Beberapa tahun yang lalu, aku kembali teringat saat uang seribu rupiah adalah suatu kebahagiaan dan PR matematika seolah menjadi persoalan yang sangat besar. Kenangan itu begitu membekas diingatan hingga kini.Â
Lebih jauh ke dalam, kembali kumengingat akan jasa para guru di masa merah-putihku dulu. Mereka telah menaruh dasar dalam hidupku hingga aku dapat melangkah lalu berlari menuju cita-citaku. Dasar itu nyatanya kuat dan melekat hingga setiap apa yang kini kupelajari tak pernah jauh dari dasar yang telah mereka tanamkan.Â
Terima kasih, cukupkah itu bagi mereka? Mereka yang dengan penuh ketulusan mendidik anak-anak yang terkadang membangkang dan memberontak bak singa lepas dari kandang? Bukan hanya untuk mengejar  materi hingga mereka seolah rela melakukannya, tapi aku sendiri merasakan betapa panggilan mereka sebagai guru benar-benar diaplikasikan.
Aku seorang anak dari Nusa Tenggara Timur, hendak membagikan kisahku dan guruku saat aku duduk di bangku sekolah dasar, SD Katolik Santa Agnes Ruteng IV.
Pagi itu aku bangun pagi sekali, matahari belum menampakan sinarnya dan udara masih sangat dingin. Kota kecil yang aku tinggali bernama Ruteng, terletak di pulau Flores, NTT. Hari itu adalah hari dimana aku akan duduk dibangku sekolah dasar. Diantar mama dengan berjalan kaki, akupun sampai disekolahku.
Saat kulayangkan pandangan, terlihat mereka yang akan menjadi teman-temanku  bersama orang tuanya masing-masing, semua mengenakan seragam baru, tas baru dan semuanya baru. Ada yang menangis karena tak mau bersekolah, ada yang diam seolah bingung, ada yang terus menerus bertanya pada orangtuanya dan aku sendiri hanya terdiam sambil menggenggam erat tangan mama. Setelah itu, kami pun dipanggil satu persatu dan masuk ke dalam kelas. Hari pertama sekolah, hanya pengenalan.
Hari-hari terus kulalui. Saat itu seakan banyak hal baru yang aku pelajari. Penjumlahan, pengurangan, kata dan kalimat seolah sangat susah untuk kupahami. Saat itu, aku sangat kagum pada bapak dan ibu guru saat mereka menulis.Â
Aku merasa tangan mereka begitu "elastis" hingga dapat menulis begitu cepat. Akupun tak mau kalah, dirumah selalu kupraktikan cara menulis cepat walau sungguh aku pun tak mengerti apa yang aku tuliskan. Inilah poin pertama, bahwa aku sangat mengidolakan para guruku dan mereka sangat menginspirasiku seorang anak kecil berusia tujuh tahun saat itu.
Saat aku dikelas 2 SD, aku pun mulai diajarkan membaca kalimat yang panjang. Ibu Lun, adalah ibu guru yang mengajari kami membaca saat itu. Setiap paginya aku dan teman-teman akan berlatih membaca dengan buku Bahasa Indonesia khusus kelas 2 SD. Ibu Lun akan membacakan terlebih dahulu sambil mengejanya bagi kami. Lalu kami pun serentak mengikutinya dengan jari yang ditunjuk pada tulisan dibuku.Â
Setelah berhasil membaca sekitar dua atau tiga kalimat panjang, aku seperti merasa capek dan senang karena berhasil membaca. Capek karena sangat terfokus pada tulisan dan berusaha agar bacaan tersebut benar adanya. Ku angkat kepala, memandangi ibu Lun, yang terus mengeja bagi kami tanpa ada sedikit kelelahan terpancar diwajahnya.Â
Untuk tahap ini, aku sangat bersyukur hingga saat ini. Kenapa? Karena berkat ibu guruku, aku bisa membaca apa saja ku mau, semakin membuka cakrawala berpikirku bahwa dunia ini sangat luas dan menyadarkanku  bahwa aku sangatlah kecil. Dengan berawal dari AA BB dan huruf-huruf lainnya, kini aku dapat merangkai kata membentuk kalimat, berdiri sebagai seorang mahasiswa dengan menyampaikan argumenku dan menjelaskan penggunaan obat kepada pasien.
Waktu terus berlalu, akupun kembali teringat saat aku duduk di bangku kelas 3 SD. Ibu Siska, adalah ibu guruku yang mengajariku Ilmu Pengetahuan Alam. Berkat ibulah, aku sangat tertarik dengan pelajaran satu ini. Ibu Siska dikenal sebagai ibu yang sangat tegas pada murid-muridnya. Saat itu, tiap kelas dari kelas 1-6 memiliki taman masing-masing. Kewajiban kami adalah merawat taman tersebut.Â
Ibu Siska sangat menyukai mawar merah, hingga tiap hari ibu selalu mengajak kami membersihkan taman dari rumput liar dan menyiram bunganya setiap pagi. Ibu Siska mengajari kami arti menyayangi dan memelihara tanaman.Â
Suatu pelajaran yang saat ini mungkin telah diabaikan sekolah-sekolah dasar formal jaman sekarang, karena sekarang lebih banyak diajarkan teknologi dengan segala kemudahannya.
Setiap hari sabtu, adalah hari dimana kami semua membersihkan kelas masing-masing setelah mata pelajaran pertama. Kami selalu mengambil air di sungai yang letaknya tidak jauh dari sekolah. Jika pagi-pagi kami kesana, tak jarang bertemu ibu Siska dengan payungnya berjalan menyusuri sungai hendak ke sekolah. Itulah guru-guruku.Â
Saat pulang sekolah, bapak dan ibu guru juga sering berjalan bersama kami para murid sambil sedikit bercerita. Tak ada kesenjangan berarti, namun hormat kami bagi mereka tetap dinomorsatukan.Â
Penampilan mereka boleh terlihat sederhana, namun mereka kaya akan ilmu yang tak sungkan mereka bagikan bagi kami. Inilah poin kedua yang aku banggakan dari guru-guruku. Penampilan bukanlah jaminan akan luasnya wawasan seseorang melainkan kesiapan, kerelaan serta ketulusan membagikannya bagi orang lain.
Pak Tarsi, guru matematikaku saat duduk di kelas 4 SD, mengajariku perkalian 1 hingga 10. Sungguh, sampai hari ini, saat lupa akan hasil  perkalian aku masih sering menggunakan cara klasik yaitu menghafalnya kembali dengan nada khusunya agar aku dapat lebih mudah mengingatnya. Setiap kali aku melakukan hal itu kini, aku selalu tersenyum mengingat kenangan saat itu.Â
Aku pernah dihukum karena tak bias menghafal perkalian 7. Aku hampir menangis dan malu namun aku menyadari bahwa tujuan daripada itu adalah untuk mendongkrak semangatku untuk lebih giat belajar lagi.Â
Alhasil, minggu kedua setelah pertemuan itu, aku bisa menghafalinya hingga perkalian 10. Ini poin ketiga dari guruku yang kubanggakan, bahwa mendidik dengan tegas bukan dengan kekerasan adalah hal yang berbeda. Tegas dapat menyadarkan kita dari kelemahan dan kesalahan kita serta membuat kita merasa ingin terus maju dan menjadi lebih baik.
Saat aku duduk dikelas 6 SD, aku mulai belajar tentang Indonesia. Negara kepulauan, provinsi dan ibukotanya masing-masing, keragaman budaya, agama, toleransi dan lain sebagainya.Â
Pak Thomas adalah guru yang membimbing dan mengajari kami. Walau usia beliau sudah tak lagi muda, tapi semangatnya seakan tak pernah padam. Beliau selalu mengajarkan kami untuk dengan baik menghafal nama daerah-daerah yang ada di Indonesia. Hingga kini, aku sangat bangga dan bersyukur pernah diajarkan oleh beliau.Â
Kenapa tidak, saat aku merantau di pulau Jawa untuk melanjutkan pendidikan, aku masih mengingat nama beberapa provinsi beserta ibukotanya masing-masing serta mengingat nama dan letak pulau-pulau di Indonesia.Â
Inilah kenyataanya dan memang miris, saat kami anak-anak di daerah berkembang dengan susah payah menghafal letak pulau dan nama daerah diluar NTT khususnya, tetapi mereka yang berdomisili di daerah maju justru seolah tak pernah tahu dimana letak daerah kami.Â
Sebagian dari mereka yang menyangka bahwa Flores terpisah dari NTT, Â apakah NTT dapat dijangkau dengan pesawat dan apakah NTT itu bagian dari Papua. Begitu banyak pertanyaan yang sontak membuatku kaget. Bukankah kita ini sama-sama Indonesia? Entahlah. Tapi berkat bapak dan ibu guruku, aku memahami hal itu.
Saat kelas 6 pun aku sempat diikutsertakan dalam pawai pembangunan. Aku dan timku memainkan drama yang berhubungan dengan kepulauan NTT khusunya.Â
Dalam drama itu persis seperti apa yang kualami kini, pertanyaan seolah NTT bukanlah bagian dari Indonesia. Saat itu mungkin aku hanya sebatas memainkan peranku saja, tanpa memahami maknanya. Namun setelah beberapa tahun berlalu, barulah kusadari.Â
Terima kasih bapak ibu guru, berkat kalian aku bisa seperti ini.
Kami mungkin dididik di lingkungan dimana segala fasilitas belum tersedia dengan baik dan lengkap. Buku-buku pelajaran kami terbatas dan kami selalu kagum dengan apa kami lihat di televisi mengenai teman-teman lain yang bersekolah di daerah lebih maju. Pada masanya, kami ingin punya alat peraga seperti mereka. Namun di balik semua itu, guru-guruku mendidik kami dengan fasilitas yang tak ternilai harganya. Ditengah kesederhanan, kami dididik dengan penuh cinta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H