Adam B. Ellick, Director and Executive Producer of Opinion Video dari New York Times merilis laporan video mengenai trend berita bohong yang terjadi diantara Rusia-Amerika dan terus terjadi hingga kini[4]. Dikabarkan bahwa pada pemilu presiden Amerika tahun 2016, terdapat upaya massif dan terintgerasi dalam memproduksi berita bohong menjatuhkan calon presiden Hillary Clinton dalam skandal email bermuatan kontroversial. Upaya tersebut diduga dilakukan oleh intelejen Russia melalui 7 langkah  berikut yang dinamakan sebagai Active Measures[5] :Â
Gambar 1. Proses Active Measures Dalam Menyebarkan Beria Bohong
Ignatius Hariyanto dalam Media Ownership and Its Implication for Journalists and Journalism in Indonesia[6] berpendapat bahwa terdapat peningkatan kepemilikan media cetak yang berputar di tangan segelintir orang. Tentu kita tidak asing dengan media televisi bergambarkan burung dengan latar biru yang dimiliki oleh seorang tokoh politik dari partai tertentu. Ataupun media bernomor satu dengan latar belakang merah yang juga dimiliki tokoh politik dari suatu partai.Â
Muhammad Heychael, peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi[7] mengatakan bahwa publik bisa merugi karena sangat mungkin mendapat informasi yang timpang. Hal ini disebabkan berkumpulnya pengusaha media di kubu petahana sehingga publik susah mendapat berita perspektif yang kritis.Â
Gun Gun Heryanto, Direktur Eksekutif The Political Literacy Institute[8] beranggapan bahwa pemilu presiden tahun 2019 nanti akan tetap menggunakan strategi lama, namun dengan konten yang diperbaharui. Strategi lama yang dimaksud adalah dengan memanfaatkan sentiment-sentimen SARA yang berkembang di masyarakat untuk saling menyerang figure satu sama lain. Dikatakan bahwa masing-masing pihak memproduksi berita untuk memicu disinformasi untuk menimbulkan kesalahpahaman.Â
Berita tersebut dibungkus rapih melalui kritik terhadap program satu sama lain yang kemudian akan dilakukan upaya pembunuhan karakter. Semisal dengan melakukan name calling seperti antek PKI, anti-silam, sontoloyo, ataupun boyolali. Narasi-narasi sumbang tersebut kemudian disebarluaskan melalui media-media berita yang ada.Â
Tentu saja dapat melalui media besar seperti yang disebutkan di atas, atau dengan membuat basis masa media sosial untuk membuat gelombang hegemoni isu tersebut. Tidak berhenti di dalam ranah media daring saja, tokoh-tokoh politik, organisasi masyarakat yang mengklaim memiliki justifikasi moral pun turut bersuara lantang menyuarakan narasi sumbang itu (seperti kasus penistaan agama yang menjadi senjata popular untuk disebarluaskan). Lebih parahnya lagi adalah kedua belah pihak yang saling melempar berita tersebut saling menyembunyikan tangan dan menyangkal perbuatannya.Â
 Ujaran Kebencian Yang Bermuara di Pribadi Tiap Individu
Jika penjelasan sebelumnya lebih berfokus pada aspek hilir berita bohong tersebut diproduksi, maka selanjutnya akan dijelaskan aspek hulu kepada masyarakat yang menerima berita bohong tersebut.
Kemudahan dalam mengakses internet dapat menjadi boomerang bagi masyarakat jika tidak diikuti kebijaksanaan dan kecerdasan dalam mengelola informasi. Berita yang tidak memiliki kebenaran tersebut dapat dengan mudah terjangkit di masyarakat, karena tidak hanya dimobilisasi oleh berita bohong tetapi juga semakin di"goreng" dengan ujaran kebencian yang membakar perasaan. Selama 2017 setidaknya Polri telah menangani 3225 kasus ujaran kebencian[9], terdapat juga temuan bahwa ada 800 ribu situs penyebar hoax di Indonesia.Â