Mohon tunggu...
Carmia Margaret
Carmia Margaret Mohon Tunggu... -

Siswa kelas XI SMK Sentosa Jakarta, sedang menjalani tugas praktek 2 bulan di Inspektorat Jenderal Kementerian Keuangan RI. Tergila-gila membaca dan berkontribusi bagi kemajuan dunia melalui karya nyata berupa diksi dan aksi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Tidak Menjadi Siswa

5 Maret 2012   13:12 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:28 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semua manusia yang hidup di dunia ini pastilah bekerja. Benarkah pernyataan tersebut? Belum tentu. Kalau dalam ilmu logika matematika, dapatlah kalimat tersebut digolongkan ke dalam kategori kalimat terbuka. Kalimat yang bermakna tetap, namun belum terdapat nilai benar atau nilai salah yang absah di dalamnya.

Hal ini didukung oleh pembuktian kebenaran dari kalimat di atas. Tidak semua manusia yang hidup di dunia pasti bekerja. Atau dalam bahasa sehari-harinya, semua manusia yang hidup di dunia belum tentu pasti bekerja.

Mari kita mencoba untuk menilik kenyataan atau realitas yang terjadi berkenaan dengan pernyataan di atas. Kalau dalam Ilmu Sosial, pekerjaan manusia terkait dengan unsur produktivitas, yaitu di titik usia produktif, 14-65 tahun. Berarti, 0-14 tahun termasuk golongan usia belum produktif, sedangkan usia 65 ke atas sudah tidak produktif lagi.

Apakah sepenuhnya benar demikian?

Kebanyakan orang yang masih menganut pola pikir sempit akan berpendapat bahwa mereka yang “bekerja” hanyalah mereka yang bergelut dalam profesi. Sebagai karyawankah, pengusahakah, gurukah, pemadam kebakarankah, dokterkah, atau bahkan buruhkah? Selebihnya, seperti mereka yang menganggur, disebut tidak bekerja. Jadi, seorang siswa seperti saya ini bekerja atau tidak?

Kalau saya ditanya demikian, saya akan menjawab YA dengan lantang. Inilah pekerjaan saya, inilah ladang yang saya geluti. Menjadi siswa. Profesi saya adalah sebagai seorang siswa. Tempat kerja utama saya adalah di sekolah. Jenis pekerjaan yang saya lakukan—kewajiban saya—sederhana saja, belajar dengan baik. Gaji saya—imbalan yang layak saya peroleh—adalah ilmu. Itu menurut saya.

Sebenarnya, jabatan atau profesi siswa itu adalah profesi yang paling nyaman, paling tidak beresiko, paling mudah dijalankan, dan paling sederhana. Kalau jam kerja kantor nine to five—delapan jam—saya hanya six to one—enam setengah jam, paling lama tujuh jam. Lumayan, satu jam!

Namun, disamping teorinya—walaupun profesi siswa merupakan profesi termudah—dalam kenyataannya kita mendapati secara tegas dan terang-terangan kalau penyimpangan terbesar, terfrontal, dan justru terbahaya adalah pada profesi siswa itu sendiri.

Mudah sekali bagi seorang siswa untuk membuat alasan, cari kompensasi. Curi-curi waktu sedikit, bilang saja ke toilet. Delapan jam pelajaran per hari, sama dengan delapan kali ke toilet. Pertanyaannya: minum air seberapa banyak sih sampai harus—maaf—delapan kali kencing?

Guru sudah di kelas, kita belum masuk ke kelas. Sesampainya di kelas, rutinitas yang tejadi seperti ini: guru mengabsen—guru mengecek PR—siswa tidak buat PR—guru menghukum siswa—siswa melawan guru—guru marah—siswa menantang—guru dan siswa berkelahi. Jadi kalau delapan jam itu masing-masing empat puluh lima menit, berapa menit yang benar-benar digunakan efektif untuk membahas materi?

Tidak buat tagihan tugas, bilang ketinggalan. Toh besok masih bisa dibawa. Malas belajar, lalu nilai ulangan jelek, tinggal remedial. Lha, remedial sekali masih nggak berhasil. Ulang lagi. Kedua kali, sama juga—belum tercapai—bahkan ada yang nilainya malah tambah jelek. Lama-lama gurunya capek juga, dibuat saja nilai KKM di buku nilainya. Siswa menang, deh. Jadi yang sudah terkonsep dalam pemikiran siswa masa kini, sebodo amat lah, sesusah apapun soal ulangannya, ujung-ujungnya saya pasti dapat KKM. Ya ampun, mentalitas loser banget!

Pakaian seragam pun sistemnya suka-suka saya. Harusnya pakai celana putih, malah pakai abu-abu. Bilang saja yang putih dicuci. Begitupun sebaliknya, ketika disuruh pakai yang abu-abu, lagi dicuci. Rasanya, seminggu itu—lima hari sekolah—bisa sampai enam atau tujuh kali cuci celana. Lucu, memang.

Kemudian, masalah atribut pelengkap. Dasi misalnya. Sudah jelas namanya dasi, tetapi dalam praktiknya tidak pernah menjadi dasi, melainkan beralih fungsinya menjadi kalung dari kain—berliontin dasi. Kalau siswa SD atau SMP mungkin wajar jika masih belum terampil membuat simpul dasi. Tapi kalau anak setingkat SMA yang bilang begitu, siapa yang patut dipersalahkan? Mungkin di rumahnya orangtua tidak pernah mengajari cara membuat dasi. Mungkin—bisa dimaklumi—apabila orangtuanya juga tidak pernah atau tidak bekerja dengan berdasi. Misalnya, bapaknya pedagang, atau bahasa kerennya—pengusaha. Tentunya konteks kita di sini adalah pengusaha mikro atau pengusaha kecil-menengah, yang tidak perlu pakai dasi asal barang dagangannya laku. Wajar apabila anaknya tidak bisa pakai dasi karena tidak pernah diajari. Namun sampai kapan si anak tidak bisa pakai dasi dengan rapi? Apa mau seumur hidup meneruskan “warisan” dari sang ayah—ketidakmampuan berdasi? Perlukah sekolah menambahkan jam pelajaran khusus “Tata Berpakaian”?

Mungkin bagi beberapa orang terlalu klise atau terlalu tidak penting membahas soal dasi-dasian. Secara pribadi saya tidak mencoba idealis, hanya ingin mengkritisi beberapa aspek profesionalisme seorang siswa dari kacamata saya—siswa yang juga masih terbatas dan sangat perlu bimbingan—supaya kemudian seluruh siswa itu sendiri menemukan suatu titik pijak menuju pembenaran untuk kembali kepada rel yang seharusnya.

Kalau dasi saja sudah cukup pelik, bagaimana dengan atribut lain? Ikat pinggang? Kaos kaki? Sepatu? Rambut? Mengapa hal-hal sekecil ini harus mencuri porsi utama sekolah—yaitu pendidikan—hanya karena penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaannya?

Lantas pertanyaan saya: apa sebenarnya akar dari segala penyimpangan—ketidakprofesionalitas ini? Apa yang sebenarnya harus diperbaiki—cara efektif apa yang dapat ditempuh untuk perbaikan?

Dengan penelitian konvensional yang saya lakukan di sekolah setiap hari—mengamati teman-teman dan guru-guru saya—saya mencoba menarik sebuah kesimpulan. Memang segala penyimpangan yang terjadi sekarang ini tidak lepas dari perubahan dan perkembangan zaman. Saya sering mendengar orangtua saya berujar, “Kalau zaman Bapak sekolah dulu..” Nah, ucapan seperti ini sudah tidak sepenuhnya relevan karena zaman sekarang sudah amat jauh berbeda daripada zaman dulu. Perubahan zaman yang begitu pesat—termasuk di dalamnya teknologi dan gaya hidup modern—pasti akan mempengaruhi kebudayaan generasi muda. Perubahan kebudayaan itu akan berdampak juga pada perubahan pola pikir, perubahan tindakan, sampai kepada perubahan sistem—sesuatu yang tidak tertulis namun sepertinya mutlak mengendalikan kehidupan keseharian—generasi muda. Itulah yang menjadi akar segala perubahan yang kita sebut kemajuan, tapi orangtua dan guru kita menyebutnya kegilaan.

Jika kita mau secara dalam dan serius menyelidik ke dalam penyimpangan profesionalitas ini, sebenarnya hanya satu kata kunci: perbedaan persepsi. Perbedaan persepsi yang tidak dibereskan ini akan mengakibatkan kedua pihak sama-sama berkeras hingga akhirnya menimbulkan persitegangan. Diperlukan kerendahan hati sebagai pijakan pertama menuju pembenaran. Hanya kerendahan hati, tidak perlulah dulu kita bicara soal tingkatan ilmu. Mulailah dari kerendahan hati untuk melihat dari perspektif pihak “lawan”.

Mudah saja, namun perlu proses yang tidak mudah. Seorang siswa harus belajar memposisikan dirinya andaikata ia menjadi Bapak/Ibu Guru. Kerja tiap hari, harus datang lebih awal tapi pulang lebih lambat, tak peduli situasi atau kondisi, harus tetap hadir ke sekolah. Pertama, mengingat para siswanya yang menanti di kelas. Kedua, serangan yang menyakitkan dari mulut warga sekolah lain apabila ia tidak hadir. Yang ketiga—maaf—menyangkut penghargaan yang diberikan. Guru tidak masuk sekolah sehari saja, sudah dapat potongan gaji sekian persen. Padahal gajinya amat tidak seberapa. Satu pedoman sederhana yang harus dipegang setiap siswa hanyalah menghargai dan mengasihi para gurunya dari hati yang terdalam. Dengan demikian secara otomatis sikap dan perbuatan akan mengikuti.

Apabila seorang siswa sudah mau dan bersedia mengasihi guru-gurunya, saya percaya PR tidak lagi diabaikan. Buku tidak lagi ditinggal. Masuk kelas dan mengikuti pelajaran tidak lagi ogah-ogahan. Bahkan cara pakai celana pun akan berubah dengan sendirinya mengikuti kasihnya itu.

Apabila para siswa dituntut untuk mengasihi guru-gurunya, berarti tuntutan yang harus dipenuhi Bapak/Ibu guru adalah menumbuhkan rasa kasih itu di hati para siswanya. Dengan tidak hanya menjadi pekerja ilmu yang tugasnya hanya transfer ilmu dari otak ke otak, melainkan berupaya menjadi Ayah dan Ibu dalam makna sesungguhnya bagi setiap siswa—tidak hanya pribadi tertentu saja—maka saya percaya hati dan sikap sebagai seorang anak itu akan melekat dengan sendirinya pada kepribadian setiap siswa. Inilah harga mutlak yang harus kita bayar bersama: parenting’s lifestyle in every teacher’s heart can grow a spirit of sonship in every students’ heart. Gaya hidup sebagai orang tua yang dimiliki oleh setiap guru akan menumbuhkan semangat setiap siswa untuk hidup sebagai anak. Dan kesatuanpun terjadi, penyimpangan terhindarkan!

Memang secara derajat, guru harus amat dijunjung tinggi martabatnya. Status “guru” yang disandangnya harus benar-benar dihargai oleh setiap siswa. Namun ketika nampaknya sebagian besar siswa tidak mampu menghargai, guru tersebut harus bertanya ke dalam dirinya: sudahkah saya benar-benar menjalankan profesi sebagai guru? Ataukah saya hanya sebagai pentransfer ilmu? Kata kuncinya hanya satu: guru berbicara lebih jauh daripada ilmu. Saat ilmu berhenti—saat ilmu habis, sifat keguruan harusnya tidak pernah hilang. Guru tidak hanya bicara soal ilmu, tapi lebih jauh berbicara soal hati dan hidup. Menjadi ayah dan ibu bagi perkembangan diri siswa. Menjalankan fungsinya sebagai “orangtua yang sesungguhnya” di kancah pendidikan. Memang dalam kehidupan pribadi siswa, orangtua kandung siswa-lah yang berperan. Namun dalam dunia pendidikan, harus siapa yang berperan? Sementara banyak orang tua yang tidak sempat merasakan pendidikan yang benar.

Para siswa pun harus lebih sadar akan keberadaannya. Kalau jadi anak, ya benar-benarlah sebagai anak. Tidak bisa siswa berharap mendapat perlakuan yang sederajat dengan perlakuan guru. Siswa—harga mutlaknya—tetap hanya siswa. Jadi amat wajar apabila tidak mendapat fasilitas yang sama seperti apa yang guru dapatkan. Kalau mau sama, ya jangan jadi anak. Jangan jadi siswa. Jadi guru saja. Jadi “bapak” atau “ibu” saja. Nah, karena di usia yang sekarang ini masih usianya para siswa, berlakulah sebagai siswa. Sebagai siswa (baca: anak) yang baik, miliki dan hidupilah sikap ‘keanakan’ itu. Saya ulangi—milikilah sikap keanakan—bukan kekanakan. Menjadi anak yang dewasa, yang tahu isi hati ayah dan ibunya. Tidak usah bicara patuh dulu, karena kalau dibilang patuh kepada guru, terlalu klise kedengarannya. Jadi minimal kasihi dan ketahui isi hatinya. Itu saja. Mana ada orangtua yang ingin anaknya jadi pembangkang?

Saya tidak ingin bersikap sebagai penceramah. Saya hanya suka mengungkapkan apa yang ingin saya ungkapkan. Pada akhirnya proses kebenaran dan pembenaran dalam pendidikan hanyalah masalah pilihan. Menyatukan perspektif atau tetap berkeras? Pilihan yang amat jelas: menjadi lebih baik, menjadi biasa, atau malah menjadi lebih buruk? Kalau ternyata seluruh siswa Indonesia tidak mau merendahkan hati menjadi anak, dan seluruh guru Indonesia juga tidak mau menjadi orangtua, saya pribadi memilih untuk tidak menjadi siswa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun