Di segenap SPBU terdapat antrian panjang yang "mengular", orang saling tuding tentang kemungkinan kenaikan BBM, isu-isu seputar BBM dipolitisir, dll adalah kabar-kabar terhangat cenderung panas selama sekitar sepekan terakhir.
Saya, sebagai orang awam anak bangsa, ingin menyampaikan sesuatu yang menurut saya sederhana tapi penting.
Menaikkan BBM maupun tidak adalah tindakan yang dilematis. Secara politik rentan dipolitisir, secara ekonomi kedua-duanya berresiko berimplikasi sangat luas terhadap keberlangsungan kehidupan seluruh rakyat Indonesia.
Saya pribadi cenderung memilih harga BBM dinaikkan (baca : pengurangan subsidi). Tetapi, jelas ada syaratnya. Dan, karena otak saya terlalu sederhana untuk memikirkan, menganalisa maupun menjabarkan segala sesuatu yang rumit, maka sederhana pula yang ingin saya "jabarkan" di sini.
(Memilih untuk) tidak menaikkan BBM jelas membahayakan APBN kita, mengingat ratusan trilyun uang negara tersedot ke sana. Pun, pihak eksekutor (pemerintah) pengambil kebijakan yang menaikkan BBM akan dengan sangat-sangat mudah memakai alasan ini, yang memang secara hitung-hitungan angka adalah tepat adanya.
Sedangkan (memilih untuk) menaikkan BBM dipandang "menyentuh langsung" hampir seluruh sendi kehidupan rakyat.
Solusinya, menurut saya, adalah: keseriusan pemerintah dalam mengawal setiap program yang berkaitan dengan kompensasi dari kenaikan BBM.
Selama ini, program yang paling mudah kita ingat adalah BLT (bantuan langsung tunai). Secara sederhana, hal tersebut bisa dikatakan "sangat kompensatif" terhadap masyarakat kelas bawah secara ekonomi yang jelas sangat terdampak terhadap kenaikan BBM mengingat hampir tidak ada harga kebutuhan pokok yang tidak terimplikasi kenaikan harga BBM.
Masalahnya, menurut saya lagi, masih banyak "ketidakberesan" penyaluran BLT yang tidak dengan serius ditangani oleh pihak berwenang.
Begitu banyak kita dengar, dimana-mana di seantero negeri, orang-orang yang seharusnya menerima BLT justru tidak mendapatkannya. Pun demikian sebaliknya. Padahal, saya yakin seyakin-yakinnya, tidak dibutuhkan kejeniusan seorang profesor untuk bisa memilah dan memilih siapa saja orang yang berhak mendapatkannya. Di sinilah letak "budaya korup" negeri ini terlihat. Penyaluran BLT sangat bisa dijadikan "lahan basah" bagi para eksekutor di segala jenjang.
Padahal, sekali lagi menurut saya, sangat mudah untuk "membereskan" masalah ini.
Solusi konkret yang saya usulkan : (dengan asumsi harga BBM benar-benar naik dan program BLT atau semacamnya kembali dijadikan sebagai program kompensatif atas kenaikan BBM)
1. Negara membuat sebuah standar tentang "kepantasan penerima BLT"
2. Standar tersebut disosialisasikan secara terstruktur, sistematis dan masif (terima kasih kepada para pihak yang "menemukan" dan telah mengajari kami frase tersebut)
3. Penetapan hukuman konkret kepada para pelaksana di segala jenjang. Misal : Seorang kepala dusun atau kepala lingkungan akan mendapat hukuman konkret (bisa berupa pencopotan) jika di dusun atau lingkungannya terdapat pemutarbalikan data tentang kepantasan penerima BLT. Seorang kepala desa atau lurah juga akan mendapat hukuman serupa (bisa berupa pencopotan) jika di desa atau kelurahannya terdapat penyalahan (bukan kesalahan yang tidak disengaja) data penerima BLT. Seorang camat, kemudian bupati / walikota dan bahkan gubernurpun terancam mendapat hukuman sama jika di wilayahnya terdapat pelanggaran semacam itu. Dengan begitu, "pemerintah di segala jenjang" dipaksa untuk menyalurkan BLT dengan maksimal mulai dari pemilihan calon penerima yang dibuat secara obyektif.
4. Keberanian pemerintah (dalam hal ini pemerintah pusat) untuk mengeksekusi hukuman yang telah diancamkan pada poin ketiga.
5. Pemerintah pusat (presiden dan jajarannya) harus punya itikad baik untuk benar-benar mengawasi kebenaran penyaluran ini.
Rasanya (bukan karena saya pendukung Jokowi), pemerintah mendatang, yang dimotori oleh Bapak Joko Widodo, punya rekam jejak sangat baik untuk melaksanakan poin-poin di atas (terutama poin 3, 4 dan 5) karena telah terbukti berkenan blusukan untuk mengecek langsung tanpa pemberitahuan (sidak) dan punya rekam jejak sangat baik pula dalam hal "copot-mencopot" orang-orang yang tidak benar dan bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas.
Kesimpulan saya, sebenarnya kenaikan harga BBM adalah sesuatu yang wajar, apalagi subsidi BBM secara faktual-matematis sangat membebani APBN kita. Asal, ada program kompensatif yang mengiringinya, dan yang jauh lebih penting, terdapat keseriusan yang nyata dari pemerintah untuk mengawalnya.
Sejauh ini, saya masih percaya kepada Jokowi dalam hal ini. Jika tidak, sayapun akan berbalik arah untuk ikut berteriak mengkritisinya. Well, bukan berbalik arah mendukung Prabowo, lho.....
Salam Kompasiana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H