Polarisasi dan Dampak Media Sosisal
Polarisasi politik dapat dipahami sebagai keadaan dan proses. Sebagai keadaan, polarisasi mengacu pada konflik yang timbul dari perbedaan pandangan dalam masyarakat. Sebagai proses, polarisasi menggambarkan peningkatan perpecahan atau oposisi yang terjadi seiring waktu.Â
Polarisasi menciptakan perbedaan pandangan yang ekstrem dan memperburuk ketidakpercayaan antar kelompok, membagi masyarakat dalam bentuk "kami" versus "mereka." Polarisasi sering dipicu oleh strategi politik aktor yang memanfaatkan ketegangan sosial atau perpecahan untuk memperburuk perbedaan, seperti dengan menyebarkan kebencian atau mengeksploitasi keresahan publik.
 Meskipun faktor sosial-politik mendalam, seperti perbedaan identitas, turut berperan, polarisasi lebih sering dimulai dari upaya aktor politik untuk memobilisasi pendukung dan memperburuk perpecahan, daripada hanya sebagai reaksi terhadap perbedaan sosial yang mendalam.(Chaerul Mansyur, 2023)
Gerakan sosial juga berubah dari waktu ke waktu dan terus mengalami evolusi. Misalnya dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini ranah digital mulai dimasuki gerakan sosial globalisasi dan modernisasilah yang mempengaruhi fenomena ini.Â
Dari berbagai semakin majunya inovasi teknologi, di mana ponsel yang tadinya hanya berfungsi sebagai komunikasi nirkabel alat kini menjadi perangkat multifungsi yang mampu mengambil gambar, merekam video, mendengarkan musik, dan mengakses internet dengan sangat cepat.Â
Terdapat wacana untuk menciptakan ruang publik digital, walaupun bukan untuk menjadi pilihan yang utama, tetapi bisa menjadi alternatif ketika ruang publik fisik tidak bisa digunakan karena telah dibatasi atau dikuasai oleh pihak berwenang.Media sosial sebagai media baru yang memiliki pengaruh besar untuk publik bisa jadi pengawas dan pengkritik informasi serta sebagai alat komunikasi global.Â
Diskusi publik dan gerakan atau aksi sosial yang dulunya dilaksanakan secara langsung, kini dapat terjadi dengan adanya teknologi modern, publik bisa dengan mudah menyebarkan isu-isu sosial melalui media sosial yang kini dapat di akses dengan mudah. (Nur Hasanah, 2019)
Peranan masyarakat sipil sangat penting dalam menjaga kualitas demokrasi di Indonesia, terutama dalam konteks pembangunan politik yang terus berkembang. Masyarakat sipil yang mencakup LSM, komunitas sosial, dan organisasi keagamaan berperan dalam memperkokoh demokrasi melalui pengawasan, mendorong keterlibatan, dan edukasi politik.Â
Untuk mencapai demokrasi yang terkonsolidasi pada 2025, masyarakat sipil harus menghadapi dua tantangan utama yaitu eksternal dan internal.Â
Dari sisi eksternal, pemerintah harus mendukung regulasi yang menguntungkan masyarakat sipil, sementara aktor non-negara seperti partai politik dan organisasi bisnis juga harus mendukung peran tersebut. Di sisi internal, masyarakat sipil perlu memiliki kekuatan kelembagaan dan sumber daya manusia yang memadai serta kebebasan dalam pengambilan keputusan. Memperkuat masyarakat sipil akan membantu Indonesia menuju demokrasi yang lebih kuat dan stabil. (H Hadi, 2010)
Permasalahan
Perkembangan teknologi informasi, khususnya media sosial, memberikan dampak besar dalam kehidupan masyarakat, baik positif maupun negatif. Media sosial memudahkan komunikasi dan ekspresi diri, namun juga berpotensi menciptakan polarisasi opini, terutama dalam konteks politik seperti Pemilu 2024. Isu Suku, Agama, Ras, dan An
tar Golongan (SARA) sering dimanfaatkan untuk memperburuk polarisasi di media sosial, sementara regulasi yang mengatur kebebasan berpendapat masih belum jelas. Kampanye hitam dan politik negatif memperburuk ketegangan politik dan sosial di masyarakat.m Polarisasi dalam Pemilu dapat menyebabkan pembentukan kubu-kubu politik yang saling bertentangan, menurunkan kualitas demokrasi dan stabilitas politik, serta memperburuk intoleransi dan ketidakadilan.Â
Namun, di sisi lain, polarisasi juga dapat mendorong kesadaran politik dan partisipasi masyarakat yang lebih aktif dalam mengikuti perkembangan politik. Hal ini bisa memperkaya wawasan politik dan memperkuat nilai demokrasi.
 Media sosial seharusnya menjadi ruang edukasi, diskusi, dan kritik yang konstruktif, yang dapat memperkuat kepercayaan publik dan bukan memicu perpecahan. Bawaslu mencatat empat isu utama dalam Pemilu 2024: netralitas ASN, politik uang, politisasi SARA, dan kampanye di media sosial. Semua isu ini perlu ditangani secara komprehensif dan kreatif untuk mencegah pelanggaran yang dapat merusak proses demokrasi. (Suhaeri & Aditya Krisna, 2023)
Semenjak reformasi setelah 1998 Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menghindari kemunduran demokrasi, salah satunya dengan mengimplementasikan demokrasi deliberatif.Â
Demokrasi deliberatif mengutamakan partisipasi aktif masyarakat dalam proses pengambilan keputusan melalui dialog yang rasional. Namun, penerapannya di Indonesia menghadapi sejumlah kendala signifikan. Pertama, ketidaksetaraan akses informasi dan pendidikan politik yang masih rendah di banyak kalangan masyarakat menjadi tantangan utama.Â
Selain itu, budaya politik yang dipengaruhi oleh korupsi dan politik identitas juga menghambat demokrasi deliberatif. Korupsi yang masih merajalela di berbagai level pemerintahan mengurangi transparansi, sementara politik identitas yang sering digunakan untuk meraih dukungan justru menghalangi dialog rasional dan menyingkirkan suara-suara minoritas. (Negara, n.d.)
III. Saran PenyelesaianÂ
Untuk mengatasi permasalahan polarisasi yang timbul dari sosial media, di perlukannya pendekatan yang menyeluruh dan berkelanjutan. Regulasi yang jelas dan ketat mengenai kebijakan mengenai algoritma konten sosial media. Pengawasan terhadap berita berita hoax, konten provokasi, konten mengandung SARA, dan juga kampanye hitam harus di tindak tegas oleh kerjasama pemerintah dan platform media sosial.
 Pemerintah tidak boleh tinggal diam untuk mengatasi masalah ini untuk mencegah penyebaran berita yang tidak benar ke masyarakat. Serta penting untuk memperluas edukasi politik untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat atas kesadaran untuk bahayanya polarisasi dan politik yang kotor.Â
Penguatan hubungan antara pemerintah dan warga sipil  bisa menjadi faktor utama untuk mendukung kualitas demokrasi yang baik. Organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, dan kelompok kepentingan harus berperan aktif dalam memperkuat dialog dalam publik, serta menyediakan ruang pertemuan atau ruang diskusi yang sehat, terbuka, dan rasional.Â
Penting juga untuk meningkatkan literasi media agar membantu agar publik lebih selektif untuk menerima informasi, sekaligus mengurangi dampak akibat penyebaran berita negatif serta polarisasi. Tetapi harus di ingat juga untuk kelompok-kelompok di masyarakat yang rasional, tidak berpihak, dan netral pada saat berdiskusi, jangan sampai diskusi yang diadakan menjadi ruang untuk memprovokasi dan malah memecah belah pihak pihak.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H