Bicara tentang budaya malu, mungkin menjadi debat kusir yang tidak akan lekang sepanjang masa. Setiap orang punya pendapat masing-masing untuk membela diri ketika di tanya budaya malu yang belum ada atau sudah hilang dari dirinya.
Sejak kita masih kecil hingga remaja, beragam pendidikan moral dan agama yang di terima, bukanlah hal yang sedikit menempel dalam memori. Dalam setiap agama manapun, budaya malu bisa di katakan sesuatu yang mungkin perbuatan yang tidak terpuji, dan semua pendapat mungkin saja membenarkan hal tersebut.
Di sekolah pun sama, selain pendidikan ilmu pasti. Murid yang belajar sering di ajarkan tentang moral dan sopan santun. Pendidikan seperti beretika dalam keluarga hingga bermasyarakat, pelajaran tentang hal tentang perilaku baik, mungkin akan mendapat nilai terbaik, jika di uji dalam bentuk pertanyaan kepada murid.
Mengorek pengalaman masa lalu, saya pun pernah merasakan seperti apa rasanya menjalani budaya malu. Dengan latar belakang pendidikan psikologi, mungkin bukan sesuatu yang sulit untuk menerangkan teori budaya malu.
Suatu ketika dalam perjalanan di tengah kemacetan lalu lintas, mungkin pemandangan kendaraan yang melawan arus hanya untuk melewati kemacetan, seringkali menjadi tontonan yang lumrah bagi sebagian orang. Apalagi jika orang tersebut sering menggunakan cara lawan arus tersebut.
Pernah saat pikiran saya begitu idealis dengan peraturan saat muda dulu dan melihat situasi lalu lintas yang demikian macetnya. Kebetulan saya berada di jalur yang kosong. Saat melihat banyak kendaraan dari arus sebelah yang demikian macetnya. Kendaraan saya sengaja di arahkan ke posisi untuk menutup celah dari sebelah kanan. Tujuan awalnya bukan karena saya iseng atau sirik dengan mereka yang lawan arus, namun pandangan dari kendaraan saya, justru mereka yang lawan arus hampir mengambil semua ruas jalan yang kosong.
Tentu bisa dibayangkan, pada suatu titik tertentu saat kendaraan lawan arus sedemikian banyaknya menumpuk. Kemacetan yang awalnya hanya pada satu jalur, akhirnya menjalar menjadi kemacetan di semua jalur dan posisi terkunci. Berhubung saya masih punya waktu, sengaja kendaraan tidak saya arahkan ke posisi kiri. Selain memberikan kesempatan kepada motor di jalur saya untuk melenggang keluar dari kemacetan. Ya lucunya, terkadang pemilik kendaraan yang lawan arus memberi intruksi kepada saya untuk mengarahkan posisi ke sebelah kiri karena masih bisa di lewati kendaraan dari jalur saya.
Begitu halnya juga tentang jalan tol dan jalan raya. Mungkin orang yang sering menggunakan kendaraan akan dapat melihat dan menemui contoh nyata, pada suatu ketika pengendaraan dari depan yang membuang sampah melalui jendela pintu.
Melihat budaya malu yang belum ada atau sudah hilang di dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam berkendara, lingkungan dan dunia pekerjaan. Apakah menjadi suatu petanda ada yang salah dalam pendidikan kita sewaktu kecil hingga remaja ?
Seperti halnya budaya malu dalam karir dan dunia politik, budaya malu sepertinya hanya menjadi ucapan kosong untuk sebuah khayalan. Suap menyuap untuk mendapatkan posisi yang lebih baik hingga menolak untuk mundur dari jabatan akibat terjerat kasus korupsi.
Mungkinkah petanda masa pendidikan kuliah masih ada yang salah ?
Menerapkan budaya malu menjadi bagian kehidupan, mungkin terasa sulit jika situasi tidak mendukung. Namun hal tersebut bukan sesuatu yang tidak bisa di lakukan.
Sebagai contoh ketika beberapa kali mengunjungi negara Jepang. Pendidikan tentang budaya malu sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan hingga mereka bekerja di bidangnya masing-masing.
Mungkin juga Jepang di saat awal menerapkan budaya malu akan mengalami kesulitan seperti yang di alami disini, namun dengan sistem yang terpadu dan penegakan hukum tanpa pandang bulu. Fakta yang sudah terasa dalam masyarakat Jepang adalah menjadikan budaya malu sebagai bagian kehidupan mereka.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H