Mohon tunggu...
Carissa Nabila Harijadi
Carissa Nabila Harijadi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Ilmu Politik

-

Selanjutnya

Tutup

Politik

Keberadaan Oposisi dan Koalisi Pasca Pemuli 2019 sebagai Upaya Mewujudkan Demokrasi di Indonesia

14 April 2022   14:53 Diperbarui: 18 April 2022   20:04 337
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dilihat dari bergabungnya Partai Gerindra dan Partai Amanah Nasional (PAN) ke dalam koalisi pemerintah, Solihah (2018) menyebutkan bahwa pemilu serentak dipastikan tidak akan menciptakan koalisi yang tergabung atas dasar kepentingan kekuasaan semata dan lebih mempertimbangkan dampak jangka panjangnya. Pada saat pelaksanaan pemilu, benar adanya bahwa partai-partai yang tergabung ke dalam kedua belah kubu itu masing-masing berkoalisi karena kesamaan pandangan serta visi misi dan ideologi. Namun demikian hal ini menjadi berbeda cerita ketika pemilu serentak tersebut sudah mencapai hasil akhir. Koalisi yang gemuk diakibatkan oleh pragmatism yang dimiliki oleh partai politik tersebut karena semata-mata menduduki kursi kekuasaan dan kepentingan dirinya sendiri. Hal ini terlihat jelas dari kursi yang disediakan oleh Jokowi-Ma’ruf pada elit Gerindra dan PAN. Peta koalisi tersebut berjalan sesuai dengan keinginan jangka pendeknya yakni memperoleh kekuasaan melalui jalan yang instan, dengan berkoalisi tanpa memandang ideologi partai.

            Lain halnya dengan oposisi, keberadaan oposisi cenderung diberantas dan semakin remuk ditengah oposisi yang bertambah gemuk. Oposisi yang lemah akan mempengaruhi berjalannya fungsi-fungsi sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Pertama, oposisi yang memiliki peran sebagai penyeimbang kekuatan negara dalam hal pasca pemilu 2019 ini tentunya tidak terbukti akibat ketidakseimbangan jumlah yang terdapat antara oposisi-koalisi. Hal ini akan berdampak pada pelemahan oposisi itu sendiri dengan dominannya suara koalisi sehingga masukan-masukan oposisi yang dilakukan sebagai penyeimbang kekuatan negara akan hilang dan mengancam ketimpangan kekuasaan sehingga akan mempengaruhi hilangnya kontrol terhadap kekuasaan partai politik yang dominan. Perlu diingat bahwa demokrasi akan hidup apabila adanya kontrol dan check and balance penuh untuk mengurangi kekuasaan agar tidak menyimpang. Hal ini senada dengan adagium Lord Acton, Power tends to corrupt but absolute power corrupts absolutely. Fungsi kedua, yakni sebagai sarana alternatif dari kebijakan yang akan ditempuh oleh pemerintah sehingga aspirasi rakyat dapat disalurkan secara penuh juga susah untuk dipenuhi karena kekalahan suara yang dimiliki oleh oposisi yang terdapat di parlemen sehingga sangat kecil kemungkinannya bagi suara rakyat dalam mengaspirasikan suatu kebijakan tertentu untuk diakomodir. Terlihat bahwa suara yang dimiliki oleh koalisi di pemerintahan saat ini ada 471 kursi dan oposisi yang hanya ada 104 kursi. Dan pada fungsi ketiga, yakni sebagai sarana perkembangan pemerintahan masyarakat dengan menjaga rivalitas yang sehat dalam lingkaran pemerintahan juga akan sulit terwujud mengingat persaingan yang sehat tersebut mustahil terjadi dengan perbedaan suara yang sangat banyak. Ketiga hal ini akan mempengaruhi kualitas demokrasi yang akan dihasilkan oleh negara Indonesia kedepannya, mengingat keberadaan oposisi menjadi posisi sentral dalam demokrasi, sebagaimana pendapat Ian Saphiro (1996), “Democracy is an ideology of opposition as much as it is one of government.”  

Selain berkaitan dengan tiga fungsi partai oposisi dalam demokrasi, keberadaan oposisi yang kian meresahkan karena ketimpangan suara ini juga akan mempengaruhi mengenai pencalonan paslon dalam pemilu presiden. Sebagaimana diketahui, menurut UU No. 17 Tahun 2017 mengenai pemilu, besaran angka  presidential  threshold untuk mencalonkan pasangan presiden ialah sebesar 20% dari kursi DPR atau 25% dari suara sah nasional. Bagi partai oposisi seperti PKS dan Demokrat, hal ini menjadi tantangan baru mengingat suara mereka dalam kursi DPR hanya ada 8,21% untuk PKS dan 7,77% untuk Demokrat. Dilihat dari jumlahnya, sulit bagi mereka untuk mengusung calon presiden yang berasal dari kubu mereka. Kita tahu bahwa dalam sistem presidensial dengan multipartai sederhana, pemecahan menjadi partai politik baru hanya akan mempengaruhi stabilitas pemerintahan sehingga berkoalisi dengan partai besar menjadi satu-satunya jalan untuk mengusung calon presiden. Dalam hal ini, apabila demokrat dan PKS bergabung pada partai besar yang mana statusnya merupakan koalisi pemeritah, hal ini justru akan semakin berbahaya bagi oposisi dan melahirkan kepemimpinan oligarki dan eksklusif. Tentunya hal ini juga berimplikasi pada demokrasi sebagai pemerintahan yang berjalan secara inklusif.

Maka dari itu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa pemilu merupakan suatu sarana untuk mengukur kualitas demokrasi di suatu negara. Salah satu indikatornya ialah terdapatnya komposisi oposisi koalisi yang seimbang dari partai-partai politik peserta pemilu. Namun pada kenyataannya, kecenderungan pragmatism partai-partai politik di Indonesia pasca pemilu 2019 mengakibatkan oposisi yang lenggang dan koalisi yang langgeng sehingga memunculkan ketimpangan posisi yang menyebabkan kehancuran demokrasi itu sendiri. Kemungkinan kemunculan pemerintahan oligarki, otoriter, dan anti kritik juga sangat besar apabila melihat peta politik oposisi-koalisi seperti yang ada saat ini, bahkan penegakkan demokrasi yang telah terlegitimasi pasca reformasi 1998 akan mengalami keruntuhan dan dapat kembali seperti era Orde Baru yang kelam. Dengan demikian, pemetaan kembali oposisi-koalisi pada pemilu yang akan datang menjadi krusial untuk dibahas dan diteliti pada penelitian selanjutnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun