Perkenalkan namaku Anggun. Aku memiliki 3 sahabat yaitu Shifa, Sarah, dan Dave. Aku dan sahabatku adalah murid di salah satu sekolah Negeri di daerah Jakarta.
Pada suatu saat aku dan sahabat- sahabatku mendapatkan tugas dari guruku untuk melakukan observasi ke sebuah perusahaan industri yang ada di kotaku. Keesokan harinya aku dan sahabat- sahabatku melakukan observasi disebuah daerah terpencil di sudut kota Jakarta. Setelah beberapa jam aku melakukan observasi bersama sahabat- sahabatku disana banyak orang- orang yang ku temui sedang bekerja keras mencari uang. Banyak para pekerja industri yang dapat aku jadikan contoh teladan.
Akhirnya observasi pun selesai, dan aku duduk di angkutan umum untuk pulang. Selama di perjalanan yang cukup macet dikarenakan jakarta termasuk kota yang padat akan kendaraan, akhirnya aku dan sahabat-sahabatku memutuskan untuk turun dari angkutan umum dan memilih berjalan pulang. Saat sedang berjalan tiba- tiba saja langkahku terhenti karena melihat seorang anak kecil didekat lampu merah yang sedang mencari sesuap nasi. Akhirnya aku dan sahabatku menghampiri anak itu. Saat aku dekati dia, dia hanya terdiam dengan memasang wajah takut. Lalu Shifa mengatakan kepada anak itu, “tenang dik jangan takut, kakak gakada niat apa-apa kok.” Belum sempat anak kecil itu menjawab, tiba- tiba Sarah melanjutkan ucapan shifa, “Nama adik siapa?orang tua adik kemana? Kenapa adik bisa disini?” lalu adik itu sambil memasang wajah sedih ia menjawab, “nama saya Doni kak. Saya dari kecil tidak mempunyai orang tua kak.” Dengan heran, lalu aku bertanya kepadanya, “memangnya orang tua adik kemana?apakah mereka sudah meninggal?” lalu dengan tersenyum kecil adik itu menjawab, “saya tidak tahu orang tua saya sudah meninggal atau belum. Bahkan saya sudah tidak ingat wajahnya. Hehe dari kecil saya ditinggal oleh mereka.” Dengan wajah memelas Dave bertanya kepadanya, ”lalu bagaimana kamu bisa hidup sampai sekarang? Bisakah kamu ceritakandik? “ Dengan senyum dan tanpa keberatan adik itu menceritakan kisahnya, “dari kecil saya tinggal dijalanan. Dulu saat saya masih kecil ada seorang nenek- nenek yang merawat saya. Namun sayang, belum sempat saya membahagiakannya ternyata dia sudah dipanggil oleh-Nya. Banyak yang bilang bahwa ibuku seorang pelacur, dan ayahku tidak tahu siapa. Dari kecil aku mengamen untuk membiayai kehidupan sehari-hariku. Kami semua yang tinggal disini sudah seperti keluarga. Bahkan saya merasa bahwa mereka semua adalah orang tua saya. ” tanpa terasa aku dan Shifa meneteskan air mata, lalu dengan nada terisak aku bertanya kepada adik itu, “apa kamu tidak ingin sekolah? Apa kamu gak capek terus-terusan harus mengamen seperti ini?” Tiba- tiba ekspresi wajah adik itu berubah 80 derajat, dia terdiam tanpa suara dan akhirnya dia menjawab, “sebenarnya saya sangat ingin merasakan sekolah, saya ingin bisa seperti anak- anak seumuran saya yang dapat merasakan bangku sekolah, yang tinggal disebuah rumah beratap genteng bukan dibawah jembatan, saya ingin bisa makan enak dan terjamin bukan makan makanan sisa, saya ingin merasakan kasih sayang orangtua yang sebenarnya. Tapi sayang itu hanya mimpi, takdir saya ya berada disini bersama dengan mereka keluarga besar saya. Dan selamanya saya hanya bisa menjadi pengamen yang tidak ada harganya dimata mereka orang- orang berjas, bermobil mewah.” Lalu aku, Shifa, Dave, dan Sarah hanya terdiam sambil menahan airmata yang sudah cukup banyak keluar, belum sempat kami menjawab, tiba- tiba adik itu berkata, “kakak, sudah dulu yah, saya harus mencari uang kembali. Jika tidak saya bisa tidak makan.hehe terimakasih yah kak uda mau dengerin curhatan saya, kakaknya jangan pada sedih dong! Sudah dulu ya kak.” Belum sempat kami menjawab Doni sudah berlari entah kemana. Dan akhirnya aku dan sahabat- sahabatku berlanjut berjalan pulang.
Selama diperjalanan pulang kami hanya berdiam diri, sampai akhirnya keesokannya disekolah. Aku dan sahabat- sahabatku berniat untuk memberikan bantuan kepada doni, dan akhirnya aku mencoba menceritakan kepada guru- guruku dan teman- temanku. Dan tanpa disangka ternyata banyak yang merespon tentang ceritaku dan sahabat- sahabatku, akhirnya kami pun mengumpulkan dana untuk doni. Dan ternyata yang terkumpul sangat banyak, bahkan sekolahanku berniat untuk memberikan bantuan agar doni dapat bersekolah dengan gratis. Aku dan sahabatku sangat senang saat mendengar kabar baik itu, akhirnya saat pulang sekolah secepatnya aku memberitahu Doni. Akhirnya aku kembali ke lampu merah dimana aku bertemu dengan doni kemarin.
Saat aku menceritakan kepada Doni, ia sangat senang mendengarnya. Bahkan Doni yang aku kenal baru sehari itu menangis memeluk kami dan mengucapkan terima kasih, dia sangat bahagia. Aku hanya dapat berbicara didalam hati, “doni yang kupikir hidupnya sangatlah malang, tapi dia masih bisa tersenyum disetiap harinya. Doni seorang korban kemunafikan orang-orang yang ber-jas dan bermobil mewah, dibicarakan tanpa dikenal, merasa kesepian ditempat keramaian tapi dia selalu tegar, sedangkan aku yang hidupnya lebih bahagia dari dia, masih sulit untuk mengucapkan syukur.” Sejak kejadian itu aku dan sahabat- sahabatku lebih bisa menghargai kehidupanku, bahkan aku sangat bangga karena bisa bersekolah dan hidup berkecukupan. Tuhan itu adil, tidak selamanya orang akan selalu diatas, dan tidak selamanya orang kaya selalu berbahagia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H