Dan itu logika keliru karena bertentangan dengan konstitusi, bahwa para menteri merupakan pembantu tugas-tugas presiden. Seyogyanya menteri meminta maaf kepada presiden yang telah mengangkatnya.
Kendati demikian bolehlah jika dia berniat menunjukkan rasa hormat dan penyesalan atas perbuatannya kepada sang Ketum partai tempat ia berlindung.
Syukur-syukur akan mendapatkan pembelaan dari partai dan bonus pengurangan vonis dari hakim. Tetapi posisi rakyat dalam perkara ini hendaknya jangan dinomorduakan.
Ya! Rakyat Indonesia memang rakyat pemaaf. Buktinya berapa banyak pejabat negara yang melakukan korupsi tapi toh rakyat masih memaafkannya.
Maka tidak heran bila plang-plang proyek dijalan selalu terpampang kata-kata "Mohon Maaf", misalnya " mohon maaf perjalanan Ada tertanggung,'" atau "maaf ada galian PLN" dan masih banyak lagi.
Sampai-sampai untuk bicara jujur pun di Indonesia banyak yang meminta maaf terlebih dahulu sebelum mengucapkannya.
"Maaf ya kalau boleh jujur," nah kalimat seperti itu kerap kita dengar dalam percakapan sehari-hari orang dewasa didepan umum.
Aneh bukan? Masa untuk jujur saja harus minta maaf.
Begitulah ilustrasi bangsa Indonesia yang pemaaf, sehingga pelaku korupsi yang terbilang sudah benar-benar merusak sendi-sendi NKRI pun masih dimaafkan, bahkan dihormati.
Kalau demikian halnya maka makna permohonan maaf Juliari dan "komunitas" koruptor lainnya berarti hanya basa-basi.
Basa-basi politik minta maaf setelah korup.