Pada tanggal 21 Juli 2017 silam UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah disahkan dan akan diberlakukan untuk pemilu pada tahun 2019 nanti. Terdapat beberapa kontroversi yang menjadi sorotan utama, yakni presidential threshold sebesar 20-25% dan parliamentary threshold sebesar 4%. Presidential threshold adalah ambang batas bagi partai politik atau gabungan partai politik untuk pengajuan presiden atau wakil presiden.Â
Presidential threshold 20-25% maksudnya adalah parpol atau gabungan parpol harus memiliki 20 persen jumlah kursi di DPR dan/atau 25 persen suara sah nasional di Pemilu sebelumnya untuk dapat mengusung calon presiden, sedangkan Parliamentary threshold adalah ambang batas perolehan suara partai politik untuk bisa masuk ke parlemen.Â
Ini berarti parpol minimal harus mendapat 4 persen suara untuk kadernya bisa duduk sebagai anggota dewan. Pada saat pengesahan tersebut setidaknya terdapat 4 partai yang melakukan walk out sebagai bentuk ketidaksetujuan terhadap peraturan tersebut.
Sejarah Penentuan Presidential Threshold dan Parliemantery Treshold
Permasalahan akan dilakukannya pemilu presiden wakil presiden dan pemilu legislatif (partai) tidak secara jelas diklarifikasi oleh Presiden Jokowi. Argumen yang tetap dipertahankan dengan adanya peraturan Pemilu 2019 bahwa seharusnya pengaturan batas ambang ini tidak bermasalah karena sudah pernah dicoba pada pemilu 2004, 2009, dan 2014[1]. Pernyataan ini memang benar adanya tetapi tidak menjawab bahwa terdapat kemungkinan manipulatif karena waktu pelaksanaan pemilu yang dilakukan berbarengan.
Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa pemilu legislatif dan presiden seharusnya dilaksanakan serentak menurut putusan perkara nomor 14/PUU-XI/2013 dengan pemohon Effendi Gazali. Keputusan MK ini berlaku mulai pemilu tahun 2019 dan seterusnya. Sehingga tida tepat untuk membandingkan pelaksanaan Presidential Threshold pada pemilu 2019 dengan pemilu sebelumnya, mengingat urutan pemilihan yang berbeda.Â
Pengamat komunikasi politik Effendi Gazali beranggapan bahwa pemilu presiden tahun 2019 nanti yang mengacu pada pemilihan legislatif pemilu 2014 memungkinkan terjadinya manipulasi karena para pemilih tidak mendapatkan cukup informasi bahwa suara yang mereka berikan akan sekaligus dimanfaatkan sebagai patokan ambang batas pencalonan presiden tahun 2019.
Isu Batas Ambang Calon Presiden (Presidential Threshold) Sebesar 20%
Selain karena pelaksanaannya yang berbarengan terdapat nada-nada kontra lainnya yang menginginkan agar presidential threshold dihapuskan karena tidak sesuai dengan konstitusi yakni UUD 1945 Pasal 6a yang membatasi partai politik untuk mengusung calonnya. Namun jika ambang batas calon presiden dihapuskan maka kemungkinan akan terdapat 14 calon presiden dan wakil presiden dari setiap partai.Â
Peneliti SMRC Sirojudin[2] menyatakan presidential threshold penting untuk memperkuat sistem presidential yang berlaku di Indonesia. Sistem ini akan menyederhanakan sistem partai di Indonesia karena dengan sedikitnya partai maka sistem presidential akan lebih efektif karena ada pengurangan beban negosiasi politik dengan parlemen.
Isu Batas Ambang Anggota Parlemen (Parliementary Threshold) Sebesar 4%
Sistem presidential threshold sendiri baru diberlakukan pada pemilu legislatif tahun 2009, sebelumnya semenjak tahun 1999 masih menggunakan sistem electoral threshold alias ambang batas peserta pemilu menjadi syarat minimal yang harus diperoleh partai untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Jadi, partai yang tak memenuhi ambang batas ini akan teriliminasi. Hal tersebut diatur dalam UU No. 3tahun 1999 pada pasal 39 : Pada pasal 39 disebutkan bahwa Partai Politik dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memiliki 2% dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD i atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah Kabupaten/Kotamadya.)
Sedangkan pada pemilu 2009 yang termuat dalam UU No. 10 tahun 2008 dalam pasal 202 menyebutkan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2.5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan ini tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kab/Kota[3].
Sistem Parliementary Threshold ditujukan untuk merampingkan parlemen sehingga mampu berjalan secara efektif. Indonesia harus mampu menciptakan sistem multipartai yang sederhana, electoral threshold dianggap tidak efektif dalam menyederhanakan partai karena pemimpin parti yang tidak lolos masih bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya.Â
Dalam UU No. 12 tahun 2003 pasal 9 ayat 1 dan 2 dijelaskan bagi partai yang tidak melewati batas ambang 3% diharuskan mengganti nama dan tanda gambar. Karena partai yang wakilnya sedikit dalam realitas kurang efektif memperjuangkan banyak hal di parlemen. Parliementary threshold dibutuhkan utuk mencegah para elit untuk tidak membuat partai sembarangan dengan kepentingan tertentu.
Sejarah Penggugatan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tetang Pemilihan Umum sangat sering digugat. Tercatat sudah 5 kali peraturan ini diminta untuk diuji materi di Mahkamah Konstitusional, Â yaitu pada perkara nomor 44/PUU-XV/201753/PUU-XV/2017, 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/2017, serta 72/PUU-XV/2017.
[4] Kelima ajuan uji materi tersebut meminta agar Pasal 222, yaitu pasal yang menjelaskan mengenai ambang batas pemilihan presiden (20% kursi DPR atau 25% jumlah suara pada pemilu sebelumnya) dianggap tidak sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia. Pada kelima ajuan tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak permintaan semua pemohon.
Hipotesa Akhir
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemilu serentak presiden wakil presiden dan legislatif dapat menghemat biaya hingga Rp. 120 triliun yang dapat dialokasikan untuk kepentingan lainnya yang lebih penting.Â
Tidak hanya itu pemilu serentak juga dianggap dapat mengurangi efek presidential coattail (pemilih memilih presiden sama dengan pilihannya untuk anggota DPR dan DPRD dalam satu partai.)Â sehingga bisa mewujudkan political efficacy. Kondisi dimana pemilih dapat membuat peta dibenaknya tentang check and balances versi pemilih dalam menyeimbangkan kekuatan eksekutif dan legislatif.
Tetapi permasalahan yang penting untuk diangkat adalah acuan pencalonan presiden yang berpedoman pada pemilihan anggota DPR periode sebelumnya yakni pemillu 2014 yang "memanipulasi" karena peraturan ini dibentuk setelah terjadinya pemilu 2014 tanpa adanya kesepakatan bersama suara tersebut dapat digunkaan untuk pemilu 2019. Sehingga pada akhirnya tersisa beberapa opsi yang dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut :
1. Pencabutan ketentuan pedoman dalam mengusung calon presiden yang mengacu pada pemilu 2014 dan tetap menetapkan ketentuan presidential threshold seperti yang tertera pada Pasal 222 UU No. 7 Thn. 2007 (20% kursi DPR atau 25% jumlah suara) dengan kondisi pemilu presiden wakil presiden tidak serentak. Hal ini sudah tidak bisa dilaksanakan karena Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan keputusannya dalam perkara nomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Effendi Gazali.Â
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penyelenggaraan Pemilu Presiden tahun 2004 dan 2009 setelah Pemilu Legislatif ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi dengan partai politik. Hal ini menyebabkan para partai dan calon presiden membuat koalisi-koalisi yang bersifat taktis dan sementara. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.[5]
2. Tetap menjalankan ketentuan pedoman dalam mengusung calon presiden yang mengacu pada pemilihan legislatif periode sebelumnya yang dilakukan secara serentak tetapi baru dilaksanakan tahun 2024 Dengan demikian, pemilih tidak akan merasa hak pilihnya pada pemilu 2014 disalahgunakan pada pemilu 2019.Â
Mengingat bahwa saat pemilu 2014, pemilih tidak memiliki informasi bahwa hasil pemilu 2014 akan mempengaruhi calon presiden pemilu 2019. Peraturan tersebut baru ada tahun 2017, 3 tahun setelah pemilu sebelumnya, Tentunya, ini berarti pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dengan kesadaran penuh atas dampaknya. Sehingga tentu hal yang paling etis dilakukan adalah untuk menunda pelaksanaan ambang batas pencalonan ini hingga pemilu tahun 2024.
3. Sistem presidential threshold dihapuskan menjadi 0% dengan kondisi pemilu serentak dapat dilakukan sehingga partai dapat mengusung calonnya dan masyarakat tidak termanipulasi karena persepi pemilihan yang mengacu pada kondisi saat ini. Sistem presidential threshold dapat diberlakukan pada pemilu presiden dan wakil presiden pada putaran kedua sehingga tetap menjaga semangat multipartai yang efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H