Sejak tahun 1990-an Krisis nuklir Korea Utara telah menyebar ke banyak negara, tetapi dunia internasional awalnya tidak mempercayai berita tersebut, Karena kurangnya transparansi dan bukti yang jelas sehingga banyak negara dan Badan Internasional meragukan atau tidak sepenuhnya mempercayai iklim tentang pengembangan senjata Nuklir Korea Utara. Pada tanggal 23 Desember 2022, Korea Utara secara resmi mengumumkan pengaktifan kembali program nuklirnya. Pengumuman ini sangat mengejutkan masyarakat internasional karena merupakan langkah besar yang jelas menunjukan bahwa krisis nuklir semakin parah (Novitasari, 2024). Pada saat yang sama, Korea Utara mengalami krisis energi yang parah, yang diperburuk oleh kekurangan bahan bakar dan listrik. Pyongyang dalam situasi ini mengatakan bahwa:"Korea utara terpaksa membuka kembali fasilitas nuklir untuk memenuhi kebutuhan energi domestik dan sebagai langkah pertahanan”. Korea Utara mengklaim bahwa kepemilikan dan pengembangan senjata nuklir merupakan hak mereka untuk melindungi kebebasan dan keamanan bangsa serta mencegah adanya ancaman dari luar.
Pengumuman Korea Utara memicu banyak reaksi di seluruh dunia. Banyak negara dan Lembaga Internasional, termasuk PBB mengencam dan menerapksi sanksi untuk mendoorng Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya. Upaya diplomatik dilakukan untuk mengatasi krisis ini temrasuk perundingan enam pihak yang melibatkan Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, China, Rusia, dan Amerika Serikat dengan tujuan untuk mencapai denukrilisasi dan mengurangi ketegangan di kawasan. Korea Utara percaya bahwa memiliki senjata nuklir adalah hak negara untuk mempertahankan kebebasan bangsa, keamanan negara, dan mencegah perang (Putra, 2024). Banyak hal penting tentang posisi Korea Utara dan tindakn yang diambilnya terkait dengan senjata nuklir. Pada tanggal 10 Januari 2003, Korea Utara secara resmi mengumumkan untuk menarik diri dari perjanjian Non Proliferasi Nuklir (NPT), yang didirikan untuk mendorong denuklirisasi dan mencegah penyebaran senajata nuklir. Keputusan ini mengejutkan Dunia Internasional dan dianggap sebagai langkah penting menuju eskalasi konflik nuklir.
Korea Utara menyatakan pada tahun 2005 bahwa Negara tersebut memiliki senjata Nuklir aktif. Penguman tersebut menunjukan bahwa Korea Utara memiliki kekuatan nuklir dan telah mengembangkan senjata nuklir yang siap untuk digunakan. Menurut pengakuan yang dibuat oleh negara Korea Utara, senjata nuklir tersebut digunakan semata-mata untuk kepentingan militer dan pertahanan negara, bukan untuk kepentingan publik atau perdamaiaan global. Pengakuan ini menunjukan bagaiamana Korea Utara menekankan bahwa senjata nuklir merupakan pertahanan alat pertahanan utama negara tersebut terhadap ancaman dari luar. Pada rahun 1956, Korea Utara menadatangani perjanjian dengan Uni Soviet mengenai kerjasama dalam penggunaan damai energi nuklir. Perjanjian ini menandai awal mula program nuklir negara Korea Utara dengan tujuan yang yaitu bersifat damai seperti pengembangan energi nuklir untuk kebutuhan domestik (Tirtalaksana, Hardiwinoto, & Idris, 2016)Meskipun program nuklir Korea Utara dimuali dengan kerjasama damai, namun program ini kemudian berkembang menjadi fokus pada pengembangan senjata nuklir yang memicu kekhawatiran internasional.
Dalam hal pengunduran diri negara Korea Utara dari NPT dan klaim senjata nuklir aktif memicu adanya reaksi Internasional yang luas termasuk sanksi, kencaman, dan upaya diplomatik untuk mengatasi adanya ancaman yang ditimbulkan oleh program nuklir Korea Utara. Komunitas Internasional berusaha melalui berbagai forum seperti perundingan enam pihak dan sanksi PBB, untuk menekan Korea Utara untuk menghentikan program nuklirnya dan mencapai kesepakatan denuklirisasi. Pada tanggal 9 Oktober 2006, uji coba nuklir pertama Korea Utara dilakukan di Pantai Timur Korea Utara yang dinyatakan berhasil. Dengan kekuatan ledakan 4,2 Mb (Magnitude Body Wave), ledakan yang terjadi menunjukan bahwa uji coba tersebut adalah ledakan nuklir. Negara-negara tetangga Korea Utara seperti, Korea Selatan dan Jepang langsung menentang uji coba nuklir tersebut. Kedua negara tersebut sangat khawatir tentang potensi dampak uji coba nuklir terhadap stabilitas regional.
Uji coba nuklir ini dianggap sebagai ancaman besar terhadap stabilitas regional, terutama di Asia Timur dimana banyak negara memiliki kepentingan ekonomi dan kepentingan strategis. Kemungkinan konsukuensi militer dan politik dari kemampuan nuklir Korea Utara meningkatkan adanya ketegangan. Uji coba niklir Korea Utara melanggar resolkusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) yang melarang negara-negara anggota melakukan uji coba nuklir dan mengembangkan senjata nuklir. Hal ini dianggap sebagai pelanggaran besar terhadap hukum internasional dan upaya global untuk mencegah adanya proliferasi senjata nuklir. Uji coba nuklir tersebut dikutuk keras oleh Komunitas Internasional termasuk PBB dan negara-negara besar. Mereka yang mengencam meminta Korea Utara untuk segera menghentikan aktivitas nuklirnya dan kembali kedalam kerangka Perjanjian Non-Proliferaso Nuklir (NPT). PBB mengencam akan melakukan tindakan lebih lanjut terhadap Korea Utara jika negara tersebut tidak menghentikan program nuklirnya (Khaliq, 2023) Ini termasuk kemungkinan adanya sanksi tambahan atau tindakan diplomatik lainnya untuk memaksa negara Korea Utara untuk mematuhi resolsui DK-PBB.
Meskipun Korea Utara menghadapi kecaman internasional dan ancaman tindakan dari PBB, mereka terus melanjutkan program nuklir mereka. Pada tahun 2008, sebagai bagian dari perundingan dan tekanan internasional, Korea Utara akhirnya menyetujui langkah-langkah untuk menghentikan program nuklirnya, termasuk beberapa tindakan untuk menuruti tuntutan masyarakat internasional.Tahun 2008 menandai awal dari beberapa kesepakatan dan perundingan internasional yang bertujuan untuk mengatasi program nuklir Korea Utara, termasuk perundingan enam pihak yang melibatkan Korea Utara, Korea Selatan, Jepang, China, Rusia, dan Amerika Serikat. Proses ini bertujuan untuk mencapai denuklirisasi dan mengurangi ketegangan di kawasan. Teknologi peluru kendali dan krisis nuklir di Asia Timur semakin rumit setelah peluncuran roket Korea Utara pada 5 April 2009. Meskipun Korea Utara mengklaim peluncuran tersebut sebagai upaya penempatan satelit, tanggapan global menunjukkan kekhawatiran bahwa peluncuran tersebut merupakan bagian dari strategi militer yang lebih luas, dengan potensi pengembangan peluru kendali dengan jangkauan yang lebih luas. Dengan tindakan ini, ketegangan di wilayah tersebut meningkat, dan upaya internasional untuk mengatasi kemungkinan ancaman dari peluru kendali Korea Utara meningkat.
Dikutip dari harian Republika (harian republika,14:2009), Korea Utara kembali melakukan adanya peluncuruan rudal pada bulai Mei 2009 dimana peluncuran tersbeut yang diluncurkan oleh Korea Utara diatas negara Jepang yang diklaim Korea utara hanya sebagai pengecekan cuaca. Sehingga hal ini menjadi sebuah bentuk kemarahan besar dalam dunia Internasional disebabkan karena adanya hal tersebut yang dianggap sebagai bentuk ancaman besar bagi perdamaian dunia Negara lain. Hal ini membuat masyarakat untuk meminta adanya Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-bangsa (DK-PBB) agar segara untuk emnjatuhkan sanksi kepada Korea Utara sesuai dengan ketentuan yang ada di Bab 7 (Tujuh) Piagam PBB yang mengatur mengenai “ancaman terhadap ketentraman” dan “tindakan untuk melakukan agresi”. Akhirnya, aksi uji coba nuklir tersebut berujung pada diiisolasikannya Korea Utara untuk dialporkan oleh Perwakilan Energi Atom Internasional terkait dengan uji coba nuklir yang dianggap sudah menciptakan adanya konflik keamanan yang serius bahkan tidak hanya dikawasan Asia Timur namun juga adanya ancaman bagi seluruh masyarakat Internasional.
Upaya PBB Dalam Menyelesaiakan Proliferasi Uji Coba Nuklir Korea Utara
PBB menggunakan tindakan diplomatik, sanksi ekonomi, dan penegakan hukum internasional dalam upaya Gambar nya untuk menghentikan proliferasi nuklir dan uji coba Korea Utara. Tujuan PBB adalah untuk menggabungkan tekanan internasional dengan upaya diplomatik untuk mencapai solusi yang dapat mengurangi ketegangan dan mengatasi ancaman yang ditimbulkan oleh program nuklir Korea Utara. Tujuan dari upaya ini adalah untuk meningkatkan keamanan dunia dan mencegah penyebaran senjata nuklir, meskipun ada banyak tantangan. Sebagai tanggapan atas uji coba nuklir dan peluncuran rudal Korea Utara, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK-PBB) telah mengeluarkan sejumlah resolusi yang memutuskan untuk menjatuhkan sanksi terhadap negara tersebut. Pembatasan perdagangan, larangan ekspor dan impor, dan pembekuan aset adalah beberapa dari sanksi ini.Melalui komite-komite khusus dan laporan dari negara-negara anggota, DK-PBB memantau dan menilai kepatuhan Korea Utara terhadap resolusi sanksi.
Untuk mencapai solusi diplomatik, PBB mendorong pembicaraan dan perundingan antara Korea Utara dan negara lain. Negara-negara penting seperti Amerika Serikat, China, Jepang, dan Korea Selatan sering terlibat dalam upaya diplomatik ini. PBB juga mendukung proses yang dikenal sebagai Enam Pihak, atau Percakapan Enam Pihak, yang melibatkan Korea Utara, Korea Selatan, Amerika Serikat, Jepang, China, dan Rusia. Tujuan dari proses ini adalah untuk mengatasi program nuklir Korea Utara melalui diplomasi. PBB mendukung dan memperkuat hukum internasional seperti NPT untuk mencegah proliferasi senjata nuklir dan mendukung perjanjian non-proliferasi global. PBB bekerja sama dengan IAEA untuk memantau dan mengevaluasi program nuklir Korea Utara, meskipun akses ke fasilitas nuklir Korea Utara sering dibatasi.
PBB juga berusaha menangani dampak sanksi terhadap penduduk sipil Korea Utara, termasuk memberikan bantuan kemanusiaan dan mendapatkan akses ke makanan dan minuman dasar.PBB sedang bekerja untuk memperkuat sistem verifikasi dan monitoring yang terkait dengan program nuklir Korea Utara untuk memastikan bahwa program tersebut tidak berkembang lebih jauh dan bahwa Korea Utara mematuhi kewajibannya terhadap perjanjian internasionalnya.PBB melindungi hukum internasional dan mendorong tindakan terhadap pelanggaran, termasuk penerapan sanksi dan resolusi di pengadilan internasional.
References
Khaliq, R. U. (2023, Juli 20). Korut:Semenanjung Korea di Dorong Ambang Perang Nuklir . Retrieved from Kompasiana: https://www.aa.com.tr/id/dunia/korut-semenanjung-korea-didorong-ke-ambang-perang-nuklir/2931341
Novitasari, D. (2024, Agustus 30). Ancaman Nuklir Di Semenanjung Korea Bagi Perdamaian Dunia . Retrieved from kompasiana: https://www.kompasiana.com/destin74511/66d12bb534777c343d177de7/ancaman-nuklir-di-semenanjung-korea-bagi-perdamaian-dunia
Putra, A. R. (2024, Agustus 11). Ancaman Nuklir Di Semenanjung Korea Bagi Perdamaian Dunia . Retrieved from Kumparan : https://kumparan.com/apriadi-rama-putra-skd/ancaman-nuklir-di-semanjung-korea-bagi-perdamaian-dunia-23In1qUB6Lf/1
Tirtalaksana, C. R., Hardiwinoto, S., & Idris, M. (2016). Tanggung Jawab Dewan Keamanan PBB dalam Menyikapi kasus Senajata Nuklir Korea utara dan Implikasi Terhadap Masyarakat Internasional . Diponogoro Law Review, 6.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H