Tidak hanya itu pemilu serentak juga dianggap dapat mengurangi efek presidential coattail (pemilih memilih presiden sama dengan pilihannya untuk anggota DPR dan DPRD dalam satu partai.)Â sehingga bisa mewujudkan political efficacy. Kondisi dimana pemilih dapat membuat peta dibenaknya tentang check and balances versi pemilih dalam menyeimbangkan kekuatan eksekutif dan legislatif.
Tetapi permasalahan yang penting untuk diangkat adalah acuan pencalonan presiden yang berpedoman pada pemilihan anggota DPR periode sebelumnya yakni pemillu 2014 yang "memanipulasi" karena peraturan ini dibentuk setelah terjadinya pemilu 2014 tanpa adanya kesepakatan bersama suara tersebut dapat digunkaan untuk pemilu 2019. Sehingga pada akhirnya tersisa beberapa opsi yang dapat dilakukan untuk memecahkan permasalahan tersebut :
1. Pencabutan ketentuan pedoman dalam mengusung calon presiden yang mengacu pada pemilu 2014 dan tetap menetapkan ketentuan presidential threshold seperti yang tertera pada Pasal 222 UU No. 7 Thn. 2007 (20% kursi DPR atau 25% jumlah suara) dengan kondisi pemilu presiden wakil presiden tidak serentak. Hal ini sudah tidak bisa dilaksanakan karena Mahkamah Konstitusi sudah menetapkan keputusannya dalam perkara nomor 14/PUU-XI/2013 yang dimohonkan Effendi Gazali.Â
Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa penyelenggaraan Pemilu Presiden tahun 2004 dan 2009 setelah Pemilu Legislatif ditemukan fakta calon presiden terpaksa harus bernegosiasi dengan partai politik. Hal ini menyebabkan para partai dan calon presiden membuat koalisi-koalisi yang bersifat taktis dan sementara. Presiden sangat tergantung pada partai-partai politik yang dapat mereduksi posisi presiden dalam menjalankan kekuasaan pemerintahan menurut sistem pemerintahan presidensial.[5]
2. Tetap menjalankan ketentuan pedoman dalam mengusung calon presiden yang mengacu pada pemilihan legislatif periode sebelumnya yang dilakukan secara serentak tetapi baru dilaksanakan tahun 2024 Dengan demikian, pemilih tidak akan merasa hak pilihnya pada pemilu 2014 disalahgunakan pada pemilu 2019.Â
Mengingat bahwa saat pemilu 2014, pemilih tidak memiliki informasi bahwa hasil pemilu 2014 akan mempengaruhi calon presiden pemilu 2019. Peraturan tersebut baru ada tahun 2017, 3 tahun setelah pemilu sebelumnya, Tentunya, ini berarti pemilih tidak menggunakan hak pilihnya dengan kesadaran penuh atas dampaknya. Sehingga tentu hal yang paling etis dilakukan adalah untuk menunda pelaksanaan ambang batas pencalonan ini hingga pemilu tahun 2024.
3. Sistem presidential threshold dihapuskan menjadi 0% dengan kondisi pemilu serentak dapat dilakukan sehingga partai dapat mengusung calonnya dan masyarakat tidak termanipulasi karena persepi pemilihan yang mengacu pada kondisi saat ini. Sistem presidential threshold dapat diberlakukan pada pemilu presiden dan wakil presiden pada putaran kedua sehingga tetap menjaga semangat multipartai yang efektif.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H