Kesenjangan akses terhadap kesehatan ini tidak lepas dari kondisi perekonomian dan pemberdayaan disuatu negara tersebut “Money is important for health if you have little of it, but it is not only absolute income that matters. The amount of money you have relative to others influences your degree of empowerment, your freedom to be and to do. Empowerment, or freedoms, in their turn are related to better health. As we shall see, there are ways of contributing to empowerment, or freedoms, other than money.”
Meskipun begitu, namun tetap saja presentase lack of akses kesehatan mayoritas terjadi pada negara-negara berkembang. Kemiskinan menjadi faktor yang sangat penting dalam hal ini ”For poor countries, small increments in income are associated with big increases in life expectancy. It makes sense. A country with a per capita national income of less than $1,000 can afford little in the way of food, shelter, clean water, sanitation, medical and other services – relief of what I have called destitution. With a small increment in income, more things are possible.”
“.. for countries with national income less than $10,000 per head, adjusting for purchasing power. Degrees of absolute poverty are also likely to be important in explaining the gradient in child mortality in India or Uganda, for example. The higher up the wealth scale, the more likely that people have the basic necessities of life.” (Marmot 2015)
Dengan begitu maka dapat disimpulkan bahwa kesenjangan terhadap akses kesehatan pada negara-negara anggota WHO tersebut terjadi karena perbedaan kondisi perekonomian dan pemberdayaan masing-masing negara itu.
Dengan adanya kesenjangan kesehatan maka hal tersebut menimbulkan perbedaan kualitas terhadap output yang dihasilkan dan akan mengimplikasi negara tersebut. Lalu bagaimana hukum berperan dalam hal ini?
Dalam dunia internasional kita mengenal adanya International Health Regulation (IHR). IHR merupakan instrument hukum kesehatan internasional yang diadopsi dari IHR lama oleh WHO dari World Health Assembly pada 23 Mei 2005. (WHO, Revision process of the International Health Regulations 2005)
Sebagai instrumen hukum internasional IHR seharusnya menjadi alat yang efektif dalam menjadi rujukan dalam penyerataan akses kesehatan itu sendiri, namun faktanya ternyata hal tersebut tidak dapat dilakukan.
Hal ini disebabkan meskipun hukum internasional adalah suatu instrument hukum yang legal dan mengikat namun beberapa hal memang tidak dapat bersifat mengikat seperti berikut “States parties to the new IHR are not legally bound to follow WHO temporary or standing recommendations; but the new IHR contain binding limits on the types of health measures states parties can take against public health risks. These limits are designed to ensure adequate health protection with minimal interference with international traffic and respect for human rights. The lack of an enforcement mechanism in the new IHR may mean that non-compliance with rules on permissible health measures becomes a problem."(Gostin 2006)
Selain itu juga memang kondisi dan situasi dari masing-masing negara yang berbeda tidak dapat disamaratakan. Hal tersebut sebenarnya dapat menjawab pertanyaan memngapa akses kesehatan yang baik belum merata padahal negara-negara tersebut merupakan anggota WHO dimana berarti memiliki rujukan yang sama dalam aspek kesehatan berupa IHR.
IHR 2005 sebagai instrumen hukum internasional yang mengikat 194 negara di seluruh dunia, termasuk semua negara anggota WHO memiliki tujuan dan lingkup dalam mencegah, melindungi dan memberikan respon kesehatan masyarakat terhadap penyebaran penyakit secara internasional, dengan prinsip tanpa menghambat lalu lintas perdagangan dan perjalanan internasional. Instrumen hukum IHR ini mengandung sebuah regime hukum yang legal dalam sejarah antara hukum internasional dan public health.
Namun demikian IHR bukanlah sebuah “magic bullet” untuk masalah kesehatan global. Dengan hal tersebut maka hingga saat ini, potensi untuk menciptakan kesehatan yang baik termasuk akses dalam tujuan IHR tersebut hanya sebatas hitam diatas putih yang mana berarti pengimplementasiannya sendiri masih dalam fase yang kritis.