Close to 800 000 people die due to suicide every year, which is one person every 40 seconds. Many more attempt suicide. Suicide occurs throughout the lifespan and is the second leading cause of death among 15-29 year olds globally. World Health Organization, 2015.
Lalu untuk di Indonesia sendiri setidaknya 2-3 orang melakukan bunuh diri. Badan Pusat Statistik (BPS) mendata sebanyak 812 kasus bunuh diri di Indonesia pada tahun 2015 (angka bisa saja lebih tinggi di lapangan).
Pada kesempatan ini saya tidak ingin menceritakan penyebab-penyebab dari bunuh diri secara konseptual, tidak juga ingin membicarakan pendapat para psikolog tentang depresi, gangguan mental, dan bunuh diri. Disini saya ingin bercerita dari sudut pandang orang yang telah selamat "menyintas" dari keadaan yang sangat gelap.
Pikiran-pikiran untuk mengakhiri kehidupan seringkali terpikirkan di benak saya. Keadaan depresi ini telah berlangsung berbulan-bulan lamanya dengan tidak pernah berhenti. Disebabkan oleh dulunya permasalahan latar belakang keluarga dan ditinggalkan oleh orang yang dikasihi. Namun buruknya, saya juga sudah pernah melakukan percobaan mengakhiri kehidupan tersebut sampai tiga kali. Masih selamat dan bisa bernafas sampai sekarang, hanya disisakan oleh bekas-bekas luka karena self-harming.
Saya bersyukur karena masih dapat tetap hidup. Perjalanan setelah attempt suicidetersebut terasa lebih berat lagi. Karena saya harus berjuang melawan pikiran-pikiran buruk yang berlari liar di dalam benak saya. Merasa malu untuk bercerita. Tidak ada orang yang bisa diceritakan. Setiap harinya selalu dijalani dengan pikiran yang diselimuti oleh awan hitam yang tidak kunjung sirna. Setiap harinya dilalui dengan tidur kurang dari cukup, karena takut akan kesendirian di waktu malam. Setiap harinya dilalui dengan mata yang semakin menebal setiap harinya karena selalu mencucurkan air mata yang tak kunjung usai.
Merasa malu.
Bagi saya orang-orang cenderung untuk menyisihkan dan menutup mata terkait perbincangan tentang depresi, gangguan mental, dan bunuh diri. Takut untuk dinilai orang-orang sebagai seorang yang cacat mental lalu ditinggalkan. Karena saya juga pernah merasakan ditinggalkan karena kekurangan yang saya miliki. Perbincangan hal-hal ini dianggap tabu. Orang-orang lebih suka akan hal yang menyenangkan dan menjauhi hal-hal depresi karena ikut menyerap dirinya ke dalam kejatuhan. Ya begitulah orang-orang. Dan saya yang terjatuh dalam tidak memiliki kawan.
Setiap harinya diselimuti oleh awan hitam
Ketika saya melakukan percobaan tersebut, tidak pernah saya secara benar-benar menginginkan untuk pergi meninggal. Perasaan terluka, lelah membuat pikiran saya mengkerdil lalu memutuskan penghakiman sendiri. Bahwa lebih baik saya pergi untuk sekali saja daripada harus bertahan menderita seumur hidup saya, hidup sebagai manusia yang tinggal dengan kondisi seperti ini. Bukannya tidak sayang terhadap orang tua dan sahabat yang ada, tetapi benar-benar rasanya bertahan semelelahkan itu dibandingkan harus mengakhiri.
Ketika sudah menemukan cahaya dalam diri sendiri
Sampai ke dalam sebuah tahap realisasi. Bahwa tidak ada seorang pun yang bisa saya gantungkan/berharap lebih daripada diri saya sendiri. Keinginan untuk bisa menikmati hidup mulai saya perjuangkan. Mulai terbuka terhadap orang lain untuk meminta pandangan mengenai kehidupannya, melakukan konsultasi rutin ke psikolog, dan memberanikan diri benar2 secara terbuka bahwa saya menerima kondisi saya yang sedari awal memang seperti ini. Bukan pemulihan total yang saya kejar, karena jika seperti itu hanya akan memikirkan depresi dan suicidal thoughtsebagai sesuatu yang benar-benar harus sirna. Yang padahal mungkin saja karena gangguan mental hal tersebut akan selalu ada, saya saja yang harus lebih memegang kendali terhadap diri sendiri.
Respons terhadap pencegahan kasus bunuh diri/konsultasi depresi di Indonesia
Alasan-alasan orang untuk bunuh diri bisa beragam, ada yang karena ditinggal orang yang dikasihi, konflik keluarga, korban kekerasan seksual, stigma buruk karena sesorang LGBTQ, dan beragam hal lainnya. Amerika memiliki hotline yang aktif untuk melayani setiap keluhan yang berbeda-beda. Ada hotline untuk pencegahan bunuh diri yang urgentmelalui 911, tempat konsultasi pikiran2 bunuh diri melalui National Suicide Hotline, konsultasi LGBTQ melalui Trevor Project, konsultasi korban kekerasan fisik dan kekerasan seksual melalui jaringan The Rape, Abuse, & Incest National Network, konsultasi keadaan depresi melalui Suicide Prevention Services of America.
Karena setiap permasalahan membutuhkan pendekatan yang berbeda-beda dan harus secara profesional ditangani oleh ahlinya.
Lalu bagaimana kondisinya di Indonesia :
Indonesia sebelumnya mempunyai hotline 500-454 untuk melayani konsultasi depresi dan bunuh diri sejak tahun 2010, namun sudah non aktif pada tahun 2014. Digantikan dengan layanan lebih secara umum melalui 119.
Saya memutuskan menelfon ke hotline ini. Pada awalnya diangkat oleh operator, saya menceritakan kondisi saya. Operator tidak terlalu paham bagaimana bisa menangani penelfon karena banyak meminta penjelasan, dan memberikan saran-saran yang menurut saya bukanlah seperti penanganan profesional. Namun akhirnya operator menyambungkan ke seorang dokter, saya tidak tahu dia dokter apa. Tetapi pembawaannya memang lebih tenang kali ini dan cukup sedikit membantu saya bagaimana bisa menenangkan diri.
Masih terdapat beberapa kekurangan dalam pelayanan ini yang masih bisa ditingkatkan lagi. Mohon diingat bahwa bagi kami yang telah mengalami ini membutuhkan orang yang berkonsultasi dengan berpikiran terbuka tidak hanya sekedar saran untuk langsung rujukan ke tempat psikiater terdekat.
Saya masih beruntung bisa "menyintas" kehidupan ini, tapi ada banyak lagi yang harus berakhir.
Bagi orang-orang yang sedang berjuang dalam hidupnya ada beberapa kalimat yang saya rangkai, semoga menjadi nyala bagi anda :
Karena kita tidak bisa tahu setelah badai akan ada apa? Bisa saja badai lagi yang lebih keras, atau sinar matahari pagi yang mengusir awan hitam. Tetaplah bertahan! Walaupun ribuan perjuangan tidak kunjung dimenangkan, namun jika kalian tetap bisa bertahan, kalian adalah juaranya. Teruslah menyala dan cahaya semakin terang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H