Isu Batas Ambang Anggota Parlemen (Parliementary Threshold) Sebesar 4%
Sistem presidential threshold sendiri baru diberlakukan pada pemilu legislatif tahun 2009, sebelumnya semenjak tahun 1999 masih menggunakan sistem electoral threshold alias ambang batas peserta pemilu menjadi syarat minimal yang harus diperoleh partai untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Jadi, partai yang tak memenuhi ambang batas ini akan teriliminasi. Hal tersebut diatur dalam UU No. 3tahun 1999 pada pasal 39 : Pada pasal 39 disebutkan bahwa Partai Politik dapat mengikuti pemilu berikutnya jika memiliki 2% dari jumlah kursi DPR atau sekurang-kurangnya 3% jumlah kursi DPRD i atau DPRD II yang tersebar sekurang-kurangnya di setengah jumlah provinsi dan setengah jumlah Kabupaten/Kotamadya.)
Sedangkan pada pemilu 2009 yang termuat dalam UU No. 10 tahun 2008 dalam pasal 202 menyebutkan bahwa Partai Politik Peserta Pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan suara sekurang-kurangnya 2.5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR. Ketentuan ini tidak berlaku untuk DPRD Provinsi atau DPRD Kab/Kota[3].
Sistem Parliementary Threshold ditujukan untuk merampingkan parlemen sehingga mampu berjalan secara efektif. Indonesia harus mampu menciptakan sistem multipartai yang sederhana, electoral threshold dianggap tidak efektif dalam menyederhanakan partai karena pemimpin parti yang tidak lolos masih bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya.Â
Dalam UU No. 12 tahun 2003 pasal 9 ayat 1 dan 2 dijelaskan bagi partai yang tidak melewati batas ambang 3% diharuskan mengganti nama dan tanda gambar. Karena partai yang wakilnya sedikit dalam realitas kurang efektif memperjuangkan banyak hal di parlemen. Parliementary threshold dibutuhkan utuk mencegah para elit untuk tidak membuat partai sembarangan dengan kepentingan tertentu.
Sejarah Penggugatan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tetang Pemilihan Umum sangat sering digugat. Tercatat sudah 5 kali peraturan ini diminta untuk diuji materi di Mahkamah Konstitusional, Â yaitu pada perkara nomor 44/PUU-XV/201753/PUU-XV/2017, 70/PUU-XV/2017, 71/PUU-XV/2017, serta 72/PUU-XV/2017.
[4] Kelima ajuan uji materi tersebut meminta agar Pasal 222, yaitu pasal yang menjelaskan mengenai ambang batas pemilihan presiden (20% kursi DPR atau 25% jumlah suara pada pemilu sebelumnya) dianggap tidak sesuai dengan konstitusi Republik Indonesia. Pada kelima ajuan tersebut, Mahkamah Konstitusi menolak permintaan semua pemohon.
Hipotesa Akhir
Tidak dapat dipungkiri bahwa pemilu serentak presiden wakil presiden dan legislatif dapat menghemat biaya hingga Rp. 120 triliun yang dapat dialokasikan untuk kepentingan lainnya yang lebih penting.Â