NAMA: CARISA SEPTIANTI DWI NOVITAÂ
NPM:22001011186
PENDIDIKAN ISLAM MULTIKULTURAL
PENDAHULUAN
Peningkatan kecenderungan moral yang menurun dan perilaku yang tidak terpuji seperti kekerasan, tawuran, eksklusivisme, dan kurangnya toleransi serta penghargaan terhadap orang lain dalam berbagai bentuk, yang terjadi di kalangan pelajar, menunjukkan bahwa model dan fungsi pendidikan Islam yang ada belum berjalan efektif. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika banyak yang mulai meragukan seberapa efektif pendidikan Islam dalam meningkatkan kesadaran dan mengubah perilaku para siswa, baik secara individual maupun dalam konteks sosial dan budaya. Pertanyaan ini menjadi wajar karena secara teoritis, pendidikan dianggap sebagai sistem yang sangat berpengaruh dalam membentuk pola pikir dan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam menghadapi berbagai fenomena yang mengkhawatirkan tersebut, banyak pihak mulai berpandangan bahwa perlu dikembangkan model pendidikan Islam yang bersifat multikultural. Model ini akan lebih berfokus pada pentingnya menghargai keragaman dan memberikan pengakuan yang setara terhadap semua individu (kesetaraan bagi semua) yang memiliki hak yang sama dalam mendapatkan pendidikan, serta menghapuskan segala bentuk diskriminasi untuk membangun masyarakat yang adil. Tujuannya adalah menciptakan lingkungan yang toleran, demokratis, humanis, inklusif, damai, dan berkolaborasi tanpa memandang latar belakang etnis, status sosial, agama, atau jenis kelamin seseorang.
PEMBAHASAN
Pendidikan Islam multikultural merupakan proses penyampaian nilai-nilai Islam yang relevan untuk memungkinkan peserta didik hidup secara damai dan harmonis dalam konteks keberagaman, serta berperilaku positif agar mampu mengelola keberagaman sebagai sumber kekuatan untuk kemajuan, tanpa mengaburkan atau menghapuskan nilai-nilai agama, identitas diri, dan budaya. Multikulturalisme tidak hanya mencakup beragam kebudayaan, tetapi juga mengakui dan menghormati keberagaman budaya secara setara dan sederajat di masyarakat. Aspek "keragaman" yang menjadi inti dari konsep multikultural berkembang menjadi gerakan yang dikenal sebagai multikulturalisme. Gerakan ini tidak hanya menuntut pengakuan terhadap semua perbedaan, tetapi juga mengadvokasi perlakuan yang sama terhadap perbedaan tersebut sesuai dengan prinsip-prinsip kemanusiaan. Awalnya, gerakan multikultural dipelopori oleh John Stuart Mill dan kemudian diteruskan oleh Charles Taylor dalam konteks politik dan kebudayaan, serta merambah ke dunia pendidikan.
Pendidikan multikultural menuntut reformasi mendasar di semua bidang pendidikan, menuju konsep yang demokratis, transparan, dan partisipatoris, yang menggantikan pendekatan sentralistik birokratis yang didasarkan pada kekuasaan. Dalam perspektif pendidikan multikultural, tidak ada diskriminasi antara warga negara sebagai kelas satu atau kelas dua; semua memiliki hak dan kewajiban yang sama dalam pendidikan, serta kebebasan untuk berekspresi dan memilih dalam berbagai konteks seperti identitas, kebudayaan, politik, dan pendidikan.
Di Indonesia, perkembangan pendidikan multikultural tidak terlepas dari peran Ki Hajar Dewantoro. Dalam salah satu tulisannya, Ki Hajar Dewantoro menekankan bahwa tidak ada satu jalan tunggal menuju kebenaran, dan setiap individu memiliki standar kebenaran yang berbeda-beda. Oleh karena itu, penting untuk menghargai dan menerima keberagaman, karena perbedaan bukanlah alasan untuk memecah belah, melainkan dapat menjadi sumber ketegangan kreatif yang mendorong orang untuk berlomba-lomba menuju kebaikan. Hal ini ditekankan karena keanekaragaman hanya merupakan variasi dari satu tujuan yang sama, yaitu kebenaran sejati.
Â