Kebencian dan kekerasan punya sejuta alasan...
Â
Â
"Amine adalah pemuda yang karismatik dan penuh energi. Satu tipe kepribadian yang semakin jarang saya jumpai," begitu kenang Marc Armengaud, mantan guru sekaligus bos di mana Amine bekerja. Amine Ibnomolbarak, seorang arsitek muda berusia 29 tahun. Besama istrinya, Â Maya Nemeta, Amine berada di Paris untuk menghadiri sebuah pameran tentang arsitektur. Pada Jumaat naas yang lalu, Amine tewas diterjang peluru panas sementara Maya terluka parah. Amine bukan kelahiran Paris. Ia asli Maroko. Ayahnyalah yang mengirim Amine ke Perancis untuk mendalami ilmu kedokteran di Bordeaux. Tetapi, keyakinannya yang kuat akan sumbangan arsitektur bagi masyarakat menuntunnnya ke Paris untuk mendalami ilmu bangunan. "Ia menyelesaikan studinya empat tahun yang lalu dengan sebuah proyek tentang arus peziarahan di Mekah," kenang Armengaud lagi. Menutup kesaksiannya tentang mantan muridnya itu, Armengaud berkisah," Armine punya semacam keyakinan yang kokoh akan arsitektur. Sayalah yang membantunya mengurus surat-suratnya untuk bisa menetap di Perancis. Saya juga menghadiri pernikahan Amine dan Maya, beberapa bulan yang lalu.""
Â
Â
Berbeda dengan Amine, Hodda adalah gadis kelahiran Creusot, Perancis. Kedua orang tuanya aktif terlibat dalam komunitas muslim di sana. Hodda Saadi, gadis berusia 35 tahun, dikenal sebagai seorang putri yang ceria dan suka membantu. Setelah dewasa, ia meninggalkan Creusot untuk menetap di Charonne, Paris. Ia bekerja di sebuah restoran, Belle Equipe. Pada tragedi Jumat malam itu, ia sedang merayakan pesta ulang tahunnya, di depan restoran tempatnya bekerja, bersama kakak perempuannya, Halima Saadi, ibu beranak dua, dan sahabat-sahabat mereka. Seperti Amine, Hodda pun tewas dalam aksi penyerangan Jumat malam itu; ia dan kakak perempuannya. Menanggapi kematian kedua putrinya, sang ayah berkata," Siapapun yang membunuh kedua putri saya, tidak ada hubungannya dengan agama."
Amine, Hodda, Hilma dan ratusan korban jiwa lainnya direnggut dari kehidupan bukan karena agama, keyakinan atau kewarganegaraan mereka. Semuanya tewas dibunuh atas nama kebencian. Yang membunuh mereka adalah peluru dan peluru tidak mengenal nama, bangsa atau agama. Peluru tidak berkesadaran. Ia tidak mengetuk dan bertanya ketika merengut nyawa. Ia hanya meluncur dan merobek raga yang jadi sasarannya. Di mata peluru, Amine, Hodda, Hilma dan ratusan pribadi lainnya bukanlah manusia. Mereka semua hanyalah objek, target, sasaran; tanpa nama, tanpa kisah, tanpa sejarah. Begitu jugalah 8 agen kematian yang menarik pelatuk di Jumat malam itu. Sama sepeti peluru yang dimuntahkan, kedelapan duta maut itu tidak berkesadaran. Kesadaran mereka menguap karena api kebencian. Kalaupun mereka mengaku beragama, 'agama' mereka adalah dendam dan benci. Sebab, sejatinya agama lahir dari perwahyuan dan perwahyuan adalah terang yang mencerahkan dan membangkitkan kesadaran. Sementara kesadaran mencerahkan dan membuat mata terbuka, kebencian menutupnya.Â
Tragedi kali lalu tidak diletup oleh agama, tapi kebencian. Kebencian mengubah manusia menjadi peluru untuk membunuh dan melukai manusia lainnya. Para pewarta kebencian punya niat agar tragedi ini membangkitkan kebencian, agar yang lainnya pun ikut menjadi peluru, ikut kehilangan kesadaran dan pilihan bebas dan menggantinya dengan kebencian yang sama. Maka, daripada menyalahkan agama atau bangsa tertentu dengan kepentingan tersembunyi untuk membenarkan ideologinya sendiri, lebih baik satu pertanyaan ini diajukan dalam hati: apakah aku memilih untuk jadi 'peluru' yang menularkan kebencian atau menjadi 'manusia' yang mewartakan kesadaran?