Satu persatu barisan bangunan ruko mulai terlihat di kala mata mendekat. Bangunan yang tersembunyi, berselimut dalam kabut abadi. Orang-orang mengatakannya begitu. Bukan karena suhu udara yang terlalu dingin, hawa panas justru terperangkap di dalamnya. Kabut boleh menutup langit, menghalangi pancaran sinar matahari. Tapi tidak dengan rasa gerah ini. Â
Kabut itu terbentuk dari amarah orang-orang. Sejak laut di-urug menjadi daratan saat itu pula banyak orang yang mulai kepanasan. Panas oleh keuntungan.Â
Panas akan kepentingan. Uap rasa gerah yang terkumpul menjadi kabut. Perkara pulau ini pun  menjadi buram. Seburam kabut. Berlarut-larut. Perkara daratan buatan, bukan hal pertama.Â
Negara lain sudah memulai lebih dulu. Demi kemaslahatan umatnya. Pasti akan ada keuntungan dan kerugian. Mereka adalah dua sisi mata koin.Â
Para pemikir sudah mempertimbangkan hal itu sejak lama. Lebih lama dari kedai kopi waralaba pertama masuk ke negeri ini. Pasalnya banyak pula yang takut. Ketakutan paling dasar manusia. Menjadi miskin. Â
Khawatir tidak kebagian 'jatah' dari pulau ini. Yang lebih lemah adalah orang miskin. Karena orang miskin tak boleh ada di daratan buatan ini! Hanya desas-desus. Meski desas-desus, tapi menjadi satpam yang menjaga tata krama. Jika kamu miskin apakah kamu akan kuat tinggal di daratan buatan?
Sebetulnya desas-desus itu tidak sepenuhnya salah. Bisa saja menjadi motivasi agar orang-orang tidak mau miskin. Berjuang sekuat tenaga agar tidak miskin. Karena jika kamu miskin dan tinggal di sana, kamu akan kesulitan. Tak ada pasar induk. Tak ada tempat bagi kamu pemuja diskon dan cash back.Â
Bagaimana anak kamu kelak sekolah? Di sana tak ada sekolah yang menerima dana BOS. Bagaimana jika salah satu keluarga kamu sakit? Kartu BPJS kamu tidak akan laku di sana. Kejam.Â
Memang. Tapi, setidaknya kamu akan tahu mengapa mereka tidak mau diributkan dengan hal remeh-temeh Dana BOS dan BPJS. Dan kamu juga harus mengerti, mengapa kamu harus kaya raya.
Mencoba menulis fiksi bukan perkara mudah. Menyelesaikan tiga paragraf di atas saja, saya senang bukan main. Dari bada' magrib hingga bada isya. Â
Bada' isya tiga hari kemudian saya baru kelar. Menulis fiksi tidak sekadar mengarang bebas, dibutuhkan riset. Dan seperti tulisan lain pada umumnya data dan fakta jangan diingkari.
Sebagai orang gunung (dari Bandung), diajak ke pulau itu suatu tawaran yang mevah. Yang terbayang adalah gugusan pulau seperti di pulau seribu. Namun,ketika sampai ditujuan.Â
Jangankan deburan ombak, yang ada adalah mesin-mesin crane dan mobil proyek hilir-mudik. Pagar seng yang menutup pandangan. Sebelumnya sudah diralat, tujuannya ke Pantai Maju. Bukan Pulau Maju. Tapi saya tidak peduli, mau pantai atau pulau. Yang penting ada ombaknya.Â
Banyak pohon kelapanya. Lalu Ambu merayu Mas Yon agar mau  mengantarkan kami sampai melihat ombak. Akhirnya sampai pula kami di sana. Melihat hamparan air. Lambaian nyiur dan ombak? Hmmmmm....
Cerita tadi adalah rangkaian kegiatan hari kedua. Hari pertama kami mendapat pemahaman mengenai seputar dunia fiksi dari Fanny Jonathan Poyk.Â
Cerpen beliau sudah banyak menghiasi media cetak nasional. Setiap penulis hendaknya uji nyali mengirimkan tulisannya ke media cetak.Â
Tidak sekadar diunggah pada media sosial. Menurut beliau hal tersebut untuk meningkatkan kemampuan si penulis itu sendiri. Bukan mengejar jumlah viewer atau like belaka. Setidaknya ada kurasi dari naskah oleh ahlinya.
Setelah Pemahaman mengenai fiksi, berlanjut sharing Oleh Iskandar Zulkarnaen atau lebih dikenal dengan Mas Isjet, sebagai co-founder Kompasiana, mengenai Literasi Digital. Ada empat point penting yang saya ingat dari Mas Isjet mengenai "How to build Brand a News Room", yaitu:
- Original
- Patience
- Be Timely
- Be flexible
Tidak sekadar diingat, tetapi harus segera dipraktekan, untuk meningkatkan kualitas. Tulisan kita mempunyai ciri yang khas, harus sabar. Jangan ujug-ujug putus asa karena tidak dilirik brand. Tulisannya sesuai masanya. Â Agar bisa dilirik oleh brand-brand famous. Ada deal antara aku dan kamu. Agar tujuan kaya-raya bisa terwujud dalam kerangka yang sudah ditetapkan. Heyalaaaaaah....
Setelah diguncang gempa, kita deg-degan antara gempa yang menghantui serta deadline tulisan pertama mengenai kesan dan pesan mengikuti worshop. Waktu yang diberikan cukup sebentar. Seperti flash blogging .Â
Lanjut materi terakhir adalah mengenai menulis Bidang Ekonomi. Dengan nara sumber Isson Khaerul. Menulis di Bidang Ekonomi tidak seramai dengan tema-tema lain. Masih bisa dibilang lahan kosong. Banyak peluang di sana. Setiap peristiwa bisa dilihat dari sudut pandang ekonomi.Â
Eh, iya sih, mas Isson benar. Pasti selalu ada motif ekonomi. Saya manggut-manggut mendengar penjelasan Mas Isson. Mungkin masih banyak yang takut menulis di bidang ekonomi.Â
Seperti saya. Karena menyangkut hajat hidup orang banyak. Mencermati paparan Mas Isson serta peluang-peluang yang diperoleh jika kita rajin mengulas ekonomi, membuat penulisan dibilang penulisan di Bidang Ekonomi, sangat seksi.
Menikmati beragam transportasi di Ibu Kota yang sebentar lagi akan menjadi mantan ibu kota  Untungnya kami berpetualang naik MRT pada hari Sabtu, entah jika pada hari minggu. Tiba-tiba ada pemadaman listrik se-jawa. Wah, pasti akan ada cerita lain lagi.
Terima Kasih Click Kompasiana.
Mbak Muthiah Akhasany
Mas Thamrin Sonata
Mas Yon
Bang Isjet
Mas Isson
Buncha
Dan seluruh peserta... yang membuat awal Agustus tak terlupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H