah asal-usul aksara jawa menurut cerita legenda. Jika diterjemahan secara bebas ke dalam bahasa Indonesia, artinya: ada utusan; mereka berselisih pendapat; bertarung sama-sama berjaya; ini jazadnya, keduanya meninggal.

Terdapat pesan yang bisa dipetik dari cerita legenda ini, yaitu bahwa kita harus jeli dan hati-hati dalam menyampaikan pesan atau memberikan perintah. Perintah yang baik tetapi disampaikan dengan tidak tepat bisa menimbulkan malapetaka. Dalam pengajaran bahasa Jawa, guna memudahkan mengingat kisah ini, para guru biasanya mengajarkan dalam bentuk tembang  atau nyanyian:

Hana caraka, ana kongkonan; 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun