Mohon tunggu...
Yeni Kurniatin
Yeni Kurniatin Mohon Tunggu... Administrasi - if love is chemistry so i must be a science freaks

Ordinary creature made from flesh and blood with demon and angel inside. Contact: bioeti@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Orion: Memancing [02.27.17]

21 Juni 2015   14:01 Diperbarui: 27 Mei 2023   20:26 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Angkasa luas dan mimpi yang tak berbatas. 

Seulas awan tersapu memanjang vertikal menghias kubah langit. Seperti seorang pelukis mengusapkan kuasnya dengan tergesa. Memayungi dua orang sahabat yang sedang memancing dalam keheningan.

“Kamu sudah tanya?” tanya Pak Kepsek Dadang dengan muka gelisah memecah kesunyian.

Pak Rusli Rusliwa tidak bergeming. Dia menatap dengan serius mata pancingnya. Bayangan Pak Rusli Rusliwa yang sedang berkonsentrasi tingkat dewa terpantul dengan jelas dari air danau yang jernih. Topi pancing lusuh dengan beberapa helai benang tersembul. Mukanya kusut.  

Mereka duduk saling memunggungi. Ikan-ikan enggan menghampiri umpan yang mereka sematkan. Seakan tahu dua sahabat itu sedang gelisah.

“Jadi?” tanya Pak Kepsek Dadang sekali lagi. Kali ini dengan suara lebih tegas. Melirik pada sahabatnya yang dari tadi tidak melakukan pergerakan sedikit pun.

“Sudah.” Jawabnya pendek. Untuk jawaban sependek itu saja diperlukan beberapa menit yang membuat penampakan pak Kepsek Dadang semakin kesal. Dia bahkan menarik kailnya. Mengganti umpan agar tak disepelekan oleh kawanan ikan. 

“Terus??”

Pak Rusli Rusliwa seakan tidak mau terkecoh dengan rasa penasaran Pak Kepsek Dadang. Dia sendiri terus berkonsentrasi.

Pertanyaan-pertanyaan Pak Kepsek Dadang hanya membuat ikan-ikan melenggang ria. Seperti para mami cantik mengantarkan anaknya ke sekolah. 

“Menurut aku ini kesempatan menarik.” lanjut Pak Kepsek Dadang. Dia melemparkan tali pancingnya sedikit menyerong dari yang sebelumnya. Perahu bergerak, riak air menimbulkan gelombang dan membuat mata kail Pak Rusli Rusliwa ikut bergerak. “Kita butuh umpan yang tepat untuk memancing mereka. Bagaimana?!”

Pak Rusliwa tahu umpan yang dimaksud Pak kepsek Dadang.

“Kamu tahu sendiri anaknya.” hanya empat kata yang terlontar dari Pak Rusli Rusliwa atas pernyataan Pak Kepsek Dadang.

“Perubahan Rus! Kita harus membuat perubahan! Untuk mengembalikan Patrion pada tujuan semula. Membentuk manusia luhur yang berbakti pada Tuhan, Negara dan Bangsa.” Perahu kembali bergerak karena Orasi Pak Kepsek Dadang yang menggebu-gebu. Orasi Pak Kepsek Dadang nyaris mengalahkan pidato Presiden Obama di jemaat senat. Meyakinkan rakyatnya tentang perubahan dan move on.

Pak Rusliwa tetap pada posisi semula. Tak bergeming. Hening dan berusaha berdamai dengan suasana.

“Aku ingin jawaban Rus... Jangan kamu jawab, Kamu tahu sendiri anaknya! Tentu saja aku tahu anaknya seperti apa. Aku tahu bapaknya!!” Gerutu Pak Kepsek Dadang, tanpa sadar tangannya bergerak.

Seekor ikan hampir terjebak dengan umpan yang tersemat di mata kail Pak Kepsek Dadang. Awalnya ikan itu menyesal makanan lezat tiba-tiba menjauhi, tapi setelah melihat tali pancing menjuntai dia langsung bersyukur. Nyaris saja. Kata si ikan.

Kawanan burung menyerbu ke angkasa. Keduanya lalu terdiam memandangi burung-burung yang membuat pepohonan ikut berteriak. Muka Pak kepsek Dadang terlihat kaget. Dia tidak menyangka kekuatan orasinya akan direspon tunai.

“Aku sedang usahakan. Dia sedikit keras kepala.” Kata Pak Rusli Rusliwa datar.

“Seperti kamu.”

“Kita satu kelompok aliran garis keras Dang,” jawab Pak Rusli Rusliwa dengan tegas menatap Pak Kepsek Dadang. “ Aliran garis keras kepala. Ingat itu!”

Pak Kepsek Dadang tersenyum, menyadari hal yang tidak perlu disangkal.

Matahari semakin meninggi. Diam-diam awan vertikal berangsur pudar, menyusup pada langit yang semakin membiru. Sayup-sayup terdengar suara beduk disusul kumandang adzan. Bergema. Alam menyeru untuk sejenak mengingatkan akan yang kuasa. Kedua laki-laki itu mendayung perahu ketepi.

Seorang lelaki tua berjalan santai membawa kumpulan ikan yang diikat dengan tali bambu. Mereka bertemu di surau kecil tepi danau. Pak Rusli Rusliwa dan Pak Kepsek Dadang saling berpandangan. Lalu keduanya berpaling melihat ember hitam kosong yang sudah mereka siapkan untuk menampung hasil tangkapan.   

-- 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun