Longform Journalism atau jurnalisme bentuk panjang merupakan salah satu produk jurnalistik yang memiliki jumlah kata mulai dari 1000 kata hingga lebih (Mitchell, dkk, 2016, h. 2). Hal ini tentunya berbeda dengan produk-produk jurnalistik pada umumnya yang memiliki jumlah kata yang relatif sedikit, yaitu 100-999 kata. Di tengah perkembangan teknologi dan digital saat ini, Longform Journalism mulai digunakan oleh berbagai media daring di Indonesia. Media daring di Indonesia mulai muncul sejak 1994, dengan Republika.co sebagai media daring pertama di Indonesia, disusul oleh Tempo.co dan berbagai media daring lainnya. (Margianto dan Syaefullah (dalam Panjaitan, 2018, h. 1)
Munculnya media daring atau online membuat perubahan pada tuntutan dan rutinitas masyarakat sebagai pembaca. Masyarakat tidak perlu menunggu koran cetak datang di pagi hari untuk dapat membaca berita, karena sekarang masyarakat dapat mengakses berbagai berita dimanapun dan kapanpun. Di balik perkembangannya, seorang jurnalis juga dituntut untuk dapat menghadirkan berita secepatnya dengan berbagai bentuk. Media dan jurnalis tidak dapat bertahan hanya dengan satu platform, mereka harus dapat menyajikan berita dimana saja dan kapan saja di berbagai platform.
Terdapat beberapa karakteristik media online yang berbeda dari media konvensional menurut (Ward, 2012 dalam Romli, h. 15), sebagai berikut:
Immediacy
Berkaitan dengan kecepatan dalam menyampaikan informasi. Media online harus dapat menyajikan berita secepatnya agar berita yang disajikan masih bisa segar.
Adaptability
Seorang jurnalis harus dapat beradaptasi dengan perkembangan yang terjadi, di mana saat ini mereka tidak hanya dapat menyajikan satu elemen berita saja, tetapi juga dapat menyajikan berbagai elemen seperti foto, teks, video, grafik, dll.
Scannability
Situs dalam media online harus bersifat mudah dipindai agar para pembaca dapat mengerti inti berita dalam durasi yang cepat.
Interactivity
Terdapat komunikasi dua arah dan adanya hubungan timbal balik yang terjadi, contohnya melalui fitur kolom komentar, di mana para pembaca dapat memberikan umpan balik kepada media yang mengunggah sebuah berita.
Community and Conversation
Media harus dapat menjadi sebuah komunitas yang di dalamnya terdapat interaksi antara media dan masyarakat sebagai audiens atau pembaca.
Setelah itu, muncul sebuah sebutan baru, yaitu jurnalisme multimedia. Multimedia menurut Widodo (2019, h. 24) merupakan banyak media yang terdiri dari kombinasi antara foto, video, teks, audio, grafik, dan interaktivitas yang tersaji di dalam sebuah situs website dengan format non-linear. Multimedia memiliki tujuan untuk menampilkan sebuah berita dengan cara yang menarik dan informatif, dimana informasi yang ditampilkan bersifat saling melengkapi, bukan mengulang informasi. Dalam konsep multimedia, informasi harus dapat dikombinasi ke dalam minimal tiga jenis media. Hal ini juga harus dapat didukung oleh penyampaian informasi yang cepat, karena media online dituntut untuk dapat memberitakan sebuah peristiwa secepat mungkin.
Dengan adanya tuntutan untuk menyajikan sebuah berita dengan cepat membuat jurnalis media harus dapat menghasilkan sebuah berita yang singkat dan ringkas, tetapi juga lengkap. Salah satu media daring yang dapat kita lihat adalah Detik.com, dimana Detik.com menghasilkan 4-10 paragraf dalam sebuah tulisannya. Mereka sengaja membuat berita secara ringkas dan padat agar para pembacanya dapat menangkap kesimpulannya dengan cepat. Namun, ditengah masifnya penulisan berita yang singkat, mulai muncul tulisan panjang atau longform. Hal ini dimulai dengan New York Times yang mempublikasikan tulisan panjang terkait longsor salju besar yang terjadi di Wellington. Tulisan ini berjudul Snow Fall dan berhasil memenangkan Pulitzer Price untuk tulisan feature. (Panjaitan, 2018, h. 4)
Di Indonesia, terdapat beberapa media yang turut menciptakan tulisan panjang atau longform, seperti Kompas.com, detikX dan Tirto.id. Di tahun 2016, Kompas.com merilis longform yang diberi nama "Visual Interaktif Kompas" atau VIK. VIK memiliki berbagai tema, seperti politik, ekonomi, budaya, gaya hidup, biografi dan lain-lain. Kolom VIK dibedakan dengan kolom-kolom berita lainnya yang hanya mengandung tulisan dan foto. VIK menggunakan animasi bergerak, tulisan, audio, infografik, hingga video. Hal ini dilakukan agar visual yang ditampilkan semakin menarik. Kelebihan dari VIK dibandingkan media lain ialah dari segi visual dan pengemasan ceritanya. Dari visual, VIK lebih menggunakan animasi berwarna yang tertunya menarik mata kita sebagai pembaca, berbeda dengan media lain yang mayoritas hanya menggunakan foto dokumentasi. Sesuai namanya, VIK didesain dengan interaktif, dimana pembaca terkadang harus melakukan taptap untuk melanjutkan membaca, dan sebagainya. Namun, kekurangan dari VIK ini adalah artikel yang tidak rutin dirilis. Kemungkinan besar dikarenakan pembuatan animasi yang memakan waktu, sehingga artikel tidak dapat dirilis secara rutin seperti media-media lain.
Beralih ke Tirto.id, longform yang ditampilkan ditulis dengan sangat mendalam dan tentunya dilengkapi oleh infografik dan juga foto. Infografik yang ditampilkan membantu pembaca agar dapat lebih mencerna isi dari artikel longform yang ada. Tidak hanya itu, infografik tersebut turut diunggah di akun Instagram atau Twitter dari Tirto.id. Artikel longform yang ditulis oleh Tirto.id menampilkan sekitar 20-30 paragraf, dengan durasi membaca selama 5 hingga 10 menit. Tirto menerapkan berita berlanjut, dimana dalam satu topik dari artikelnya dapat menghasilkan lima buah artikel yang berbeda. Oleh sebab itulah, di dalam artikelnya, Tirto biasanya mencantumkan link berita lain atau selanjutnya. Hal ini dilakukan agar para pembaca dapat lanjut membaca berita lainnya. Salah satu keunikan Tirto.id dari media-media lain ialah Titro menerapkan konsep longform sejak awal berdirinya hingga saat ini. Berbeda dengan website lain yang memisahkan longform dengan artikel biasa