Apakah engkau tahu orang yang mendustakan agama? Yaitu, orang yang menyia-nyiakan anak yatim. Dan, tidak menyeru manusia untuk memberi makan orang miskin. Celakalah orang-orang yang melaksanakan shalat. Yaitu mereka yang lalai dari shalatnya. Mereka yang ingin dilihat orang. Dan enggan memberi pertolongan. (QS Al-M'n [107]: 1-7)
Syahdan, ada seorang Muslim yang taat menjalankan ibadah. Dia rajin menjalankan shalat, puasa, dan zakat. Setelah shalat, dia juga menyempatkan diri untuk berzikir dan berdoa. Dia telah menunaikan ibadah haji beberapa kali. Dia juga fasih membaca ayat-ayat Al-Quran serta mengetahui artinya. Tetapi, entah mengapa, dia juga "rajin" melakukan korupsi.
Apa yang bisa kita jelaskan dari fenomena seperti itu? Tampaknya, ibadah yang dilakukan seorang Muslim tersebut tidak punya implikasi nyata bagi moralitas dan tindakan sosialnya. Ibadah yang dilakukannya hanya merupakan simbol dan formalitas kosong. Ibadah sebagai salah satu sarana untuk "berkomunikasi" dan mendekatkan diri kepada Allah sudah seharusnya punya implikasi moral dan sosial. Inilah ibadah yang khusuk, indah, dan berkah.
Seseorang yang rajin beribadah, seharusnya moralitas dan jiwanya semakin baik dan bersih. Misalnya, dia tidak serakah (korup), iri, dengki, dendam, kikir, egois, sombong, ambisius, pemarah, zalim, dan sifat-sifat tercela lainnya. Seseorang yang rajin beribadah, seharusnya juga semakin peduli terhadap persoalan-persoalan sosial dan kemanusiaan yang nyata dan mendesak. Misalnya, kemiskinan, penindasan, kekerasan, korupsi, otoriterisme, feodalisme, ketidakadilan, kerusakan lingkungan, narkoba, pornografi, kezaliman (kekuasaan), dan ketimpangan sosial-politik lainnya.
Kiprah umat Islam (atau umat beragama secara keseluruhan) terutama diuji dari responnya terhadap persoalan sosial yang nyata. Bukan sekadar pada ibadah ritual yang dilakukannya yang acapkali hanya merupakan simbol-simbol kosong yang tidak mampu menggerakkan transformasi sosial. Ibadah yang tidak nyambung dengan realitas sosial yang nyata hanya merupakan aktifitas yang kosong dan tanpa makna. Beberapa orang beragama---khususnya Islam---bahkan kadang menggunakan simbol-simbol ibadah seperti shalat, puasa, haji, dan lain-lain, untuk menghaluskan, menyamarkan, dan menutupi keburukan dan kejahatan yang dilakukannya.
Untuk menutupi tindak korupsi, penebangan kayu/hutan secara ilegal (illegal logging), perusakan lingkungan, judi, memproduksi dan menjual narkoba, kekerasan terhadap kaum bawah, otoriterisme, dan tindak kejahatan lainnya, seseorang berusaha rajin melakukan shalat, misalnya. Contoh lain, untuk menutupi dan menyamarkan kezaliman politik dan penyalahgunaan jabatan yang dilakukannya, seseorang secara sadar berusaha melakukan ibadah haji.
Shalat dan haji kadang digunakan oleh seseorang untuk menutupi perilaku buruk, jahat, dan tidak terpuji. Hal seperti ini merupakan fenomena yang jamak di negeri ini. Sehabis korupsi, seseorang menunaikan ibadah haji dan menggelar zikir akbar. Di negeri ini, banyak pejabat yang pergi haji dengan uang yang "berbau" korupsi. Di negeri ini, banyak public figure---entah pejabat, elit politik, pengusaha, agamawan, artis, selebriti, dan sebagainya---yang berusaha menghilangkan citra buruk dan busuknya dengan cara menunaikan ibadah haji atau umroh.
***
Secara sadar, banyak orang menggunakan simbol-simbol agama semisal shalat, zikir, dan haji, untuk membersihkan citra dirinya agar memperoleh kesan "baik" dari khalayak luas. Karena memperalat "ibadah" dan simbol-simbol agama, maka secara diam-diam mereka tetap melakukan hal-hal yang buruk, jahat, dan tercela. Orang-orang seperti inilah yang ditegur secara keras oleh Allah dalam surah Al-M'n, sebagaimana saya kutip secara lengkap di awal tulisan ini.
"Celakalah orang-orang yang shalat. Yaitu mereka yang 'lalai' dari shalatnya," tandas Al-Quran. "Lalai" di sini punya makna dua hal. Pertama, shalatnya hanya sekadar pamer (riya). Kedua, shalatnya tidak berpengaruh bagi moralitas dan tindakan sosial (diilustrasikan dalam ayat tersebut sebagai "enggan memberi pertolongan").
Dalam surah Al-M'n di atas, tampak ada kesinambungan dan kemenyatuan antara ibadah (disimbolkan dengan shalat) dengan moralitas dan tindakan sosial seseorang, yakni menolong anak yatim dan memberi makan orang miskin. Dengan demikian, kiprah kaum beragama tidak sekadar shalat (secara umum: melakukan ibadah), melainkan juga menolong orang yang miskin, sengsara, lemah, dan tertindas.