Pada mula-mula perkembangan peradaban, peristiwa bencana seperti gempa bumi ataupun badai selalu diasosiasikan dengan tindakan disaat Tuhan marah dengan umatnya sehingga memberikan hukuman berupa bencana.Â
Seiring dengan berkembangnya zaman, ilmu pengetahuan berhasil mengenali bencana-bencana itu sebagai suatu fenomena yang dapat diukur atau memang dapat diperkirakan lokasi serta waktu kejadiannya.Â
Di saat bersamaan manusia semakin modern sehingga membentuk tempat berkumpul skala besar yang kita kenal sebagai kota. Ketika berbicara tentang bencana, ada perbedaan antara bencana yang terjadi secara alami dan bencana yang terjadi karena tindakan manusia.
Bencana yang disebabkan oleh aktivitas manusia seperti bencana banjir di tengah perkotaan, kebakaran bangunan, pencemaran udara, dan panas yang berlebihan (urban heat wave).
Terdapat sebuah hipotesis baru yang dikemukakan oleh Allan Lavell [1] bahwa risiko bencana yang terjadi merupakan hasil konstruksi sosial yang didasarkan pada potensi kejadian bencana fisik yang sebenarnya didominasi oleh persepsi sosial, kebutuhan, permintaan, dan keputusan di ranah publik.Â
Pemahaman ini membawa kita ke dalam sebuah bahasan dalam ranah struktural ketimbang perbincangan yang terjadi pada ranah teknis permukaan saja.
Jika kita melihat segala pemberitaan media yang ada mengenai bencana perkotaan seperti kebakaran, kabar yang diberitakan berkutat mengenai kerugian yang ditimbulkan, sebab kejadian kebakaran akibat arus pendek listrik, ataupun dampak kemacetan terhadap lalu lintas.Â
Pembahasan mengenai bencana ini jarang sekali menjawab sebab muasal kebakaran bisa terjadi. Gubernur DKI Jakarta juga mengklaim bahwa setiap hari selalu terjadi bencana kebakaran di Jakarta (1).Â
Pertanyaanya adalah "mengapa setelah selama ini pembangunan di Jakarta berlangsung, bencana kebakaran terus terjadi setiap hari dan tidak menunjukkan kondisi yang semakin baik?" seperti data kebakaran selama 5 tahun ini di DKI Jakarta:
Baiklah mungkin ada beberapa laporan yang mengungkapkan perumahan padat penduduk informal yang tidak teratur menyebabkan bencana lebih mungkin terjadi. Atau laporan lebih lanjut tentang bagaimana mempersiapkan warga agar berketahanan melalui penyediaan sarana prasarana dan pelatihan.Â
Namun ini semua masih belum menjawab pertanyaan pertama dari segala insiden ini. Yakni mengapa para penduduk ini harus tinggal di tempat yang beresiko seperti itu ? apakah mereka sukarela atau terpaksa karena harga lahan yang tidak terjangkau sehingga tinggal di daerah marjinal kota?
IRDR (Integrated Research on Disaster Risk) mengeluarkan sebuah laporan FORIN (Forensic Investigation of Disaster), dalam laporan tersebut dikatakan bahwa pembahasan mengenai akar masalah tersebut seringkali disingkirkan dari pemberitaan karena berpotensi untuk mengguncang pemangku kebijakan yang sebenarnya bertanggung jawab akan segala peristiwa bencana.Â
Apalagi yang lebih seksi untuk diberitakan di media adalah tentang pejabat yang turun langsung meninjau lokasi kejadian bencana (bukan berarti salah, ini bagus untuk menunjukkan support kepada warga terdampak, tetapi pembahasan seharusnya bisa lebih jauh lagi).
Bencana yang terjadi merupakan disrupsi dari fungsi normal sebuah sistem sosial, yang disaat bersamaan juga diproduksi oleh ke"normalan"itu sendiri sebagai melencengnya fungsi pembangunan yang adil. Proses munculnya bencana dimulai dari kontradiksi tujuan struktural yang ditetapkan oleh sistem sosio-kultural, berujung pada kegagalan fungsi internal.
Keadaan tersebut kemudian menciptakan suatu kondisi kerentanan atau disebut Risk Driver. Dorongan ini terjadi dalam bentuk fenomena seperti pertumbuhan penduduk, migrasi, dan rencana peruntukan guna lahan.Â
Jika kita melihat studi kasus seperti di DKI Jakarta, saat ini Provinsi DKI Jakarta sedang merumuskan Strategi Jakarta Berketahanan sebagai salah satu bentuk partisipasi dalam 100 Resilient City di dunia. Kondisi persiapan pemerintah saat ini dapat dilihat melalui laporan "Jakarta Berketahanan Penilaian Awal Ketahanan Jakarta".
Konsep pembangunan Jakarta Berketahanan dirumuskan melalui konsep Kerangka Ketahanan Kota yang terdiri dari 12 faktor seperti diagram berikut:
Di dalam laporan ini sudah terdapat analisis mengenai marjinalisasi lokasi tempat tinggal penduduk akibat harga lahan yang mahal. Analisis juga dilakukan dengan memperhatikan faktor penghidupan dan pekerjaan layak yang penting bagi penghidupan individu.Â
Setelah melalui berbagai proses fokus utama ketahanan kota Jakarta dirumuskan menjadi 5 bagian penting yaitu:
- Meningkatkan kapasitas tata kelola pemerintahan dan manajemen kota
- Mengembangkan budaya siap siaga untuk menghadapi berbagai guncangan
- Meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan melalui tata kelola air bersih, air limah, dan sampah
- Meningkatkan kualitas mobilitas dan konektivitas warga Jakarta
- Memelihara kohesi sosial warga Jakarta
Semoga saja langkah yang diambil ini bisa menjadi salah satu tindakan yang lebih komprehensif dan holistik dalam mengatasi bencana-bencana yang terjadi di Jakarta. Bahwa setiap bencana yang muncul di permukaan membutuhkan intervensi yang tidak hanya berhenti pada ranah teknis tetapi juga dalam tata kelola di dalamnya.Â
Mari kita sama-sama ikut mengkritik dan menginisiasi pemerintah kota dimana kita tinggal, karena kita semua berhak untuk hidup dalam lingkungan yang bebas bencana terlebih lagi untuk bisa hidup dalam lingkungan berketahanan.
Referensi:
[1] Smith, A. O., Ayala, I. A., Burton, I., & Lavell, A. (2016). The Social Construction of Disaster Risk : Seeking Root Causes. InternationalJournal of Disaster Risk Reduction, 1-13
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H