Mohon tunggu...
wiwid santoso
wiwid santoso Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang WNI

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Manchester United (dan kami) Merindukan Sir Alex Ferguson

25 Agustus 2014   18:00 Diperbarui: 18 Juni 2015   02:36 579
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Bagi kami, fans Manchester United seluruh dunia, era sekarang adalah era yang "cukup menyedihkan". Pergantian pelatih yang langsung memikul ekspektasi sangat tinggi, Louis Van Gaal, ternyata hanya menambah kekhawatiran kami akan prestasi klub tercinta, menyusul hasil negatif di 2 (dua) laga awal liga Inggris (kalah 1-2 dari Swansea dan seri 1-1 dari Sunderland)

Well, ini pendapat pribadi saya sebagai seorang fan berat MU, Alex Ferguson telah "membuat kesalahan besar". SAF (Sir Alex Ferguson) telah membuat kami terlena dengan mengucurnya prestasi yang sedemikian deras mengalir. Saya bahkan punya sebuah kekhawatiran sangat besar : selama ini, saya, kami, para fans, fans klub rival, media, pelaku sepakbola, pengamat, semuanya telah "salah mengidentifikasi" 1 hal, yaitu : yang selama ini kita anggap mental juara Manchester United ternyata adalah mental juara Ferguson, yang lenyap seiring pensiunnya sang pelatih.

Ada 2 hal yang membuat saya begitu khawatir akan masa depan klub ini (mudah-mudahan saya salah). Pertama, ada jeda sangat panjang antara 2 pelatih legendaris MU. Sir Matt Busby (5 trofi liga, 1 trofi Champions) berkuasa di MU selama sekitar 25 tahun. Sir Alex Ferguson (13 trofi liga, 2 trofi Champions) berkuasa di MU selama 26,5 tahun. Jarak antar keduanya juga cukup lama yaitu 15 tahun (1971 ke 1986). Pertanyannya, apakah United akan butuh waktu 15 tahun, untuk kemudian dilatih oleh seorang pelatih yang akan mengabdi selama sekitar seperempat abad, untuk kembali sukses? Masalahnya, pada jeda antar keduanya, MU tidak sekalipun meraih trofi liga maupun Champions? (sekali lagi, mudah-mudahan tidak).

Kedua (ini yang menurut saya paling penting), Sir Alex Ferguson adalah sosok yang "terlalu istimewa". Ketika seorang teman bertanya kepada saya tentang siapa pelatih terbaik dunia, jawaban saya adalah : Pelatih terbaik dunia secara taktik adalah Carlo Ancelotti (sebelum membawa Madrid juara Champions 2013/2014), pelatih terbaik dunia secara filosofi adalah Pep Guardiola, pelatih terbaik dunai versi diri sendiri adalah Jose Mourinho (maaf untuk para penggemarnya), dan pelatih terbaik dunia untuk urusan mentalitas pemenang adalah Alex Ferguson.

Ada beberapa catatan yang menurut saya unik tentang SAF. MU dibawah SAF merebut 13 dari 21 musim EPL (61,90%), terlihat begitu dominan di era modern (English Premier League). Tetapi, ironisnya, 2 rekor penting justru dipegang bukan oleh SAF. Pertama, satu-satunya tim unbeaten di liga adalah Arsenalnya Arsene Wenger pada musim 2001/2002. Kedua, rekor poin tertinggi dalam semusim adalah milik Chelseanya Jose Mourinho pada musim 2006/2007. Secara sederhana, saya mengamati bahwa SAF sama sekali bukan pelatih dari tim yang "tidak bisa kalah", tetapi tim yang dipegangnya "tahu kapan harus menang".

Catatan berikutnya, Manchester Unitednya SAF adalah klub yang sering mencetak hasil-hasil dramatis. Dari tertinggal ke seri, dari seri ke menang, atau dari tertinggal ke berbalik menang. Saya pernah berkata ke teman-teman para fans klub rival bahwa, untuk menjadi seorang fan MU, Anda harus punya satu hal, jantung yang kuat. Ya, saya tidak sedang bercanda, karena faktanya sangat sering MU, dalam perjalanan menuju kemenangan, "mempermainkan adrenalin kami". Final Champions 1998/1999 (2-1 vs Bayern Muenchen) adalah contoh paling mudah diingat dari sekian banyak "drama hebat" di era Ferguson.

Kemudian, ada satu hal yang juga menarik. Kekalahan 1-6 atas City pada musim 2011/2012 adalah kekalahan dengan defisit 5 gol yang ketiga yang dialami oleh MU di era EPL di bawah SAF. Pada musim itu, Manchester City berhasil juara liga dan MU harus puas duduk di kursi runner up. Uniknya, itu adalah satu-satunya musim dimana MU kalah dengan defisit 5 gol dan ada di posisi runner up di akhir musim. Pada 2 (dua) kesempatan sebelumnya, MU menutup musim dengan gelar juara liga pada musim dimana mereka pernah kalah dengan defisit 5 gol (Newcastle United v MU 5-0 pada musim 1995/96 dimana MU adalah juara di akhir musim, dan Chelsea v MU pada musim 1999/2000 dimana MU juga juara liga pada akhir musim). Sebuah pertanyaan sederhana, adakah klub yang pernah kalah dengan defisit 5 gol pada sebuah partai liga tapi kemudian berhasil juara liga pada musim tersebut. Ini, menurut saya, adalah esensi terpenting dari MUnya Ferguson yang begitu melegenda, kemampuan comeback gemilang.

Seberapa hebatkah Alex Ferguson?

Dulu, di era SAF, saya (fan MU sejak 1994), sering sibuk menangkal pendapat teman-teman bolamania yang dengan enaknya berkata bahwa SAF sama sekali bukan pelatih hebat karena berprestasi bersama tim sebesar MU (terutama bolamania baru).

Ada 2 (dua) hal faktual yang dengan mudah menepis anggapan miring tersebut.

Pertama, kondisi MU sebelum Ferguson datang. Alex Ferguson (sebelum bergelar Sir) mengambil alih tim dari Ron Atkinson pada pertengahan musim 1985/1986 dengan kondisi tim yang amburadul. Kondisi kebugaran pemain dilaporkan pada kondisi "memprihatinkan", MU bukanlah tim besar Inggris, apalagi Eropa, MU hanya sebuah tim yang "pernah besar" (di era Sir Matt Busby), Liverpool sedang nyaman di puncak prestasi Inggris dan Eropa. Anehnya (atau lebih tepatnya gilanya), dalam sebuah "pidato" pada konferensi pers, Ferguson berani menjanjikan sesuatu yang terlihat gila dan mustahil ketika itu : mencongkel Liverpool dari tempat mereka berada. Padahal ketika itu perbandingan total trofi liga Liverpool vs MU adalah 7 berbanding 16. Tapi, kelak kemudain terbukti, karena Ferguson pensiun dalam kondisi perbandingan trofi liga MU vs Liverpool adalah 20 berbanding 18.

Kedua (ini yang sebagian bolamania tidak tahu), Ferguson mencetak prestasi luar biasa di klub sebelumnya, yaitu Aberdeen di liga Skotlandia. Sepanjang sejarah berdirinya Aberdeen (sampai sekarang), klub tersebut hanya pernah juara liga sebanyak 4 (empat) kali, 3 (tiga) di antaranya bersama Alex Ferguson yaitu musim 1979/1980, 1983/1984 dan 1984/1985 selama 6 (enam tahun) karir kepelatihannya di klub tersebut. Ada data yang secara logis matematis sangat mencengangkan. Dalam sepakbola, kita mengenal istilah "two horses race", yaitu sebuah liga domestik yang hanya didominasi oleh 2 klub saja, salah satu yang paling terkenal adalah liga Spanyol / La Liga yang didominasi oleh dua Classico yaitu Real Madrid dan Barcelona (pertemuan keduanya dalam sebuah pertandingan disebut "El Classico"). Selama 9 (sembilan) musim berturut-turut (dengan mengesampingkan 2013/2014 yang dijuarai oleh Atletico Madrid), La Liga hanya dijuarai oleh Real Madrid atau Barcelona. Artinya, membawa sebuah klub di luar Madrid atau Barcelona menjuarai La Liga adalah sangat sulit (makanya banyak yang mengapresiasi Diego Simeone yang berhasil membawa Atletico Madrid juara musim terakhir). Kalau kita ke liga Skotlandia, "two horses race"nya jauh lebih ekstrim. Selama 29 musim berturut-turut, ya, 29 musim, termasuk musim lalu, 2013/2014, liga Skotlandia hanya bisa dijuarai salah satu dari duo "Old Frim", yaitu Glasgow Rangers dan Glasgow Celtic (pertemuan keduanya dikenal dengan "derby Old Firm" yang disebut-sebut derby paling panas sejagat karena membawa serta faktor politik, pro dan tidak pro terhadap Inggris, dan faktor agama, Protestan dan Katolik). Artinya, secara logis matematis, membawa klub lain juara liga Skotlandia adalah sangat sangat sulit. Anda tahu klub terakhir di luar duo Old Firm yang juara liga? Ya, itu adalah Aberdeennya Alex Ferguson. Dan bukan cuma sekali, tapi 3 (tiga) kali, seperti saya singgung di atas.

Selain itu, Alex Ferguson juga membawa Aberdeen meraih gelar Eropa, yaitu juara Winners Cup musim 1982/1983. Hebatnya, dalam perjalanan menuju juara, Aberdeen memukul Bayern Muenchen di perempat final (skor agregat 3-2, extra time), dan memukul Real Madrid di final (skor 2-1), yang ketika itu dilatih oleh mantan pemain legendarisnya, Alfredo di Stefano. Sekedar informasi, Bayern Muenchen yang dilewati di perempat final adalah finalis Champions 4 musim setelahnya (kalah dari FC Porto pada final Champions 1986/1987, dan Real Madrid adalah finalis Champions 2 musim sebelumnya (kalah dari Liverpool pada final Champions 1980/1981). Artinya, Muenchen maupun Madrid yang dilewati Aberdeen sedang berada pada seputar era jayanya. Ini membuktikan tingkat kesulitan yang dilewati Alex Ferguson ketika membawa Aberdeen juara Winners Cup. Sebuah klub medioker di Skotlandia berhasil mengukir tinta emas di level Eropa. Info tambahan, pada era itu, Winners Cup adalah turnamen yang sangat bergengsi, karena Piala Champions (sebelum berganti menjadi Liga Champions) hanya diikuti juara liga domestik plus juara bertahan. Gambaran sederhananya, jika Anda terhindar dari United di Winners, Anda bisa bertemu Chelsea/Arsenal, jika Anda terhindar dari AC Milan, Anda bisa bertemu Juventus, jika Anda terhindar dari Barcelona karena ada di Champions, Anda bisa bertemu Real Madrid.

Komparasi dengan Jose Mourinho

Tidak seperti 2 pemain yang sering diperbandingkan, 2 pelatih relatif jarang diperbandingkan. Tetapi, setahu saya, salah satu yang sering diperbandingkan adalah Ferguson vs Mourinho. Secara head to head, Mourinho jauh lebih hebat dari Ferguson. Tapi, saya, adalah salah seorang bolamania yang keukeuh bahwa SAF lebih hebat dibanding Mourinho. Sekali lagi, saya membawa data faktual dan terukur. Memang di level domestik skor pertemuan Mourinho vs Ferguson adalah 5-1. Tetapi ada data penting yang kita tidak boleh lupa. Ferguson membawa MU 13 kali juara liga, 5 kali runner up, dan 3 kali posisi 3 di akhir musim, selama 21 musim kepelatihan beliau di Manchester United. Artinya, secara sederhana, kondisi terburuk MU adalah ketika mereka "terdampar" di posisi 3 di akhir musim. Hanya sekali dimana MU ada di posisi 3 selama 2 musim berturut-turut, yaitu 2003/2004 (klasemen : 1.Arsenal, 2. Chelsea, 3. MU) dan 2004/2005 (1. Chelsea, 2.Arsenal, 3.MU). Dan, pada era itulah Jose Mourinho datang ke Chelsea, ketika MU sedang ada pada fase terburuk. Pada musim pertama Mourinho di Chelsea, tanpa Chelseapun MU akan gagal juara karena posisi MU di akhir musim ada di bawah Arsenal. Pada musim berikutnya, Mourinho juara lagi (dan memecahkan rekor poin tertinggi). Kemudian, 2006/2007 ketika MU kembali "on the track", MU juara dengan Chelsea sebagai runner-upnya. Jadi, kesimpulan saya (sekali lagi maaf untuk penggemar Mourinho), Mourinho beruntung karena datang ke Inggris pada era dimana MU sedang "off".

Di level Eropa, Mourinho juga unggul atas Ferguson. Dalam 6 pertemuan (leg pertama plus leg kedua), skor adalah 2 kali Mourinho menang, 3 kali seri dan 1 kali Ferguson menang. Fakta menariknya adalah : Kemenangan Mourinho pertama terjadi pada musim 2003/2004 (musim dimana Jose Mourinho membawa FC Porto juara Champions pertama dan menjuluki dirinya "The Special One"). Skor di kandang Porto adalah 2-1 untuk Porto dan 1-1 di Old Trafford. Sekali lagi, ini ada di seputar era "off" dari MU. Pertemuan berikutnya terjadi pada musim 2008/2009. Ketika itu Jose membesut Inter Milan (yang diperkuat Zlatan Ibrahimovic). Hasilnya dimenangkan oleh Ferguson (skor 2-0 untuk MU di Old Trafford dan 0-0 di Giuseppe Meazza). Terakhir, di musim terakhir Ferguson di MU, yaitu 2012/2013. Mourinho bersama Real Madrid hanya mampu bermain seri 1-1 di Santiago Bernabeu dan menang 1-2 di Old Trafford. Tetapi kemenangan tersebut diwarnai keputusan wasit yang paling banyak mengundang komentar dan tanggapan negatif di media sosial, yaitu kartu merah Nani dalam kondisi Real Madrid tertinggal 1-0 dan MU sedang di atas angin untuk lolos. Artinya, satu-satunya kondisi normal pertemuan keduanya adalah 2008/2009 dan dimenangkan oleh Alex Ferguson.

Selain itu, Mourinho adalah tipe pelatih yang selalu memegang tim dengan materi terbaik. Di Porto, semua kita tahu bahwa Porto adalah tim terbaik Portugal. Pindah ke Chelsea, Roman ABramovich, sang pemilik, menggelontorkan dana besar-besaran demi membeli pemain-pemain hebat. Di Inter Milan, Mourinho mewarisi klub yang secara berturut-turut meraih scudetto di bawah Roberto Mancini (meski begitu, raihan treblenya 2009/2010 tetap terasa istimewa walaupun dengan strategi parkir bisnya). Dan di Real Madrid, secara materi Madrid hanya kalah dari Barcelona di jagat sepakbola. Pun terbukti, 3 musim di Real Madrid, Mourinho hanya mampu membawa klbu tersebut sampai di semifinal 3 kali, dan justru klub tersebut bisa juara Champions bersama pelatih lain, yaitu Carlo Ancelotti (2013/2014).

Well, itu adalah curahan hati saya tentang Sir ALex Ferguson dan kekhawatiran saya tentang masa depan klub ini. Karena kita tahu, prestasi sebuah klub sangat mempengaruhi masa depan klub karena berhubungan langsung dengan market value klub tersebut yang dipengaruhi oleh banyak hal : penjualan jresey, okupasi stadion, nilai sponsor, hak siar, dll.

Semoga, harapan saya (seperti juga harapan ratusan fans MU yang terserak di seluruh penjuru dunia) tentang kembalinya kejayaan MU akan menjadi kenyataan dalam waktu dekat.

Glory Glory Man United

.......and the Reds go marching on on on

Thank you Sir Alex

Forever MU, with love and pride

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun