Kampung kota adalah suatu bentuk permukiman di wilayah perkotaan khas Indonesia dengan penduduk masih membawa sifat dan perilaku kehidupan pedesaan yang terjalin dalam ikatan kekeluargaan yang erat, tentunya diikuti dengan kondisi fisik bangunan dan lingkungan yang cenderung tidak beraturan (organis), serta memiliki kerapatan bangunan dan kepadatan yang tinggi (Sastroasmito, 2009).
Kampung kota memiliki ciri khas sebagai perumahan informal (yang berarti perumahan yang muncul tanpa adanya perencanaan dari instansi formal), sehingga sering kali kita sebagai orang awam memandang kampung kota sebagai perumahan yang tidak layak huni.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa kampung kota tersusun dari perumahan yang sangat padat, dan juga sering kali kita mendengar berita kampung kota jadi sumber terjadi kebakaran karena tata ruang perumahan yang tidak benar, ya itu ada benarnya. Itu akan benar jika kita hanya memandang dari kekurangannya saja, tahukah pembaca mengenai potensi tersembunyi yang dimiliki oleh orang-orang di kampung kota yang tidak dimiliki orang yang tinggal di perumahan teratur?
Kampung kota terdiri dari orang-orang yang masih memiliki semangat guyub. Di tengah tingginya gedung-gedung perkantoran ibukota, di sepanjang jalan arteri utama yang dipenuhi dengan taman yang dipenuhi dengan orang-orang yang tidak saling kenal, di antara orang-orang yang memilih untuk membangun pagar-pagar tinggi untuk pekarangan rumahnya, kampung kota meretas semua hal keindividuan yang merebak di seluruh kota.Â
Semangat kekeluargaan yang menjadi ciri khas penduduk kampung kota menjadi ciri setiap harinya. Struktur ruang yang padat, rumah yang saling bersinggungan saling terbuka tanpa pagar menjadikan orang-orang di dalamnya semakin mengenal satu sama lain. Karena hal yang paling sulit untuk didapatkan pada masa sekarang bukanlah tentang ekonomi moneter, juga bukan modal bisnis untuk membuka usaha, tetapi modal sosial untuk bekerja sama. Itulah yang dimiliki oleh teman-teman kita yang berada di kampung Kota.
Tapi tak jarang kita memandang kampung kota hanyalah sebagai permukiman kumuh tidak layah huni yang sudah sepantasnya digusur. Gusur saja karena tidak sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah.
Yang tetapi lagi 40% dipenuhi oleh privat, 20% oleh pemerintah sehingga hanya 60% yang terpenuhi = setiap tahunnya akan selalu ada backlog perumahan. Persentase pemenuhan yang sedikit oleh pemerintah juga patut kita pertanyakan, kita sama-sama tahu bahwa privat menginginkan keuntungan setinggi-tingginya, Â lalu yang butuh rumah sebenarnya siapa ya? Apakah golongan menengah atas yang jadi target sektor private, atau masyarakat golongan pendapatan rendah yang tidak jadi target pemenuhan rumah oleh private? Sehingga tantangan pemenuhan perumahan menjadi berkali-kali lipat (dan ada isu juga pendataan perumahan oleh kementerian PUPR dan BPS berbeda....pelik sekali permasalahan perumahan ini)
Berdasarkan argumen saya diatas, pemerintah masih belum sanggup menyediakan perumahan formal bagi masyarkat. Masyarakat yang tidak bermodal cukup tidak diam begitu saja menunggu "berkah" subsidi pembangunan rumah dari pemerintah, mereka harus bertahan hidup untuk memeroleh tempat tinggal yang layak.
Muncullah permukiman "informal" di setiap sudut perkotaan yang banyak orang-orang tidak berumah. Informal disini harus dibedakan dengan kriminal, sama halnya dengan sebutan antara Slum dan Squatter (slum = pemukiman yang kumuh menempati status tanah legal, Squatter = permukiman yang mungkin kumuh tetapi lebih penekanan kepada tempat tinggalnya di tanah yang ilegal).
Masyarakat kampung kota memutuskan untuk membangun rumah dengan tanpa perencanaan yang sesuai dengan kaidah-kaidah yang ditetapkan pemerintah, karena pemerintah tidak turut campur dalam pembuatannya/sudah dibangun sejak dahulu bahkan sebelum ada standar yang ditetapkan oleh pemerintah. Informalitas permukiman terjadi karena ketidakmampuan pemerintah menyediakan perumahan formal bagi mereka yang mendesak membutuhkan tempat tinggal. Jadi sekarang tidak bisa kita begitu saja menyalahkan orang-orang yang tinggal di daerah Kampung Kota.
Sebagai seorang insan akademis bertajut mahasiswa, saya dan teman-teman saya memiliki kegelisahan terhadap Kampung Kota yang ada di Kota Bandung.
Saya dan teman-teman dari Himpunan Mahasiswa Planologi ITB berkesempatan untuk melakukan sebuah pengabdian masyarakat di Kampung Kota, di Kota Bandung, tepatnya di RW O7 Kampung Banceuy.
Kami melakukan pendekatan kepada masyarakat mulai dari bulan April 2017. Alasan pemilihan Kampung Kota Banceuy dilandaskan pada potensi kelembagaan yang ada, di kampung ini memiliki organisasi Karang Taruna yang aktif sehingga memudahkan mobilisasi massa. Pada Kampung Banceuy ini juga terdapat sebuah ruang publik yang cukup besar untuk menjadi tempat bersosialisasi masyarakat di dalamnya.
Kegiatan yang kami lakukan bermula dari pengajaran rutin kepada anak-anak PAUD dan SD terkait pelajaran sederhana, tidak hanya pengajaran terkait pendidikan kami juga mengajari kebudayaan dan permainan untuk dapat menghibur mereka (berusaha melepas stigma kebahagiaan masa kecil bisa didapat dari gadget). Kami juga melakukan beberapa sumbangan seperti sumbangan buku-buku tulis, mengadakan acara 17-an Agustus bersama, senam bareng bersama, segala hal yang dapat mendekatkan kami kepada masyarakat. Kami ingin agar mahasiswa jaman sekarang memiliki kepedulian terhadap lingkungan sekitar, tidak hanya terbatas terhadap kepuasan pengetahuan yang didapatkan di dalam dinding-dinding bangku perkuliahan.
Sampai kepada akhirnya, kami bersama berkolaborasi mengadakan sebuah acara puncak yang dinamakan Festival Kampung Maroon. Festival = acara bersenang-senang bersama, Kampung = teman-teman kampung kota Banceuy menunjukkan potensi yang dimiliki, Maroon = warna jaket Himpunan kami, hhe.
Di dalam persiapan acara ini kami bersama-sama menyusun setiap susunan acara, persiapan logsitik, perizinan secara bersama-sama. Kami sudah melatih anak-anak PAUD untuk mementaskan kebolehannya seperti tampil menari untuk lagu "Aku Seorang Kapiten", fashion show menggunakan bahan-bahan daur ulang seperti koran yang diolah menjadi cantik, senam Maumere bersama ibu-ibu PKK. Teman-teman pemuda juga tidak kalah semangat untuk terlibat, Karang Taruna ikut menyemarakkan penampilannya dengan nge-band.
Kampung Kota
Dengan jalan terkotak-kotak
Berjalan melipir dengan gang sempit
Di tengah perekonomian penduduk yang terhimpit
Kalian ada sebagai guru sekaligus antitesis
Kami penduduk kota yang egois
Peduli terhadap kesuksesan kami menjadi apatis
Pembelajaran berharga berada pada permata terdalam sebuah jurang
Kami akan selalu berusaha untuk mengusahakan keadilan yang dinamakan perjuangan
Karena kebenaran menjadi tujuan
Yang sia-sia menjadi pantangan
Dan air mata negerinya menjadi kegelisahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H