Penting untuk diingat bahwa pemberantasan korupsi memerlukan komitmen yang kuat dari para pemimpin dan masyarakat serta kerja sama yang baik antara pemerintah, lembaga sipil, dan sektor swasta. Selain itu, perubahan budaya dan nilai-nilai yang mengedepankan transparansi, etika, dan akuntabilitas juga menjadi aspek penting dalam pekerjaan ini.
Bidang sastra
Berbeda dengan Keraton Surakarta yang menjadi pusat kegiatan sastra Jawa pada abad ke-18 dan ke-19, Keraton Mangkunagara tidak memperlihatkan kondisi seperti itu pada masa pemerintahan Mangkunagara I (1757-1796) hingga Mangkunagara III (1835-1853). ). Pada masa itu,  dapat dikatakan belum ada karya sastra penting yang dihasilkan di Keraton Mangkunegara. Sebab, Mangkunagaran merupakan "kerajaan" baru yang belum memiliki tradisi tertulis. Aktivitas di bidang sastra baru terlihat  jelas pada masa pemerintahan Mangkunegara IV.  Prestasi Mangkunegara IV dapat dibagi menjadi tiga periode, yaitu:
- Periode 1842-1856
- Periode 1856-1871
- Periode 1871-1881.
Â
Pada periode pertama dan ketiga, Mangkunegara IV menghasilkan karya berbentuk karya deskriptif. Isinya merupakan gambaran dan kesan yang didapat selama berkarir militer dan pemerintahan berkeliling ke daerah-daerah  dan memimpin pemerintahan praja Mangkunagaran.
Â
Di episode ketiga, ia juga menulis lagu untuk menyambut kedatangan tamu agung. Bersamaan dengan itu, Mangkunegara IV pada periode kedua menghasilkan lagu-lagu yang berisi ajaran etika atau sering disebut khotbah.
Â
Karya-karya tersebut bercerita tentang akhlak, budi pekerti, hubungan kerja  raja dengan rakyatnya, hubungan pemuda dengan keluarganya, nasehat kepada raja, prajurit dan rakyat Mangkunagaran. Sedikitnya ada 80 buah karya Mangkunegara IV. Berdasarkan isinya, karya-karya tersebut dapat dikelompokkan menjadi lima kategori, yaitu:
Â
* sejarah atau babad yang memuat sejarah:
Â
Karya dalam kategori ini memuat informasi tentang perjalanan Mangkunagara IV ke suatu wilayah tertentu, gambaran tempat tertentu, dan peristiwa yang berkaitan dengan perkembangan masyarakat Mangkunagara tertentu.
Contoh  babad adalah :
Wanagiri, Giripura, Tegalganda, Pabrik Ngadani  Tasik Madu, Ngalamat, Babad Serenan, Wredining Bangsal Tosan, Bendungan Ngadani Tambakagung, Bendungan  Ngadani  Tirtaswara, Srikaton atau Tawangmangu, Nyanjata Pansangsam, Waanggraangharnaed Waanghar, Waangharnaed, Waanghara.
Â
* surat pendidikan yang berisi nasehat dan pelajaran:
MENGAPA ?
Kategori teks pendidikan mencakup 17 karya. Karya yang termasuk dalam kategori ini antara lain Serat Warayagnya (1856), Serat Wirawiyata (1860), Serat Sriyatna (1861), Serat Nayakawara (1862), Serat Laksitaraja (1867), Serat Salokatama (1870), Serat Paliatma (1870), Surat Pariwara). , Prasasti Palimarma, Prasasti Darmawasita, Prasasti Tripama, Prasasti Yogatama, Prasasti Pariminta dan Prasasti Wedhatama. Â
Â
* serat iber, yang berisi petunjuk  pelaksanaan pemerintahan dan nasehat-nasehat yang berkaitan dengan kehidupan:
Â
Serat iber adalah surat berbentuk lagu yang ditujukan kepada Pati, pejabat, putra-putri, kerabat Mangkunegaran dan sahabat Mangkunagara IV. Serat Iberia terutama terdiri dari tiga jenis, yaitu:
Â
1. Surat yang ditujukan kepada pejabat Jalur Iberin dan Mangkunagaran berisi hal-hal yang berkaitan dengan pemerintahan dan terkait.
Â
2. surat iber yang ditujukan kepada pangeran dan  kerabatnya, berisi nasihat dan terkadang berkaitan dengan peristiwa tertentu. Â
Â
3. Surat Iber kepada sahabat memuat beberapa hal  untuk mempererat  persahabatan. Â
Â
* serat panembrama, berisi lagu untuk  tamu:
Â
Karya-karya dalam kategori panembrama Mangkunagara IV antara lain Sekar Ageng Citramengeng, Sekar Ageng Kumudasmara, Sekar Ageng Pamularsih, Sekar Ageng Kusumastuti, Sekar Ageng Mintajiwa, Sekar Tenghan Palugon, Sekar Tenghan Pranasmara, Sekarjabimas Sekar Tenghangan dan Pranghan Tenghan. IV: lagu n gerong geding-gende yang dalam hal ini semuanya berbentuk ketawang. Â
Â
* Surat repena dan  manuhara berisi peribahasa, teka-teki dan roman dalam bahasa santun:
Â
Karya Mangkunegara IV antara lain kategori Manuhara dan Rerepen meliputi Manuhara, Pralambang Rara Kenya, Pralambang Kenya Candhala, Jaka Lala, Prayangkara, Prayasmara, Rerepen dan lain-lain.
Â
Perspektif
Mangkunegara IV mempunyai pandangan dan hikmah hidup sebagai berikut: Â
Â
Tentang ajaran
Â
Ada empat ajaran pokok dalam Mangkunegara IV  yang meliputi pemujaan badan, pemujaan penciptaan (kalbu), pemujaan jiwa, dan pemujaan pikiran. Menyembah daging berarti menyembah Tuhan dengan mengutamakan aktivitas jasmani atau  lahiriah. Cara bersucinya sama dengan shalat pada umumnya, yakni menggunakan air (wudu). Pelayanan seperti ini biasanya dilakukan lima kali sehari semalam, dengan penuh perhatian, tekun, dan terus-menerus memperhatikan petunjuk seperti bait berikut:
Â
"Sembahlah tubuhku / Ahli akhlak manusia / Bersih seperti prasarana jaman dulu / Itu yang biasa lima kali / Aku mau watake wawato"
Pemujaan jasmani yang merupakan bagian pertama dari shalat empat, yaitu perjalanan hidup yang panjang, dilakukan pada masa magang  (calon  atau penjelajah kehidupan spiritual), pada awal pertapaan. kehidupan kehidupan (pemujaan badan puniku pakartining Wong amagang laku). Doa ini didahului dengan bersuci dengan air (sesucine asarana saing warih). Yang paling umum adalah ibadah badan, yang dilakukan lima kali  sehari semalam. Dengan kata lain, waktu melaksanakan shalat ini ditetapkan lima waktu sehari dan kemarin (yang biasanya lima waktu). Sholat lima waktu merupakan sholat wajib yang wajib dilakukan (oleh setiap muslim) dengan memenuhi semua syarat dan rukun (wantu wataking wawaton). Pemujaan terhadap tubuh yang demikian harus dilakukan terus menerus tanpa henti (wantu) sepanjang hidup. \ Sembah Cipta, kadang disebut sembah kalbu, seperti di bawah Pupuh Gambuh 1. dan Pupuh Gambuh 11:
Â
"Samengko sembah kalubu / Ye lumintu juga menjadi akta / Akta besar yang menjadi milik korban / tetiking kawuh / merui marag Kang kang"
Â
Kalau ciptaan itu mengandung arti gagasan, hawa nafsu, keinginan atau hawa nafsu yang tersimpan di dalam hati, hati artinya hati, maka memuja ciptaan di sini maksudnya memuja hati atau  hati, bukan memuja gagasan atau hawa nafsu. Jika ibadah jasad menekankan pada penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan polusi luar, maka ibadah hati menekankan pada pengendalian nafsu yang dapat menimbulkan berbagai pelanggaran dan dosa (kesucian tanpa air, amung nyyunida hardaning kalbu).
Â
Pemujaan terhadap ruh adalah pemujaan kepada Hyang Sukma (Allah) yang mengutamakan peran ruh. Sedangkan pemujaan terhadap ciptaan (kalbu) mengutamakan peran hati, sedangkan pemujaan terhadap ruh lebih halus dan mendalam dengan menggunakan ruh atau al-ruh. Doa ini hendaknya dihayati secara mendalam setiap hari tanpa henti  dan senantiasa dilakukan dengan tekun,
BAGAIMANA ?
sebagaimana terlihat dari ayat berikut:
"Samengko Kang tinatur/Sembahing Katri Kang sayekti katur/Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari/Arahen dipun kecapuk/Sembahing jiwa sutengong"
Â
Dalam rangkaian ajaran pemujaan Mangkunegara IV yang telah disebutkan sebelumnya, pemujaan jiwa ini mempunyai tempat yang sangat penting. Inilah yang disebut pepuntoning laku (tujuan utama atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir dari perjalanan kehidupan batin.
Â
Cara bersuci tidak dengan beribadah badan dengan air cucian atau mandi, dan tidak beribadah hati dengan menahan hawa nafsu, melainkan waspada (selalu waspada dan mengingat/mengingat akhirat/keadaan kekal), Ilahi. kerajaan Betapa pentingnya dan mendalamnya ibadah rohani terlihat jelas dalam ayat berikut:
"Sayekti lebih diperlukan / Pengingat tingkah laku / Tingkah laku batin / Ingatan jernih dan ingat / Mring mengkhawatirkan lama amota"
Â
Berbeda dengan ibadah raga dan ruh, doa ini merupakan tingkat pemula (wong amagang laku) jika dilihat dari jalur suluk, dan doa yang kedua merupakan tingkat lanjutan. Menurut penerapannya, doa pertama menekankan kesucian tubuh melalui penggunaan air, dan doa kedua menekankan kesucian hati dari pengaruh jahat syahwat dan meninggalkannya serta menggantikannya dengan protagonis.
Â
Pada doa ketiga, penekanannya adalah mengisi seluruh aspek jiwa dengan mengingat Tuhan dan sekaligus mengosongkannya dari segala sesuatu selain Tuhan. Pujian nampaknya berbeda dengan doa-doa sebelumnya. Hal ini didasari oleh rasa cemas.
Â
Doa keempat ini adalah doa hidup menurut Mangkunegara IV, mengetahui hakikat kehidupan di alam semesta. Sedangkan ibadah hati artinya beribadah kepada Tuhan dengan alat batin berupa hati atau hati seperti yang telah disebutkan di atas, ibadah jiwa artinya beribadah kepada Tuhan dengan alat batin berupa jiwa atau pikiran, ibadah batin artinya beribadah kepada Tuhan dengan menggunakan alat batin yaitu hati. jiwa Alat batin yang terakhir adalah alat batin yang terdalam dan paling halus, disebut telenging kalbu (hati terdalam) atau  wosing jiwangga (inti halus jiwa) menurut Mangkunegara IV. Dengan demikian, menurut Mangkunegara IV, tubuh manusia mempunyai tiga  alat batin, yaitu hati, jiwa/roh, dan inti jiwa/roh (telengking kalbu atau wosing jiwanganga), yang menunjukkan tatanan kedalaman dan kehalusan.
Â
Melaksanakan salat Rasa tidak lagi memerlukan bimbingan dan arahan guru seperti tiga salat sebelumnya, melainkan harus dilakukan secara mandiri dengan kekuatan batin, sebagaimana diungkapkan Mangkunegara IV dalam syair berikut:
"Semengko ingsun tutur / Â lingkang kapi sebagai ganti catur / sembah karasa karasa wosing nadara / do wus tanpa menyalahkan / hanya kasing batolla"
Â
Nilai Kearifan Lokal Karya Sastra Mangkunegaran
Â
Karya sastra dan seni yang dikembangkan di Puro Mangkunegaran mengandung kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang penting bagi kehidupan. Nilai-nilai tersebut masih dilestarikan di Puro Mangkunegaran, namun jarang dipelajari dan diterapkan dalam kehidupan masyarakat.
Â
Sikap nasionalis bangsa Indonesia ditandai dengan KGPAA Mangkunegara I (1757-1795). Konsep hidup bermasyarakat, berbangsa dan bernegara  masih dapat diterapkan hingga saat ini. Konsep melu handarbeni, wajib melu hangrungkepi, mulat sarira hangrasa Wani (rasa memiliki, rasa tanggung jawab, keberanian keras kepala dan memperjuangkan kebenaran). Pemimpin harus merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap yang dipimpinnya (rakyat) serta selalu mawas diri dan berani membela kebenaran. Motto yang kedua merupakan kependekan dari tiji tibeh, Mati Siji Mati bahe, Mukti Siji Mukti bahe yang mempunyai makna janji yang kuat untuk mengutamakan persatuan dalam  melawan musuh sehingga hasil yang dicapai adalah keberhasilan seluruh pendukung. Â
Â
Serat Wedhatama merupakan kekayaan sastra yang ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881). Wedhatama terdiri dari dua kata wedha (ajaran) dan tama (kebajikan atau kebajikan), sehingga Wedhatama berarti ajaran  keutamaan atau kebaikan. Wedhatama dapat digolongkan sebagai karya moralistik yang dipengaruhi oleh Islam. Serat Wedhatama dianggap sebagai salah satu puncak estetika sastra Jawa abad ke-19 dan mempunyai karakter mistik yang kuat dalam bentuk lagu. Rangkaian lagu macapat ini terdiri dari 100 pupuh (bait)  yang terbagi dalam lima bagian: Pangkur (14 pupuh), Sinom (18 pupuh), Pocung (15 pupuh), Gambuh (35 pupuh) dan Kinanthi (18). huuu). Kandungan Serat Wedhatama adalah falsafah hidup seperti hidup toleran, menjalankan agama secara bijaksana, manusia sempurna dan manusia ksatria. Â
Â
Karya sastra lain yang mengandung pendidikan karakter ditulis oleh KGPAA Mangkunegara IV (1809-1881) antara lain: Serat Tripama yang memuat gambaran para ksatria sejati yaitu: Sumantri, Kumbakarno dan Adipati Karno. Patung-patung ini konon merupakan kesatria yang berkorban demi tujuan mulia. Serat Tripama memuat tiga contoh yang ditulis dalam bentuk  7 bait lagu Dhandanggula tentang Patih Suwanda (Bambang Sumantri), Kumbakarno dan Suryoputra (Adipati Karno). Bambang Sumantri adalah gubernur Raja Harjunasasrabahu negara bagian Maespati. Ia terkenal karena keberaniannya, mampu menjalankan segala tugas seorang raja dan mati sebagai pahlawan melawan Rahwana. Kumbakarno merupakan adik Rahwana yang berwujud raksasa namun berani melawan Rahwana dan tidak terima dengan perbuatan kakaknya yang menculik Dewi Sinta. Namun, ketika pasukan Rama menyerbu Lanka, dia menanggapi seruan perintah tersebut untuk mempertahankan tanah airnya. Pada akhirnya Kumbakarno gugur membela negara. Adipati Karno merupakan saudara dari para Pandawa, namun ia membantu para Kurawa karena ingin membalas kebaikan para Kurawa yang telah membuatnya menderita. Adipati Karno kemudian tewas dalam duel melawan adiknya Arjuna.
Â
Terkait dengan ajaran yang terkandung dalam Serat Wedhatama dan Serat Tripama, terdapat hikmah penting yang dapat dipetik bagi masyarakat Indonesia, yaitu menjadi pribadi yang berakhlak mulia dan  ksatria. Pada masa KGPAA Mangkunegara VII (1916-1944), pendidikan seni terus rutin dilakukan demi pendidikan  budi pekerti atau akhlak mulia. Perilaku halus dapat dikembangkan melalui kajian dan penghayatan atau pengilhaman seni.
Â
Serat Wedhatama: Karya Sastra Jawa yang Mengandung Nilai-Nilai Kehidupan
Â
Kebudayaan Jawa mempunyai banyak  karya sastra. Bukan sekedar karya sastra, melainkan sebuah karya yang penuh makna filosofis bagi kehidupan manusia. Salah satunya  Serat Wedhatama.
Â
Serat Wedhatama merupakan karya sastra yang ditulis dalam aksara Jawa dan dibaca dalam tembang atau macapati. Wedhatama Fiber diciptakan oleh KGPAA Mangkunegara IV. Menurut KMT Projo Swasono yang merupakan Abdi Dalem Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, serat tersebut dibuat di Kadipaten Mangkunegaran Surakarta. Serat ini sangat baik karena mengandung banyak pelajaran tentang kehidupan manusia.
Â
"Berisi nasehat dan larangan terhadap kehidupan manusia," pungkas KMT Projo Swasono, Abdi Dalem, penanggung jawab pengelolaan Sekolah Macapati di Pendapa Wiyatapraja, Selasa (17/12/2019).
Â
KMT Swasono mengatakan, pada  zaman dahulu KGPAA Mangkunegara IV menciptakan Serat Wedhatama untuk mengatur kerabat, abdi dalem, dan rakyat di Mangkunegaran. Bertahun-tahun serat ini tetap dilestarikan dalam budaya  Jawa, mungkin bukan karena nilainya yang semakin kabur, namun masih banyak nilai-nilai penting yang dimilikinya.
Â
Lagu-lagu yang awalnya hanya ada dalam bahasa Jawa, membuat beberapa ulama mencoba menerjemahkannya ke dalam bahasa Latin. Diterjemahkan juga ke dalam bahasa Indonesia dengan harapan  masyarakat saat ini, khususnya generasi zaman sekarang, dapat memahami maknanya tanpa terhalang kendala bahasa.
Â
Salah satu upaya pemerintah dalam melestarikan nilai Serat Wedhatama adalah dengan menghadirkannya bersama salah satu nilai istimewa yang dihadirkan dalam acara Hamemayu Hayuning Bawono. Pemerintah berupaya melestarikan nilai-nilai tersebut dengan berbagai cara, mulai dari memberikan pembelajaran kepada masyarakat dan membuktikannya. Â "Tujuan pemerintah adalah menyampaikan ajaran para pendahulu kita. Setelah dibaca, barulah menerima dan melaksanakan nasehat tersebut," ujarnya.
Â
DAFTAR PUSTAKA
(Sariyatun, 2017) Reaktualisasi Ajaran Kepemimpinan dalam Serat Wedhatama Sariyatun
Prosiding Seminar Pendidikan Nasional Pemanfaatan Smartphone untuk Literasi Produktif...
Â
(Pujiartati & Sariyatun, 2017) Dekonstruksi Nilai-Nilai Etika dan Moral dalam Serat Wedhatama sebagai Media Pembelajaran SejarahPujiartati R, Sariyatun
Â
(Pujiartati et al., 2017) Pembelajaran Sejarah Berbasis Nilai-Nilai Serat Wedhatama untuk Menumbuhkan Etika dan Moral Siswa Pujiartati R, Joebagio H, Sariyatun SYupa: Historical Studies Journal (2017)