Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Praktik Rentenir Masih Mengancam Pedagang Kecil

10 November 2021   14:25 Diperbarui: 10 November 2021   14:31 272
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Meski industri keuangan modern sudah berkembang pesat, namun praktik pinjaman ala feodalisme masih "membudaya" di tengah-tengah masyarakat kelas bawah tanpa mampu mereka melawannya, bahkan terjerat semakin dalam. Praktik yang dimaksud adalah rentenir.

Kemarin, saat saya melakukan pendataan usaha perdagangan ikan di pasar Al-Mahira Lamdingin Banda Aceh, para pedagang yang tergolong pedagang kecil mengeluhkan sulitnya mendapatkan modal usaha lunak seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR). Sehingga mereka mengaku terpaksa menerima "bantuan" dari rentenir.

Para pedagang kecil yang berjumlah sekitar 50-an lapak itupun mengisahkan bagaimana akhir dari meminjam uang dari lintah darat, kebanyakan diantara mereka terpaksa berhenti berdagang gegara tagihan tidak cukup untuk menutupi hutang yang setiap hari didatangi oleh rentenir pemberi utang.

Dari mereka saya mendapatkan informasi, rentenir yang bermain di pasar ikan itu berasal dari Medan Sumatera Utara. Rentenir perempuan yang mereka sebut bank inang-inang, menawarkan jasa dengan proses mudah dan cepat.

Sistem operasi mereka dengan mendekati pedagang secara person to person. Dengan sedikit layanan yang memudahkan, si pedagang pun termakan dengan rayuan rentenir. Apalagi jika si peminjam pun dalam keadaan terdesak butuh uang cepat. Transaksi pun bisa berlangsung dalam hitungan jam.

Informan saya juga memberitahukan besaran rata-rata jumlah yang dipinjamkan. Paling sedikit, katanya, Rp500 ribu hingga paling tinggi Rp2 juta, dan dari jumlah tersebut, peminjman tinggal mencicil pokok plus bunga yang tidak jelas besarannya setiap hari.

Menurut hemat rekan-rekan sesama pedagang ikan yang ada di pasar semi modern tersebut, saat meminjam memang sangat mudah dan cepat, berbeda dengan prosedur kalau meminjam dari bank (menurut mereka bank berbelit-belit). Akan tetapi lama-kelamaan setelah berjalan, pedagang pun mulai merasakan tidak enaknya terjerat rentenir.

Seorang pedagang ikan bermodal kecil yang hijrah dari kampung halaman untuk merubah nasib, dan merantau ke kota, ia idak mau disebutkan namanya menceritakan pahitnya berurusan dengan rentenir yang tidak ambil peduli, meski penjualan sedang seret. Kata sang Narasumber, ia terpaksa menjual semua perabotan rumahnya demi untuk bisa mencicil utang ke sang rentenir yang datang menagih setiap hari.

Hingga semua barang miliknya tidak tersisa dirumahnya, sampai rumah tangganya pun hancur akibat tidak sepaham dengan istri. Lalu tidak cukup sampai disitu, usaha yang sudah lama digelutinya pun harus rela ditinggalkan karena malu ditagih utang oleh rentenir.

Ini adalah contoh kasus buruknya nasib usaha akibat terlibat pinjaman dari rentenir. Bukannya berkembang malah ambruk, hancur lebur tanpa bekas. Lantas jika hal ini sudah terjadi, yang tersisa hanyalah penyesalan yang tiada arti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun