Mohon tunggu...
wiwid santoso
wiwid santoso Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang WNI

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Surat Cinta untuk Sir Alex Ferguson

8 September 2014   17:23 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:18 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sebelumnya, mohon maaf untuk semua kompasianer jika judul dan isi tulisan ini terlihat nyeleneh karena rasanya mustahil berharap Sir Alex Ferguson blusukan ke Kompasiana kita. Tapi, besar harapan saya, jika ada fan Manchester United yang membaca tulisan ini berkenan menyebar ke beberapa forum suporter Manchester United sambil berharap juga, siapa tahu, ada yang pintar menulis dalam bahasa Inggris agar, entah bagaimana caranya, tulisan ini sampai ke Sir Alex Ferguson tanpa kehilangan makna dan "taste" dari tulisan ini.

Yang terhormat Sir Alex Ferguson

Rasanya panjenengan sudah sangat paham sepaham-pahamnya bahwa Manchester United, bagi kami, bukan sekedar klub sepakbola. MU telah menjadi identitas bagi kami. Kami, selama ini, tidak hanya sekedar mencintai klub ini, tapi telah membanggakan, bahkan cenderung "menyombongkannya". Ya, sampai ke level sombong. Atas Liverpool, kami dengan sangat bangga plus sombong berkoar tentang trofi liga yang berjumlah 20 atas 18 milik mereka. Hal ini sangat dipicu oleh sebuah spanduk dari Liverpudlian beberapa tahun lalu yang berbunyi "Come back when you're 18", sesuatu yang rasanya memicu manyoo lovers seluruh dunia untuk membalas dengan "Come back when you"re 20". Atas City, kami membanggakan superioritas yang jauuuuuuuuuh banget dari sisi koleksi trofi. Atas Arsenal dan Chelsea, kami membanggakan hal serupa, apalagi kalau mengingat setiap mereka juara EPL di era Sir Alex, media Inggris selalu dengan lancang menggembar gemborkan sesuatu yang mereka sebut "pergeseran kekuatan".

Atas rival-rival luar Inggris pun, kami masih punya banyak hal yang "bisa disombongkan". Memang, di era modern, ada 3 (tiga) klub yang berhasil menjuarai Liga Champions format baru lebih banyak dari MU. Milan 3 (tiga) kali, 1994/95, 2002/03, 2006,07, Real Madrid 4 (empat) kali, 1997/98, 1999/00, 2001/02, 2013/14. Sedangkan Barcelona telah 3 (tiga) kali memenangkannya, 2005/06, 2008/09, 2010/11. Tetapi, sekali lagi tetapi, MU punya kebijakan yang sama sekali tidak "gila-gilaan" sebagaimana rival-rival besar Eropa. Hal ini mengandung 2 (dua) makna penting, menurut saya. Pertama, kemampuan MU mengelola klub dan meraih prestasi tanpa harus gila-gilaan menggelontorkan uang sebagaimana Madrid, Inter (masih ingat pembelian Ronaldo Brasil dari Barca?), Chelsea, atau juga "tetangga berisik" Man City. Sederhananya, efektivitas dan efisiensi di bursa transfer. Kami, dengan bangga plus sombong, berani mengklaim sebagai fan klub yang "tidak membeli prestasi", dan "apa hebatnya berprestasi dengan gelontoran uang yang sampai ke level gila?". Kedua, ini menunjukkan posisi tawar MU terhadap pemain-pemain besar dunia, atau mungkin posisi tawar Sir Alex. Adalah rahasia umum jika seorang pemain bergabung ke sebuah klub bukan sekedar masalah besaran gaji. Hal penting lain di antaranya : partisipasi pada kompetisi tertentu (biasanya Liga Champions), nama besar sebuah klub, serta siapa pelatihnya. Sering kita mendengar seorang pemain "merasa terhormat" di bawah arahan pelatih tertentu. Pada kasus ini, setahu saya, yang sering disebut adalah : Alex Ferguson, Jose Mourinho, dan Pep Guardiola. Di sinilah, letak kharisma seorang pelatih dalam hubungannya dengan negosiasi harga.

Untuk urusan trofi liga domestik, prestasi MU di tangan panjenengan bahkan luar biasa. 13 (tiga) belas trofi liga dalam 21 (dua puluh satu) musim liga domestik. Hal ini menjadi istimewa karena persaingan liga Inggris dikenal paling ketat di antara liga-liga papan atas Eropa. Perbandingannya, 13 trofi dari 21 musim akan terasa biasa jika diraih salah satu dari Barcelona atau Madrid, salah satu dari Glasgow Celtic atau Rangers, atau diraih oleh Bayern Munchen di Bundesliga.

Yang paling penting, menurut saya, adalah, ada ciri khas dari MU arahan panjenengan. Ya, betul, DRAMA. Begitu banyak hasil-hasil dramatis selama panjenengan menangani tim ini. Final Champions di musim dongeng 1998/99 hanyalah salah satu dari sekian banyak hal dramatis yang selama ini kita nikmati setelah "berjuang melawan pacuan adrenalin sepanjang laga". Semifinal champions 98/99, semifinal FA 98/99, hasil 5-3 atas Spurs setelah tertinggal 0-3 di jeda babak pertama, sekian banyak hasil kemenangan 3-2 setelah tertinggal 0-2, adalah ciri khas MU yang saya menyebutnya "esensi terpenting dari MUnya Ferguson". Plus lagi data-data statistik gila semisal : hanya MU yang bisa memenangkan EPL setelah melewati 2 partai pertama liga tanpa kemenangan, dan itu terjadi 3 kali selama EPL, musim 92/93 bahkan MU melewati 2 partai pertama dengan kekalahan, ya, kekalahan beruntun, tapi di akhir musim meraih trofi EPL di tangan. Juga, selama era EPL, pernah kalah di partai liga dengan defisit 5 gol tapi hanya 1 yang berakhir dengan posisi runner-up (2011/2012). Pada kesempatan lain, musim 95/96 kalah 0-5 dari Newcastle United, musim 1999/00 kalah 0-5 dari Chelsea, tetapi kedua-duanya berakhir dengan trofi EPL untuk MU. Drama-drama berkelas membuat jagat sepakbola tidak boleh menyimpulkan MU kalah sebelum peluit panjang berbunyi dan tidak boleh mencoret MU dari persaingan sebuah kompetisi sebelum kompetisi benar-benar berakhir.

Dulu, sekitar tahun 2001/02, seorang wartawan Eropa pernah berkata, "Saat ini, hiburan tertinggi dalam sepakbola adalah ketika kita menyaksikan 10-15 menit terakhir Manchester United bermain, dan dalam posisi mereka tertinggal". Sebuah kalimat yang menurut saya "sangat menggambarkan Manchester United". Ketika saya (fan MU sejak jaman Eric Cantona) ditanya oleh seorang teman : "kenapa klub ini bisa seperti ini ya, ketinggalan 2 atau 3 gol tapi sering bisa berbalik menang?", jawaban saya hanyalah "karena ini adalah Manchester United".

Sir, saya yakin juga bahwa panjenengan lebih paham "rasa sakit" dari seluruh penggemar MU ketika MU berada di posisi seperti sekarang. Beberapa fan klub rival bahkan mendramatisir suasana dengan menyebut bahwa ini hanyalah siklus wajar sebagaimana Liverpool yang pernah berjaya, kemudian menurun, tenggelam, dan dilupakan. Sumpah, saya takut hal itu terjadi.

David Moyes, suksesor panjenengan, sejatinya bukanlah pelatih buruk, melihat rekam jejak stabilitas prestasi tim sekelas Everton yang pernah ditanganinya. Louis van Gaal, bahkan lebih besar dari Moyes, mungkin bisa kita sandingkan dengan Mourinho maupun Guardiola atau juga Ottmas Hitzfield mengingat Van Gaal juga bergelimang prestasi termasuk juara Champions 1994/95 bersama Ajax Amsterdam. Tetapi, mereka gagal menampilkan MU yang sama. Di awal musim ketika Moyes bertugas, Alan Shearer pernah mengucapkan kalimat yang menyakitkan kami, tetapi setelah ditelaah ternyata ada benarnya. Dia berkata, "Ternyata MU tanpa Ferguson hanyalah sekumpulan pasukan biasa". Brendan Rodgers juga pernah berkata setelah partai MU vs Chelsea di era Moyes, "Pada menit sekitar 80, rasanya seisi Old Trafford tidak berani berharap terjadinya gol telat". Dua orang tersebut, secara tidak langsung, telah mengakui keluar biasaan panjenengan.

Sir, panjenengan memang bukanlah pelatih yang menemukan pola atau taktik tertentu sebagaimana Helenio Herrera yang diklaim sebagai penemu Catenaccio, atau Rinus Michels yang dianggap menemukan Total Footbalnya Ajax pada era 70a, atau Pep Guardiola yang dianggap memegang hak paten atas Tiki Takanya Barcelona. Juga bukan seperti Vicente Del Bosque yang lumayan menggegerkan jagad pertaktikan dengan False Nine-nya.

MUnya panjenengan pernah dikenal dengan "fluent football" oleh media Eropa. Tapi itu, menurut saya, bukanlah taktik atau strategi baru, tetapi sebuah gairah baru. Gairah merangsek hingga akhir plus keyakinan bahwa gol penyeimbang atau bahkan kemenangan bisa hadir bahkan pada detik terakhir laga. Dan seluruh tim, seperti menyatu dalam gairah tersebut. Itu seperti sebuah "mentalitas kolektif" dari tim secara keseluruhan. MU juga, setahu saya, tidak pernah benar-benar mengalami ketergantungan yang sangat tinggi pada seorang pemain, bahkan pada Cristiano Ronaldo, satu-satunya pemain MU yang pernah merebut gelar individual pemain terbaik dunia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun