Mohon tunggu...
Cantika Muhrim
Cantika Muhrim Mohon Tunggu... Administrasi - Storyteller

Pegiat Kemanusiaan dan Perubahan Sosial

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Cinta Pertama Tak Pernah Mati

15 Januari 2020   16:43 Diperbarui: 4 April 2020   02:43 607
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ayah, guardian angel yang Allah hadirkan sebagai pelindung untuk setiap hati anak. Figur yang menjadi role model dalam keluarga. Sosok yang tidak pintar dalam hal menyampaikan perasaan, namun menjadi  yang paling paham isi hati anaknya. Ayah tameng utama ketika sang anak dalam ancaman, Ayah adalah setepat tepatnya tempat untuk membenamkan kepala, labuhan terbaik ketika di belenggu banyak masalah.

bagi anak perempuan ayah adalah cinta pertama. Itulah sebabnya ketika perempuan ditanya perihal tipekal calon suami mereka seperti apa , maka jawabannya adalah yang seperti ayah.

 Kira kira begitu sosok figur seorang ayah menurut kebanyakan orang.

Demikian ayah ku. Kata bunda ayahku adalah orang yang sangat baik. Ya, aku akan mendefinisikan ayah berdasarkan cerita bunda. Ayahku meninggal ketika aku masih berusia 2 tahun 3 bulan. Usia yang terlalu muda untuk otakku agar bisa menyimpan setiap kenangan bersama ayah.

Malaikat penjaga 

Ayahku seorang pekerja keras, ia selalu mempersembahkan yang terbaik untuk keluarga, ayah memberikan segalanya, hingga kami tak merasa kekurangan apapun. Kami bahkan tidak pernah merasakan sakit akan kehilangan karena ayah selalu ada.

 Ayahku juga seorang petualang yang hebat. Ia seorang pendaki. ia telah menjelajahi banyak tempat , mendaki banyak gunung, menikmati banyak senja, laut & ombak  yang berbeda. Setidaknya sebelum berpulang ayahku telah menggores banyak kisah hebat.

" kk tau, dulu waktu kk kecil, sebelum berangkat kerja ayah selalu ingetin bunda jangan sampai lupa beri minum kk madu, jangan lupa kasih kk buah, jangan sampai kk telat makan. kk harus tumbuh jadi anak yang cerdas. " kata bunda memulai kisahnya.

" ayah adalah orang yang sangat detail, dalam memperhatikan tumbuh kembang kk" lanjut nya tersenyum

Aku masih terkesima mendengar cerita bunda , imajiku mengembara menelusuri lorong-lorong waktu mencari sosok ayah yg sedang bunda ceritakan itu.

"waktu itu usia kk belum genap setahun" bunda melanjutkan ceritanya

" kk demam tinggi, bunda panik , ayahmu masih dikantor. Tak ingin gegabah dan mengambil langkah salah, bunda menelfon ayah. Jarak kantor ayah dari rumah itu cukup jauh , untuk kecepatan normal sebuah mobil kira kira membutuhkan waktu 25 menitan untuk bisa sampai. Hari itu belum juga 15 menit setelah tutup telefon , ayah muncul dibalik pintu dengan wajah panik. Bunda sampai bingung kenapa secepat itu ayah datang. Tapi kak, begitulah ayah  ketika mendengar kabar kurang baik tentang kamu.

"Ayah benar benar malaikat penjaga untuk kita sayang".mata bunda mulai berair.

" kk tau, setelah pulang dari klinik, ayah benar benar tidak tidur semalaman. Masih dengan pakaian kantor nya ayah mendekap kk hangat, mengulang ulang mantra penguat untuk putri kecilnya . cepat sembuh sayang , cepat sembuh sayang, cepat sembuh sayang . ucapnya dengan mimik penuh belas kasih sambil ngelus kepala kk" kali ini bunda menatapku tegar

" ayah hebat kan sayang, ayah selalu ada untuk kk, selalu ada untuk bunda, selalu ada untuk kastil kecil kita. Ya, Rumah minimalis ini sering disebut ayah sebagai sebuah kastil, bunda berperan sebagai ibu ratu, & kamu adalah seorang puteri."

bunda merengkuh tubuh ku " ayah membuat hidup kita bak dongeng disebuah Negeri yang bahagia. Ayah merawat kakak dengan sebaik baiknya. harapan ayah kk tumbuh jadi anak yg cerdas. kk jangan lemah , kk harus kuat. Ayah memang tidak lgi bersama kita, tapi ayah tidak pergi sayang, ayah ada kok, hanya kita beda alam saja sekarang." 

Aku masih terdiam, imajinasiku masih berkelana di lorong lorong waktu mencari sosok ayah yg bunda ceritakan. Belum kutemukan, aku berhenti di persimpangan dimensi. Tiba tiba kata kata bunda barusan mengiang ngiang kembali. Ayah ada sayang , ayah ada. Hanya ktia beda alam.

Air mata ku jatuh, berdamai dengan hati. Membenarkan. ayahku ada, dia sedang melihat kesedihanku sekarang, Dia bahkan sedang memelukku erat. Namun ia, kita beda alam.

Kali ini giliran aku yg menatap bunda tegar "bunda ceritakan, kenapa ayah meninggal? bagaimana bunda saat itu? bunda menangis?, lalu aku? apa aku nangis juga?" tanyaku pada bunda beruntun. Ada sesak yg kutahan. Tapi ucapan bunda seperti mantra bagiku, aku harus kuat, aku jangan lemah. Jangan lemah.

Perpisahan tersiap

Minggu pertama dibulan februari, sekitar jam 19 WIT ayah dilarikan ke rumah sakit.

Ayah jatuh sakit beberapa hari yg lalu. beberapa bulan terakhir memang ayah sering mengeluh tentang dada nya yg seringkali sesak. Tapi selalu menolak ketika diajak bunda periksa ke dokter, alasannya ayah hanya kedinginan saja karena tiap hari pulang malam. Ketika sesak nya mulai muncul ayah hanya menyuruh bunda untuk mengompres dada nya . Perlahan pun sakit nya hilang, dan ayah beraktifitas seperti biasa. Tetapi, Makin kesini sesak itu makin sering muncul , puncaknya malam itu.

Malam itu, langit terlihat sangat bahagia , berbanding terbalik dengan suasana kamar  dalam sebuah kastil.

Tangan kiri ayah menekan kuat dada nya, jelas sekali rasa sakit yang tertahan. Wajah ayah pucat sekali, bulir bulir keringat bermunculan di dahinya, walaupun ruang kamar full ac 20 derajat. Bunda menangis, tangan kiri nya mengusap usap lembut kepala ayah seperti sihir penguatan. Sedang tangan kanannya sibuk memencet tombol tlfn berusaha menghubungi siapapun yg bisa membantu. 

Dipojok kiri tempat tidur, tepat disamping ayah, Dhiera kecil tidur pulas sekali, tidak mengerti lakon apa yang sedang dimainkan semesta. Tanpa paham begitu berarti nya malam itu, karena malam itu adalah malam terakhir ayah tidur disampingnya.

Beberapa saat, mobil yang menjemput ayah datang, ayah dibawa segera ke rumah sakit.

Malam itu juga, ayah dipasangi masker oksigen, tangannya dipasang jarum infus. Tubuh ayah terlihat lemah sekali, tapi mata ayah masih berbinar seperti biasa nya.

4 hari berlalu dan ayah masih dirawat, berat badan nya turun signifikan.  " bunda jangan lupa kasih dhiera madu, jam makannya diperhatikan"  kalimat itu masih rutin ayah ucapkan walaupun dalam keadaan sakit. Yang hanya dibalas bunda dengan anggukan disertai senyum termanis miliknya.

Ayah menolak bertemu putrinya dhiera. Katanya tidak ingin mengotori imajinasi indah putri nya dengan hal hal menyakitkan yang akan mempengaruhi psikis sang putri.

" ayah akan sembuh, dan akan ketemu kk lgi kok bun" begitulah jawabannya ketika disodorkan tawaran untuk bertemu sang anak.

5 hari berlalu. Tak ada yg beda, hanya kondisi ayah saja yg semakin parah. Sanak saudara, & teman teman ayah datang mengunjunginya dengan berbagai macam jenis herbal & ramuan yang dipercaya dapat menangkal penyakit yang sedang diderita ayah. Ayah menerima semuanya dengan senyum, tak ragu mencobanya dengan tangan terbuka. Siapa tahu bisa sembuh kan? Begitulah katanya sambil menegak pil demi pil, jamu demi jamu, tak peduli seberapa pahitnya.

Suatu hari di malam yang tenang. Hanya ada bunda & ayah. Mereka berbincang serius.

" bun, jangan nangis ya, ayah akan bertahan. demi bunda , dan untuk dhiera , puteri kecil kita.  Ayah akan sembuh, masih banyak hal yg harus ayah lakukan. Masih ada dhiera, dongeng dongengnya tak boleh mati, ayah akan bertahan, menjadi raja terbaik unntuk dunia fantasi nya. Ayah masih ingin bermain main dengannya di kastil kecil milik kita, dongeng putri rapunsel di ujung menara kastil pun belum ayah selesaikan bundaaa, , ayah masih ingin menikmati peluk cium nya ketika menyambut ayah pulang didepan pintu. ayah menangis di pelukan bunda. "ayah masih mau mengantarnya saat dia masuk sekolah nanti bun." ucap ayah sendu sekali.

Sesak sekali , bunda tak sanggup mengucap satu katapun. Hancur sekali, hatinya remuk. Dan dia tau, perasaan yang sama juga sedang dirasakan suaminya.

Tangannya mencengkram erat baju ayah, Sambil menghela napas perlahan berusaha menguatkan diri sendiri. Bunda mengeluarkan lagi mantra penguatnya. " bisa ayah, bisa, mari berjuang" bahu bunda berguncang pelan, menangis tanpa mengeluarkan suara. Langit seolah juga berduka malam itu , menyaksikan dua insan yang saling mencintai menangis menguatkan.

6 hari berlalu.  Waktu menunjukan pukul 6 sore. Diruangan dokter yang merawat ayah, bunda dan salah satu sahabat ayah mba evi sedang berbincang serius.

Memperhatikan detail penjelasan dokter tentang kondisi terkini ayah.

Ada tumor di hati pasien. Ada cairan di lambungnya juga. Pasien mengalami banyak komplikasi. Penyakit yang sudah lama sepertinya. Namun tidak pernah mendapatkan penanganan. Skarang stadiumnya sudah lanjut, susah disembuhkan. Pengobatan terbaik sudah diberi, selebihnya ada pada kehendak tuhan .

Bunda menghela nafas dalam, ada hancur yang tidak bisa dijelaskan ketika mendengar pernyataan dokter barusan. Tapi ia sudah berjanji pada diri sendiri untunk tetap kuat dan tidak boleh menangis. Bunda terlihat tegar sekali, tangannya menggenggam tangan mba evi erat. Hanya dari tatapan mereka berdua saling menguatkan.

Selesai konsultasi bunda dan mba evi menyempatkan diri untuk solat maghrib di mushola rumah sakit. Memanjatkan doa kepada Allah dengan aamiin paling serius untuk kesembuhan ayah.

Disela sela zikirnya bunda termenung, Belum cukup 3 tahun mereka menikah tapi telah diguncang cobaan seberat ini. Wajah dhiera anak satu satunya mereka tergambar jelas. Bagaimana nasib anak itu nanti ya ketika harus kehilangan ayahnya. Bagaimana putri kecilnya akan besar tanpa belas kasih seorang ayah. Air matanya mengalir lagi, kata kata dokter tadi sore terngiang ngiang dikepalanya. Ah, membayangkan seandainya sang suami akan pergi meninggalkannya saja otaknya hampir pecah. hati kecilnya berbisik. Allah, sembuhkan suami nya itu.

" nilam, yuk. Jangan lama lama disini , dikamar abang sendiri, hanya ditemenin mama." panggilan mba evi membuyarkan lamunan bunda.

Mereka bergegas menuju kamar dimana ayah dirawat. Ketika membuka pintu ruang rawat mereka disambut dengan senyuman ayah. Senyum pertama ayah setelah terkulai berhari hari dirumah sakit.yang ternyata juga adalah senyum terakhir yang ayah tunjukan.

ayah sudah tidak bisa bicara lagi. Ia hanya bisa berkomunikasi dengan isyarat mata & mimik wajah saja. Badan badan nya pun sulit untuk digerakan. Otot ototnya mengendur, kulitnya perlahan menggosong karena terlalu banyak mengonsumsi obat obatan, tulang tulangnya menonjol di permukaan kulit. Penyakit itu mulai menyedot energinya hingga yang tersisa hanyalah jiwa dalam tubuh yang lemah.

Bunda membalas senyum ayah, kemudian berjalan mendekati ranjang & mencium dahi ayah, lalu berbisik ke telinganya. Seperti biasa kalimat mantra penguat, " kuat ya sayang" ayah merespon kalimat itu dengan sedikit anggukan, kemudian tertidur dalam pelukan bunda.

Mba evi izin pamit. ia harus segera ke bandara. ada pekerjaan kantor yang mengharuskan mba evi ke luar kota hari itu juga. Sebelum pergi ia mengelus elus tangan sahabatnya yg sedang tertidur, melihat lama wajah sahabatnya yang tampak pucat sekali.  Berat rasanya meninggalkan sahabatnya dalam kondisi demikian. Tapi pekerjaan mengharuskannya untuk tetap pergi.

"mba tinggal bentar ya nilam, besok mba langsung balik dengan pesawat sore insyaAllah. Jaga bang ferdi baik baik, kamu harus kuat demi dia dan dhiera" pesan mba evi sebelum pergi yang dibalas bunda dengan senyuman.

Mereka berpelukan sebelum akhirnya berpisah.

                                                                                                                                          ******

Di sebuah kamar tampak seorang nenek begitu sabar sedang mebujuk cucu nya untuk  tidur .sudah dua jam anak itu terus menangis. Susu formula yg diberi pun tak diminumnya.

" ayah mana nek " tanya anak  itu cadel. " kk mau ketemu ayah" lanjutnya sesegukan.

 " ayah lgi di dokter sayang, ayah makan banyak permen makanya gigi ayah sakit"  jawab sang nenek seadanya.

Beberapa jam kemudian dhiera kecil tertidur di pangkuan neneknya. nenek memandang wajah dhiera dalam. " masih terlalu kecil ya Allah, dia masih butuh ayahnya." Wajahnya yang bak malaikat itu terlihat pulas sekali. air matanya jatuh, mengingat short masage yg dikirim nilam anaknya bbrp menit yg lalu.

mah, keadaan mas ferdi makin parah, berdoa aja ya ma. Semoga Allah masih mengizinkannya bertahan, ikhtiar terbaik sudah dilakukan, Skrg kita tawakal saja kepada Allah. Jaga kk bentar ya ma. Titip cium dari bunda sama ayah untuk nya.

                                                                                                                                            ******

Grimis turun. Waktu menunjukan pukul 23:00 . ayah sesak napas lagi, kali ini terlihat lebih sakit dari sebelumnya. Tatapannya kosong, ayah taklagi mengenali siapapun , tak lagi merespon apapun baik dalam bentuk pergerakan ataupun isyarat mata. Ayah tak lagi bisa melakukan apapun selain napasnya yang naik turun. Ayah sekarat. Sulit untuk percaya, tapi itulah kenyataannya.

Keluarga dan teman teman dekat ayah mulai berdatangan. Ada yg mengaji disisi ayah, ada yg hanya menatapnya iba. Sedang bunda tetap disisi ayah menuntun nya mengucapkan lafadz allah. Pelan, tapi ayah mengikutinya. Air mata mengalir di pipi ayah, tiba tiba nafasnya tak lagi naik turun, Matanya tak lagi berkedip, ayah terdiam.

Dan ya, Ayah pergi pada malam yang mendung, semesta seolah berduka malam itu.

Hati dan organ organ lain tak lagi bisa menyokong aktifitas tubuhnya. Pada akhirnya, jantung ayah berhenti berdetak dan beliau menghembuskan nafas terakhir.

Ayah pergi dengan sangat damai, mengucap lafadz syahadat sendiri, melipat tangan layaknya gestur orang ingin solat, ayah menutup mata seperti seorang bayi yang sedang tertidur pulas. Ayah tak lagi merasakan sakit.

Bunda terlihat lebih tegar. Diambilnya telfn genggam untuk mengubungi mba evi. Rasanya belum siap untuk memberi kabar ini. Mba evi adalah orang yang selalu mendampinginya sejak pertama sang suami dirawat.

" hallo nilam, ada apa? Mas ferdi gmn keadaan?"  mulut bunda seolah terkunci tak bisa berkata apa apa mendengar suara mba evi di ujung tlfn.

" mas ferdi udah ngga ada mba" air mata perlahan meleleh di pipi nya

Rasanya mengucapkan satu kalimat itu, kepergian ayah menjadi begitu nyata. Seolah kejadian tadi, bukan hanya sekedar mimpi buruk yang akan berakhir ketika membuka mata.

Terdengar suara tangis mba evi pecah di ujung tlfn " mba pulang pagi ini"  lanjutnya disela sela tangis.

Jenazah ayah siap dipulangkan ke rumah duka. Bunda mengapus air matanya. Mengeluarkan lagi mantra penguat. Kali ini bukan untuk suami nya, tapi untuk dirinya sendiri. " saya harus kuat , demi dhiera anak kita mas" bisiknya dalam hati.

.......................................................................................................................................................................................................................................................................................

Selesai pemakaman

Teman dan sanak saudara pulang satu satu dengan ucapan bela sungkawa. Bunda terdiam di pojok kamar. Tatapannya kosong. didepannya dhiera kecil sedang bermain boneka pemberian sang ayah.

Teriris hatinya. Anak itu bahkan belum paham apa yang terjadi hari ini. Sedari tadi dia sibuk bermain dengan teman temannya, tawa nya lepas sekali. Tak ada beban.

Tiba tiba terdengar ketukan pintu dari luar. Mba evi yang datang. " eh mba, masuk mba" ucap bunda lirih disertai senyum yang dipaksakan.

Mba evi langsung  menghamburkan diri dalam pelukan bunda. Spontan tangis mereka pecah.

 " kita sdh melakukan usaha terbaik nilam, ini kehendak Allah. Bang ngga ngerasain sakit lagi yakan , bang udah tenang insyaAllah." Bisik mba evi lembut di telinga bunda.

Senyum melebar di wajah mereka berdua. Masih ada cerita yang harus dilanjutkan. Ya, dongeng dongeng putrinya harus tetap berlangsung. Kastil tak boleh runtuh hanya karena sang raja pergi. Masih ada putrinya. sang putri pun masih membutuhkan belas kasih sang ratu.

CINTA PERTAMA TAK PERNAH MATI

Matahari masih anteng antengnya bersinar, aku berdiri di atas gundukan tanah yang sudah mendekap orang favoritku, sambil menaburkan bunga.

Tempat itu asri, teduh karena dinaungi sebatang pohon besar yang melindungi gundukan tanah itu dari hujan dan terik matahari. Hari ini adalah delapan tahun kepergian ayah.

Dhiera datang yah

Membawa berita gembira, bahwa tahun ini adalah tahun dhie lulus dan akan melanjutkan sekolah ke jenjang SMP.

Membawa foto foto liburan bersama bunda. Membawa dongeng dongeng baru kesukaan dhie. Membawa cerita petualangan dhie bersama teman teman.

dhie kangen yah

Delapan tahun berlalu, dan ayah akan selalu menjadi orang terhebat yang dhie punya, walaupun dhie mendengarnya hanya dari cerita bunda. Ayah adalah cinta pertama dhiera, dan dhie tau , cinta pertama tak pernah mati. Ayah selalu ada dan menyaksikan tiap tualang yang dhie lalui.

Jangan jauh jauh dariku ya yah. Masih banyak hal yang harus dhie lalui. Dhie masih butuh ayah. Doa terbaik selalu dhie panjatkan untuk ayah dan bunda.

" kak, balik yuk, bentar lagi sore" bunda berjalan ke tempat ku berdiri

Aku tersenyum, kita berdoa sebentar dan bergegas pulang.

Dari kejauhan, aku menoleh melihat ke arah makam ayah. Nanti dhie balik dengan cerita yang lebih menarik lagi ya yah, dhie sayang ayah.

.......................................................................................................................................................................................................................................................................................

                                                                                                                                                  END

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun