"Dan Dia (Allah) Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. Yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Ar-Rahman. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?"-- (QS. Al-Mulk: 2-3)
Lihatlah ekosistem hutan. Ada harimau yang ditugaskan memakan hewan lain. Sementara hewan lain itu ditugaskan memakan vegetasi.Â
Apakah kita bisa menilai secara parsial bahwa harimau itu kejam?Â
Tidak, sebab harimau berguna untuk menjaga keseimbangan jumlah hewan pemakan vegetasi agar tidak kehabisan makanan.
Jadi kita tidak bisa memotret obyek secara mikro, lalu kita berikan stigma kejam. Tapi yang benar, kita harus meletakkan hal mikro itu dalam timbangan makro, agar kita bisa bijaksana, ternyata jika dilihat secara makro "kejam secara mikro" itu sejatinya "bijaksana secara makro".
Inilah yang kerap menjadi pangkal persoalan perdebatan soal stigma radikal atau intoleran. Stigma ini selalu dibingkai pandangan mikro, sengaja dilepaskan dari timbangan makro.Â
Akibatnya, setiap tindakan yang sejatinya biasa dalam kehidupan makhluk, menjadi tampak menakutkan karena diberi stigma radikal dan intoleran.
Mari kita buat ilustrasi.Â
Katak melakukan rutinitas hariannya, berburu binatang kecil seperti serangga untuk disantap. Jika ia tak melakukannya, ia kelaparan dan mati.Â
Jika kamera sengaja diarahkan pada peristiwa katak melahap serangga, apalagi dengan zoom yang sangat jelas, lalu hasil fotonya diberi caption: Katak radikal dan intoleran, barbar kepada serangga, pembaca akan terbawa opini itu, bahwa katak adalah hewan radikal, intoleran dan barbar.
Lalu kamera kita pindahkan untuk menyorot peristiwa lain.Â
Ular melahap katak hidup-hidup. Hasil fotonya lalu diberi caption: Ular radikal, intoleran dan barbar. Sebab ular memangsa katak hidup-hidup tanpa rasa belas kasihan sama sekali.Â
Persoalannya, jika ular tidak melakukan itu, ular kelaparan dan mati.Â
Tindakan itu adalah rutinitas harian ular yang normal saja. Sebuah kegiatan rutin yang biasa tiba-tiba menjadi radikal, intoleran dan barbar hanya karena permainan opini.Â
Hanya karena potret mikro.
Padahal jika semuanya ditimbang secara makro, itu adalah cara alam mempertahankan ekosistem.Â
Hal yang tampak kejam secara mikro sebetulnya keserasian dan harmoni secara makro.Â
Jika siklus itu dihentikan, demi sebuah narasi: agar tak ada lagi radikalisme, maka ular mati, katak mati, dan serangga merajalela lalu menghabiskan vegetasi, yang pada akhirnya tumbuhan mati meranggas karena digerogoti serangga.
Inilah biang kerok stigma radikal, intoleran dan barbar. Yaitu ketika ada sebagian orang yang memotret sebuah peristiwa mikro yang tampak kejam, lalu diberi caption: Radikal, intoleran dan barbar.Â
Pembaca atau penonton terbius narasinya.Â
Akhirnya opini terbentuk lalu membenarkan bahwa hal itu adalah radikalisme.
Manusia jika mau jujur, semuanya terlibat atau setidaknya menyetujui atau mengambil manfaat dari kegiatan radikalisme secara mikro. Sapi, kambing dan ayam selalu menjadi obyek "kekejaman" manusia.Â
Mereka disembelih tanpa belas kasihan demi memuaskan rasa lapar manusia.Â
Sama persis dengan katak dan ular di atas.
Jika peristiwa penyembelihan atau pembunuhan hewan tersebut dipotret, apalagi dengan memperlihatkan belati yang berlumuran darah, lalu hasil gambarnya diberi caption: Sosok radikal, intoleran dan barbar, tentu semua umat manusia dianggap terlibat dalam kegiatan radikalisme.Â
Sebab, yang bukan pelaku penyembelihan, minimal menjadi pembeli dagingnya.Â
Jika tidak, menjadi penikmat kuliner yang menggunakan daging hewan-hewan tersebut.
Tapi faktanya, tidak ada foto seperti itu yang diberi caption radikal.Â
Sebab semuanya ikut menikmati atau mengambil manfaat. Karena ia dianggap sebagai kegiatan normal dalam kehidupan manusia. Jika tidak ada yang melakukan "kekejaman" itu, tidak ada daging di pasar, dan tidak ada kuliner dengan bahan daging.Â
Pada akhirnya manusia kekurangan gizi. Manusia bisa punah karenanya. Keserasian makro rusak.
Jadi, biang kerok perdebatan soal radikal atau bukan, terpulang pada cara pandang. Bukan pada hakikat obyeknya.Â
Jika kita memotret peristiwa secara mikro, akan tampak sebagai radikal.Â
Jika diletakkan secara makro, akan bisa dimaklumi sebagai sebuah kewajaran bahkan harmoni.
Sementara memandang secara makro mau tak mau harus meminjam pandangan Allah, karena Allah Pencipta dan Maha Tahu semua sisi dan pertimbangan.Â
Allah yang punya perencanaan agar semua makhluk-Nya hidup dalam harmoni.Â
Inilah makna di balik firman Allah di atas. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H