Usulan 5 kepala daerah untuk memberhentikan operasional KRL ditolak oleh pemerintah pusat, alasan utamanya karena masih banyak pekerja yang bekerja di 8 sektor penting yang menggunakan KRL untuk bekerja [1]. Jika operasi KRL berhenti, penumpang kereta yang banyaknya pekerja langsung di lapangan akan kesulitan mencari moda alternatif lain. Tentunya hasil keputusan itu sangat pelik untuk dilihat dari satu sudut pandang saja, di satu sisi terdapat kebutuhan untuk pekerja tetap menjalankan roda kehidupan dasar perkotaan namun disisi lainnya terdapat kemungkinan penyebaran virus.Â
Pemerintah pusat dan pihak KCI menjanjikan untuk melakukan langkah ekstra dengan melakukan pengawasan yang lebih ketatseperti pemastian orang yang menggunakan KRL hanya untuk pekerja yang bekerja di 8 sektor utama [2]. Namun apakah langkah ini cukup untuk memastikan physical distancing yang baik? Apakah kepala daerah cukup berpangku tangan saja dan menyerahkan tanggung jawab kepada pemerintah pusat dan pihak KCI? Jawabannya tidak, masih ada langkah lain yang masuk dalam tanggung jawab pemerintah daerah untuk bisa menekan laju penyebaran virus corona.
Physical Distancing Saat Berjalan Kaki Juga Penting
Seperti yang kita ketahui, jarak minimal untuk melakukan physical distancing adalah 2 meter. Untuk dapat meminimalisir infeksi virus corona, orang-orang harus berjalan saling berjarak selama berada di trotoar. Namun permasalahannya adalah tidak semua trotoar di Jabodetabek sebagus trotoar Sudirman-Thamrin yang memiliki lebar hingga belasan meter, terkadang bahkan masih ada jalan yang tidak ada trotoarnya. Jika orang berjalan di trotoar yang sempit maka kemungkinan infeksi penularan antar pejalan kaki akan tetap tinggi.
Alternatif yang terpaksa dilakukan adalah dengan terpaksa berjalan di atas aspal untuk tetap menjaga jarak . Sayangnya, cara ini sangat membahayakan pejalan kaki karena akan lebih rentan tertabrak kendaraan, belum lagi jalan yang akhir akhir ini semakin lengang membuat kendaraan cenderung melaju lebih kencang.
Pejalan kaki terpaksa berjalan di trotoar yang sempit, bahkan terhalangi tiang listrik. Sehingga tidak sedikit ditemukan banyak pejalan kaki yang memutuskan berjalan kaki di aspal yang cukup berbahaya karena tidak ada proteksi dari kendaraan.
Kita bisa melihat contoh ketersediaan ruang berjalan kaki di sekitar Stasiun Manggarai masih belum cukup. Berdasarkan pengamatan melalui google earth dengan street view (hanya bisa lewat google earth karena sedang physical distancing) kondisi trotoar cukup tertata pada lokasi di dekat stasiun (foto ke-4). Terdapat ruang khusus yang cukup lebar dan aman untuk pejalan kaki berjalan kaki, namun tidak demikian pada kondisi 200 meter dari stasiun.Berdasarkan informasi terbaru, pada tanggal 29 Maret 2020, tercatat setidaknya terdapat penurunan penumpang KRL dari 1 juta penumpang hingga 300 ribu penumpang atau sebanyak 70% penurunan dibanding hari normal [3] . Walaupun penurunan cukup signifikan terjadi, masih terdapat banyak penumpukkan penumpang di beberapa stasiun seperti di stasiun Bogor, Cilebut, Boojonggede, Citayam, Depok, dan juga stasiun utama Manggarai [4]. Pemerintah daerah seharusnya bisa tetap melakukan aksi untuk memastikan physical distancing tetap dilakukan dengan baik dan aman kepada para pejalan kaki.Â
Lantas, langkah apa yang bisa dilakukan secara singkat namun berdampak? Apakah dengan menerjunkan lebih banyak personel TNI dan Polri? Jawabannya tidak perlu. Ada langkah lain yang bisa dilakukan dengan cara yang mudah dan murah tanpa memerlukan personel yang berjaga terus menerus.
Perlebar Jalur Pejalan Kaki secara Taktis
Intervensi penyediaan ruang khusus semi-permanen bisa menjadi jawabannya. Cara ideal untuk membuat para pejalan kaki berjarak namun tetap aman ketika berjalan kaki adalah dengan membangun trotoar yang lebih luas, tetapi cara ini tidak menjawab urgensi permasalahan corona yang ada. Pendekatan tactical urbanism bisa menjadi cara yang paling jitu dalam waktu singkat.