Mohon tunggu...
Carolina Bastian
Carolina Bastian Mohon Tunggu... -

If we all discovered that we had only five minutes left to say all that we wanted to say, every telephone booth would be occupied by people calling other people to tell them that they loved them... #One of my fav quote ... follow my twitter: @olinbastian ... thank you :)

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tulisan (Sedikit) Anarkis = Jakarta Butuh Superhero !

7 Maret 2011   16:30 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:59 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada dasarnya gue bukan tipe Superhero yang sering tergerak hati dan perasaannya apabila melihat suatu ketidakadilan di jalanan. Gue juga bukan tipe Spiderman yang siap mengeluarkan jaringnya apabila ada orang lemah yang enggak sengaja (baca: sialnya) dicopet oleh preman bertampang garang. Gue ya gue. Pegawai kantoran biasa yang sehari-harinya naik turun angkutan umum Jakarta yang ajegilee sepi itu. Saking sepinya, kaki gue bisa ketekuk dengan posisi yang sama berjam-jam karena ga ada ruang gerak sama sekali. GUE udah biasa ngeliat preman naik turun angkot, teriak-teriak dengan suara parau, minta duit barang seceng, goceng, yang katanya bakal dipake buat makan-padahal nafasnya tengik bau bir murahan. Gue juga udah biasa liat para pencopet mempertontonkan keahlian tangan mereka di dalam bus kota. Atau liat om-om girang yang bisa orgasme berkali-kali cuma gara-gara melototin (maaf) CD perempuan yang (maaf) nyeplak dikit di rok ketat seorang mba-mba. Gue udah liat. Gue udah liat SEMUA itu. Bahkan kadang, sialnya gue sukses dikerjain para preman dan para penghuni Jakarta yang enggak bertanggung jawab itu. Biasanya gue diem aja. Enggak bersuara. Membisu. Tapi hari ini gue enggak bisa diem saat ngeliat ada seorang ibu setengah baya yang-sepertinya- penglihatannya kurang, diperlakukan semena-mena di bus umum. Dia didorong ke kiri, ke kanan. Kerudung putihnya tertarik hingga ke bahu, memperlihatkan helai demi helai rambutnya yang keperakan. Tangannya sibuk menggapai-gapai besi metromini agar ia dapat berdiri tegak sehingga tulang kakinya yang sudah rapuh dapat kembali menopang berat tubuhnya. Aku yang sedang duduk tenang sambil mendengarkan musik melalui earphone khas anak muda sekarang, memperhatikan lekat-lekat si nenek. Pupil matanya sudah berubah abu. Penglihatannya pasti sudah sangat jauh berkurang. Umurnya mungkin berkisar sekitar 65an. Pertanyaan-pertanyaan iseng sekilas berkelebat di otakku. "Dimana suaminya? Dimana si Kakek yang seharusnya mendampingi si Nenek dalam suka dan duka?" "Dimana anaknya? Kalau memang si Nenek punya anak, kenapa si anak malah membiarkan si Nenek pergi sendirian? Mana balas jasa si Anak? Bukankah dulu si Nenek selalu mengantarkan si Anak pergi ke sekolah?" Aku masih terdiam saat melihat si Nenek makin membungkuk menahan berat tubuhnya sendiri. Penumpang disekitar si Nenek juga diam saja. Tak ada yang berniat memberikan tempat duduknya kepada si Nenek, termasuk seorang bapak sehat bugar yang duduk nyaman tepat di sebelah si Nenek berdiri. Tak terasa setetes air mata mengalir dari mataku. Isi perutku membuncah, rasanya ingin keluar. Aku ingin Muntah. Rasanya ada kupu-kupu -bukan- ada lintah yang berjalan pelan disekujur tubuhku. Aku merinding. Aku ingat Mama. Dalam sekejap aku berdiri, menerobos kerumunan kaum pekerja dan kaum Mahasiswa Jakarta kemudian tepat berdiri tepat di samping si Nenek. "Nenek, mau ke mana?" tanyaku sopan. Awalnya si Nenek masih diam. Raut wajahnya terlihat bingung. Aku tanya lagi, "Nenek mau ke mana? Biar saya bantu." Tiba-tiba si Nenek menggenggam tanganku. Lemah tapi terasa pasti. "Awa'ari.. Awa'ari.." Aku mencoba mencerna jawaban si Nenek. "Rawasari, maksudnya, Nek?" Si Nenek menggangguk sambil tersenyum. Saat melihat senyum si Nenek, rasanya saat itu juga si lintah pergi, minggat jauh dari perutku. Akupun lalu berdiri berdampingan dengan si Nenek. Mencoba memegang erat tangannya agar tubuhnya tidak oleng saat si supir mempraktekkan ilmu rem dadakan mandragunanya. Sesampainya di Rawasari, kubantu si Nenek agar dapat turun dari Metromini dengan tenang. Tak ada ucapan apapun darinya. Hanya mata berkaca-kaca dan sedikit remasan kuat di telapak tanganku sesaat sebelum si Nenek turun dari metromini. Aku terdiam. Berusaha menahan laju air terjun yang mungkin akan mengalir dari mataku. Maafkan aku ya Nenek berkerudung putih.. Aku hanya bisa menjadi superhero hingga saat itu saja. Semoga Nenek dapat sampai ke tujuan Nenek -dimanapun itu- dengan sehat, selamat sentosa.. Semoga Nenek dapat bertemu dengan  Superhero lainnya. Atau minimal orang biasa yang tiba-tiba berjiwa Superhero. Sehingga Nenek dapat sampai ke tempat tujuan Nenek dan bertemu dengan keluarga Nenek, lagi. Semoga saja.. Semoga... 07/03/2011

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun