Bagi yang akan melewatkan liburan di Bandung, pasti tidak akan ketinggalan untuk berkunjung ke Alun-alun. Sejak peringatan Konferensi Asia Afrika 24 April tahun lalu, Alun-alun Bandung berhasil mengukuhkan diri sebagai destinasi wisata selfie. spot-spot ketjeh badaiii yang instagramable. Sangat pas untuk mengisi kebutuha ruang pamer di media sosial kita.
Selain spot-spot ketjeh badaiii yang instagramable, ada apa sih di Alun-alun Bandung?
Pada hari Sabtu, 24 Desember 2016, bersama Kompasiana Bandung, saya diberi kesempatan untuk menelusuri jejak Bandung lautan api (BLA) di Alun-alun Bandung. Peristiwa bersejarah yang terjadi pada tanggal 24 Maret 1946. Dengan tagar #MapahKaBandung. Jalan-jalan kali ini bagi saya pribadi bertujuan agar mengenal lebih jauh kota Bandung, Mengenal kota saya sendiri. Kan, tak Kenal maka Tak Sayang.
Perjalanan di mulai dari Halte Bis Terpanjang. Halte Bis Alun-alun Bandung. Tujuan pertama adalah gedung asuransi Jiwasraya. Salah satu gedung bersejarah dengan gaya arsitektur Indo Europeesche Stijl. Tepat disebrang Alun-alun. Pada saat peristiwa BLA, gedung ini pernah dijadikan markas Resimen 8, Divisi III Priangan, komandemen I Jawa Barat Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang dipimpin oleh Letkol Oman Abdurachman.
Untuk mengingat peristiwa BLA dan peran gedung Jiwasraya pada peristiwa tersebut didirikan Stilasi atau monument mini. Dibuat pada tahun 1997 atas prakarsa Paguyuban Pelestarian Budaya Bandung (Bandung Heritage) yang bekerja sama dengan American Express (AMEX) Bank Foundation. Di Gedung Jiwasraya merupakan Stilasi yang ke-3. Stilasi pertama di Gedung BTPN (Kantor berita Domei) dan yang kedua di gedung Denis (Bank BJB).
Stilasi berbentuk limas. Jejak peristiwa dan untuk mengetahui letak stilasi yang lain bisa dilihat dari salah satu sisi stilasi. Monumen mini ini diberi tanda bunga patrakomala. Bunga khas kota Bandung. Sayangnya banyak stilasi yang sudah tidak utuh. Banyak tangan-tangan yang iseng ikut nimbrung.
Destinasi kedua adalah lapangan Alun-alun itu sendiri. Lapangan dengan rumput sintetis. Sasaran anak-anak bermain bola dan berlari-lari semampu mereka. Alun-alun Bandung telah mengalami beberapa kali renovasi. Dari tampilan mesjid agungnya yang masih sederhana, hingga seperti sekarang. Ada tambahan gerbang yang menjulang dengan hiasan mozaik.
R.A Wiranatakusumah II yang terkenal sebagai Dalem Kaum I adalah yang memprakarsai pembangungan Alun-alun. Dengan cerita yang cukup rumit diterima secara logika. R.A Wiranatakusumah II berencana memindahkan ibukota kabupaten Bandung. Menggunakan Perahu yang diikat berdampingan menyusuri sungai Citarum hingga sampai lah beliau ke sungai Cikapundung. Di satu tempat beliau turun dan menancapkan tongkatnya. Ketika tongkat dicabut keluar mata air yang menjadi cikal bakal sumur Bandung. Sekarang letak sumur itu di Gedung PLN.
Sebelum menjadi pusat perbelanjaan, pernah menjadi markas Badan Keamanan Rakyat (BKR) Siliwangi. Pernah juga menjadi hotel Harapan Eka Graha. Di sini pula tercetus ide Bandung Lautan Api. Meskipun Monumen Bambu Runcing ini tidak termasuk pengelolaannya oleh pemerintah, tetapi pihak manajemen pusat perbelanjaan dengan berbaik hati merawat setelah mendapat titipan dari Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI).
Beberapa meter dari Monumen Bambu Runcing kami menemukan Stilasi ke- 6. Letaknya di jalan Dewi Sartika. Rupanya perencanaan mengenai pembumi hangusan Bandung disusun di sana. Tetapi rumah yang di maksud sudah tidak ada dan beralih menjadi Grosir Arloji. Letak perumusan mengenai Bandung lautan api memang tidak dilakukan di satu tempat. Agar rencana tidak tercium oleh pihak sekutu. Rencananya Bandung akan dilumpuhkan dengan andung lautan air, tetapi entah mengapa yang terjadi menjadi Bandung lautan api. Rumah tersebut (Regenstweg) milik A.H Nasution salah satu pahlawan Revolusi.
Perjalanan dilanjutkan menuju ke sebuah sekolah dasar yang letaknya di jalan Kautaman Istri - Ciguriang. Sekolah ini merupakan sekolah yang didirikan oleh R.A Dewi Sartika. Mengenai R.A Dewi Sartika saya membaca dari buku berbahasa Sunda karya Pak Aan Merdeka Permana dengan judul Kantun Jujuluk nu Arum. Dalam buku tersebut diceritakan perjuangan Juag Uwi (nama kecil R.A Dewi Sartika) untuk memajukan kaum perempuan. Masa di mana kaum perempuan yang ingin belajar membaca saja harus bertaruh dengan sejuta pendapat.
Akhirnya Ide R.A Dewi Sartika mendapat sambutan positif dari pemerintah Belanda, Sakola istri berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri. Diambil dari nama perkumpulan bentukan Residen Priangan. Diabadikan juga sebagai nama jalan. Pada saat peristiwa BLA, sekolah ini digunakan sebagai dapur umum.
Stilasi berikutnya berada di jalan simpang. Letaknya di dalam sebuah bengkel motor dan tempat penitipan motor. Sangat tersembunyi. Disini terletak Stilasi ke-4. Tempat bersejarah sebenarnya ada di nomor 7. Tetapi karena satu dan lain hal, penempatan Stilasi ke-4 terdapat di bangunan no. 10.
Harapannya semoga di masa mendatang diadakan lagi perjalanan seperti ini. Banyak pelajaran penting yang saya dapatkan. Meneladani perjuangan mereka dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan. Rasanya sangat disayangkan jika kita harus merusak, apalagi menodai perjuangan mereka itu dengan melakukan tindakan yang merugikan.
Ketika tiba dipemakaman dan melihat nisan ibu R.A Dewi Sartika, terlintas dalam benak saya, “Apa yang sudah saya kerjakan untuk negeri ini?”
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H