Ulang Tahun kota Bandung yang ke 208, mendapat kado yang cukup mencengangkan. Kado yang berupa insiden dalam pertandingan sepakbola yang telah merengut korban jiwa. Ulang Tahun Bandung tanggal 25 September kemarin. Dan saya telat memberikan ucapan selamat. Da aku mah apa atuh, hanya warga telatan.
Dari riset save our soccer, lembaga pemantau sepak bola nasional, setidaknya 70 supporter tewas akibat vandalisme di sepakbola Indonesia sejak tahun 1995. Sebanyak 70% kasus kekerasa itu terjadi selama satu dekade terakhir. Dalam satu setahun terakhir, setidaknya tujuh nyawa melayang akibat kekerasan itu. Sumber Kompas Rabu, 26 September 2018.Â
 Â
Membacanya cukup terhenyak, gustiiiii... demi kemenangan nyawa dimurah-mareh begitu. Ada apa dengan kita?
Sesungguhnya walau pun sebagai orang Bandung berstatus bonjovi (bobotoh lalajo na Tivi), saya pun sering juga mendapat perlakuan merugikan dari bobotoh. Menonton secara langsung memang lebih mengasyikan. Tetapi demi keamanan jiwa raga, menjadi bonjovi rasanya lebih terhormat.
Terutama sejak bobotoh memakai embel-embel Viking. Asa tambah beringas. Beberapa tindakan oknum bobotoh membuat saya kurang respect terhadap mereka. Malah membuat saya berpikir, bagi mereka sepak bola bukan untuk menikmati sebuah pertandingan. Sebuah perjuangan, belajar strategi dan teknik. Melainkan hanya melepaskan syahwat terpendam untuk merusak fasilitas umum hingga menghabisi nyawa orang.Â
Masih belum lepas dari ingatan saya, bobotoh yang menganiaya bobotoh lainnya karena salah sangka. Penganiayaan yang menimpa alm. Ricko Andrean Maulana, seorang Yatim-Piatu pada tahun lalu. Alm. Adalah korban salah sasaran padahal dia bagian dari bobotoh juga. Jangankan batur, deungeun-deungeun. Dulur sorangan pun dihanca juga. Ngerakeun pisan.
Hei ... hei... hei... mengapa para bobotoh tidak belajar?
Mengapa bernafsu untuk menjadi pencabut nyawa?
Di hari itu pula, saya mendapati salah satu akun twitter bobotoh, yang menyayangkan Alm. Haringga Siria yang memaksa masuk walaupun sudah dilarang. Seolah-olah merasa tidak bersalah bahwa kejadian ini akibat provokasi kawan sejawatnya. Seolah-olah itu salahnya Alm yang menjemput nyawa di markas mereka. Ciri khas akun-akun tersebut adalah menggunakan Bahasa Sunda kasar dan cenderung provokatif. Mengejek dan mengajak untuk melakukan penyerangan. Dan yang saya temukan ini adalah akun yang dimiliki oleh anak-anak SMK. Sungguh miris ketika seorang pelajar mampu mengungkapkan kalimat-kalimat kasar tersebut. Yang terbersit di benak saya adalah, eta budak diajar naon salama sakola??
Cuitan tersebut saya teruskan ke Pak Gubernur, Pak Walikota Bandung serta akun disdik kota Bandung. Saya berharap akan ada tindakan kongkrit, terutama dari dinas pendidikan. Memantau akun-akun yang memakai embel-embel nama sekolah dan lembaga pendidikan. Jangan sampai ngerakeun siga nu teu diajar wae. Jangan sampai tulisan di media sosial, pakaian atau di media lainnya menciptakan mesin pencabut nyawa.
Sudah saatnya bobotoh untuk berbenah. Sudah cukup. Keberingasan kalian sudah banyak memakan korban. Jangankan batur, dulur oge apan dihakan. Mau sampai kapan?Â
Karena PERSIB bobotoh aya, begitu pula sebaliknya. Sok, SIB, hukum tah oknum-oknum bobotoh. Kasih pelajaran.
Piceun bobotoh siga nu kitu mah! Bejakeun kumaha hesena jadi atlet sepakbola. Angursi ayeuna dirurusak ku ngaran-ngaran supporter. Ayeuna kabuktian mana nu nyaah ka PERSIB, mana nu ngan saukur make ngaran PERSIB jang muaskeun nafsuna wungkul.
Wilujeng milangkala Bandung nu ka 208. Mugia taun payun, sareng taun-taun saterasna ulah aya nu kieu deui.Mending tunjukkeun ku prestasi sanes ku sensasi.
Dari warga Bandung telatan*
*telat memberikan ucapan selamat ulang tahun. Tapi taat bayar pajak dan tidak buang sampah sembarangan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI