Mohon tunggu...
Capung .
Capung . Mohon Tunggu... -

. .. . .. . .. .

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tiga Belas Ribu

31 Mei 2014   04:41 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:55 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukul 8 tepat. Atau pukul 08.01? Atau pukul 07.59? Berani bilang sekarang pasti pukul 08.00? Don't. You can not say it's absolutely eight o'clock.
Relatif.
Dimensi waktu itu relatif bergerak maju jika dilihat dari sudut pandang tertentu. Ketika ada seorang penumpang angkot bertanya ke Han jam berapa sekarang, lantas Han pun melihat ke smartwatch-nya, pukul 08.00'00", dan dijawab.....
"Jam delapan lebih dua detik"
Penumpang yang duduk di samping Han hanya mengangguk sambil menyisakan tanya soal 'lebih dua detik' yang diucapkan Han.
"Kiri, bang!!"
Han turun tepat di depan kiosnya di samping kantor cabang pembantu Bank Mega Kramat Jati.
Teng... teng... teng... genta dan lonceng telah dibunyikan, rutinitas pun harus dilakoni Han sejak masuk ke kios hingga pulang pukul lima sore. Senin hingga Sabtu.
"Minta sedekahnya, tuaaan......."
Itulah salah satu rutinitas yang sering menyapa Han saat menjaga kios pulsa. Hapal betul Han pada tiap-tiap pengemis yang hinggap. Di sudut dinding kanan kios tertempel 19 foto pengemis dan tanda turus kehadiran pengemis di depan hidung Han.
Paling sedikit punya 13 turus, pengemis berwajah datar.... terbanyak, pengemis tanpa emosi dan intonasi..... entah berapa turus yang tertera di bawah fotonya, mirip coretan turus di bilik sel penjara milik om Anas.
Jika ada wajah baru, Han langsung putar ulang CCTV yang terpasang di atas etalase lalu di-screenshoot.
Menjelang siang, Uni mengantarkan sebungkus nasi Padang isi rendang untuk Han.
"Tiga belas ribu......."
"Naik lagi, Uni?"
"Menjelang pilpres dan puasa, harga daging kian menjulang, uda....."
Teng... teng... teng...
Tersisa empat suapan ketika seorang pengemis singgah. Han hanya menggeleng. Tak pernah ada uang atau sesuatu diterima sang pengemis. Han tak suka pengemis. Han benci pada orang berpredikat pemalas.
"Kasihan, tuaaan....... saya belum makaaan......"
Siapa pun dia yang barusan meminta-meminta dan menghiba-hiba, Han anggap angin lalu saja, semuanya ada stempel di jidatnya : pengemis, dengan segudang cara dan gaya menghipnotis targetnya agar memberi seribu dua ribu saja.
@
Pukul 8 tepat..... ups...... sekitar pukul 8, dua hari kemudian. Han baru saja terbebas dari titian terakhir JPO shelter busway Mangga Dua. Inginnya sih membeli sparepart ponsel yang hendak diservice.
Lima langkah kemudian..... di dekat deretan tiga tukang ojek.
"Ojek?!"
Han ragu, naik mikrolet atau ojek?
"ITC..... berapa?"
"13.000"
Naik mikrolet hanya noceng, sudah sampai ITC dan menemui koh Aseng pemilik toko sparepart langganannya, bisa hutang, bisa juga pinjam.
"13.000..... mau? diantar sampe pintu masuk loh!"
Han menggeleng sambil menjauh tiga langkah dan memeriksa tas pinggangnya.
OMG!
Ada sayatan pisau cutter...... dan isi tasnya kosong sudah. Uang, ponsel dan surat-surat.
OMG!
Dompet di kantong celana jeans pun raib entah kemana.
OMG!
Jam dan gelang tak lagi melingkar di tangan kirinya.
OMG!
Sepatu kirinya terinjak kotoran kucing.
Han menoleh ke tukang ojek. Han bingung. Han kalut. Kepala Han semrawut awut-awutan.
"Awas lubang!"
Hampir saja Han terperosok ke lubang galian serat optik, atau galian PLN? atau galian pipa gas? atau galian iseng untuk menghabiskan sisa anggaran?
"Arrrgghhh......."
Han menoleh ke orang yang memperingatkannya. Lusuh. Pengemiskah?
"Mau ke ITC? Hati-hati kalau di busway, mas"
'Pengemis' itu melihat tas pinggang Han yang terkoyak.
"Semuanya dicopet!! Amblas!!"
"Ada ongkos pulang?"
Han diam saja. Orang itu mengamati wajah Han. Ekspresi wajah Han dan pupil mata Han telah meyakinkan orang itu. Mendekatlah ia sejarak dua jengkal dari Han.
"Ini....... terimalah......"
Cepat sekali orang itu memberi uang ke tangan Han. Mikrolet jurusan Pademangan pun membawanya pergi.
Han cepat tersadar. Tapi mikroletnya sudah menghilang. Dilihatnya uang-uang dalam genggamannya. Selembar lima ribuan, tiga lembar dua ribuan, selembar seribuan dan..... gopek dua keping.
@
Empat puluh hari berlalu.
Pukul 10.05. Han melihat ke jam dinding di kiosnya. Pukul 10.05 selalu menjadi icon untuk iklan jam. Why? Gak perlu dijawab laaah..... Han lagi bingung kok.
Bingung?

Belakangan ini Han tak melihat satu pengemis pun yang melintas. Malahan Uni yang tiba-tiba nongol berdiri menutupi pandangan Han.
"Nih....."
Han menyodorkan selembar seratus ribuan.
"Gak bawa kembalian, udaaa......."
Han mengusap saku kemeja putihnya.
"Itu recehan kan?!"
Han mengangguk. Selembar lima ribuan, tiga lembar dua ribuan, selembar seribuan dan gopek dua keping. Recehan ini kadang siap sedia di saku Han.
Sejurus kemudian sesaat setelah Uni pergi membawa bayaran makan siang Han........
"Kasihan, tuaaan....... saya belum makaaan......"
Han terdiam sejenak.
"Kasihan, tuaaan....... saya belum makaaan......"
Han terkesiap seperti orang terbangun dari mimpu buruk.
Lalu....
"Ini...... kumohon..... terimalah......"
Han mengangguk dengan segaris senyum untuk meyakinkan pengemis itu.
WhatsApp dari Uni masuk.
"Jika ingin memberi, berilah dengan ikhlas, tak perlu embel2 dan rasa penyesalan di kemudian hari...... copas dari grup sebelah.... hehehehe...."
Han hanya membalas dengan satu icon......

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun