Mohon tunggu...
Hewan Peliharaan (ACS)
Hewan Peliharaan (ACS) Mohon Tunggu... Full Time Blogger - ojol

Tukang ojek online dan penulis recehan https://hewandankita.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Mengundang Agama Masuk Politik Praktis, Pahami Risikonya

3 Desember 2018   18:12 Diperbarui: 3 Desember 2018   18:23 224
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kehidupan masyarakat yang majemuk dan juga terdiri dari beragam suku dan agama, menjadi salah satu bagian sendi perekat berbangsa dan bernegara, nilai-nilai luhur agama yang juga menjadi jiwa tiap warga negara, secara langsung ataupun tidak langsung, turut memberikan makna yang positif sehingga kondisi keamanan negara yang tetap terjaga.

Dalam dunia perpolitikan terutama saat memasuki pemilihan, entah itu untuk pemilihan kepala daerah yang mulai dari Wali Kota, Gubernur hingga Presiden, tidak jarang sekelompok orang berusaha menggunakan agama agar bisa masuk dalam politik praktis. Kedatangan agama dalam bentuk undangan tersebut, dapat membuat malapetaka jika berubah wujud kepentingan untuk mendapatkan kekuasaan dalam dunia politik secara praktis.

Hal yang sama juga disebutkan oleh Pengasuh Pondok Pesantren Raudhatul Muhibbin Caringin, Bogor KH M. Luqman Hakim, saat menyampaikan pesan bahwa semua wajib menjaga agama. Tetapi ketika gerakan keagamaan berujung politik bahkan dengan alasan menjaga agama, justru gerakan itu menjadi duniawi sekali.

"Nafas keagamaan lama-lama berbau busuk di tong sampah sejarah, beraduk antara kesucian dan kotoran nafsu," ungkap Kiai Luqman, Kamis (19/7) menanggapi gerakan-gerakan yang menggunakan agama sebagai alat mencapai kekuasaan politik praktis. Sumber

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat hadir di Kantor Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya, Jakarta Pusat, Selasa (30/01/2018) meminta agama tidak digunakan untuk kegiatan politik praktis yang pragmatis. Sebab menurut Lukman, hal ini dapat menyebabkan terjadinya benturan yang luar biasa, jika agama dibawa dalam politik praktis.

Selain itu Lukman menyebutkan, bahwa agama tidak digunakan sebagai upaya mengundang massa dalam melakukan mobilisasi peserta untuk kepentingan dan tujuan politik praktis. Sebab di antara umat Islam yang mempunyai beragam aspirasi dunia politik, hal tersebut dapat menjadi benturan yang sangat luar biasa.

Lukman meminta agar ada kesepahaman di masyarakat soal istilah politisasi agama dan menggunakan agama dalam politik. Menurutnya, bisa terjadi perdebatan panjang tanpa adanya kesepahaman soal istilah politisasi agama.

Lukman menyadari agama dan politik tidak bisa dipisahkan karena sama-sama mengatur hidup banyak orang. Namun, Lukman berharap agama digunakan sebagai dasar dalam kehidupan berpolitik bukan dipakai untuk keperluan politik praktis.

Kini, memasuki di akhir tahun 2018 yang akan berganti ke tahun 2019. Seluruh warga negara Indonesia akan masuk dalam pemilihan Pileg dan Capres di tahun tersebut. Dari kejauhanpun, aroma caleg dan capres sudah tercium dan mungkin akan makin semerbak menyebarkan pengaruhnya. Hiruk pikuk dunia politik dari masing-masing partai politik  yang mulai melakukan kampanye, baik lewat poster, banner dan spanduk sebesar gaban lapangan sepakbola (jika ada) pasti akan dilakukan, tidak ketinggalan mengikuti sertakan media sosial.

Jelas dan memang tidak akan terlewatkan peranan media sosial yang lebih mudah untuk memaparkan visi misi setiap caleg dan capres menjelang dekatnya tahun 2019 ini. Penggunaan media sosial, tidak sedikit juga menjadi sarana pendukung utama untuk kampanye politik, disebabkan jumlah pengguna yang sudah semakin meningkat juga lebih murah untuk ongkosnya.

Ketatnya persaingan dan potensi konflik yang mungkin akan terus meningkat, sejumlah kemungkinan yang dapat menjadi berbahaya dan menjadi sebuah ancaman terhadap kehidupan bangsa dan negara, perlu menjadi perhatian pihak terkait untuk mewaspadai, kemungkinan-kemungkinan menjadi tempat provokator untuk membuat suasana menjadi keruh dan gaduh lebih nyata, dengan tujuan jahat untuk mengadu domba masing-masing kubu atau partai politik. Dari sekian banyaknya kemungkinan potensi konflik secara horizontal, secara umum masih menggunakan isu SARA untuk dibawa dalam politik praktis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun