"Inaaaaaaa, kamu yang habis mandi yaaa???"
"Iya, kenapa Ma?" tanya gadis cilik itu tanpa berdosa.
"Airnya luber tuh."
"Maap deh, Ma. Ina lupa matiin krannya."
"Bayar PAM-nya jadi mahaaaaaaaaaaaal tauuuk!"
***
"Inaaaaaaa...."
"Iya, Ma," si Ina menghampiri Mamanya yang lagi asyik baca koran di teras.
"Matiin komputer sama tivinya. Terus lampu yang dikamarmu, kamar Mama, sama kamar adikmu."
"Lha kok? Gelap dong, Ma. Ina kan lagi belajar."
"Ya kamu belajarnya di teras aja sini bareng Mama. Cahayanya masih banyak kok. Biar bayar listriknya gak mahal"
Ina akhirnya angguk-angguk pasrah.
***
"Inaaaaaaaa..."
"Apalagi sih Ma?"
"Pisahin yang sampah plastik sama sampah hijau dooong...."
"Emang mau di apain, Ma?"
"Yang sampah plastik mau Mama bikin jadi tas belanja, biar hemat."
"Oooooooo..."
***
"Inaaaaaaaa..."
"Kenapa, Ma?"
"Papa kemana??"
"Lagi muter-muter keliling kompleks sama adek naik motor."
"Aduuuuh... padahal bensin kan sekarang udah nggak disubsidi lagi. Bisa tekor Mama..."
***
Dan kenapa ini masih tentang biaya. Tentang mahal dan murah yang setiap orang tak menganggap sama. Tentang berapa banyak lembar uang yang harus dikorbankan.
Bukan tentang krisis air yang mengancam dunia. Bukan pula tentang minyak bumi yang suatu saat akan enyah. Dan juga bukan tentang 500 tahun yang harus dihabiskan hanya untuk sampah.
HARUSNYA BUKAN TENTANG BIAYA, TETAPI TENTANG HIDUP JUTAAN MANUSIA.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H