Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Tempeli Stiker "Keluarga Miskin", Kok Saya Merasa Kurang Pas Ya?

6 Februari 2020   08:51 Diperbarui: 12 Februari 2020   15:25 4693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: petugas menunjukkan label Keluarga Miskin di rumah KPM PKH di Kecamatan Pamotan, Rembang, Jawa Tengah (sumber foto: Tribun Jateng)

Stiker berwarna hijau untuk penerima bantuan kategori keluarga miskin, hamil atau masih memiliki tanggungan anak sekolah.

Kemudian stiker warna kuning untuk keluarga miskin yang memiliki anggota keluarga sakit, baik fisik atau mental. Dan warna merah untuk keluarga miskin, yang memiliki tanggungan lansia (lanjut usia) di atas 70 tahun.

Akibatnya ratusan keluarga penerima program PKH di Aceh mengundurkan diri. Karena mereka merasa malu, saat akan dipasang stiker keluarga miskin oleh petugas PKH. Ternyata cara seperti ini sangat efektif untuk mempermalukan orang miskin.

Saya membayangkan sekiranya strategi ini diterapkan pula pada keluarga koruptor mungkin juga akan sangat menarik. Sehingga jumlah koruptor di Indonesia bisa menurun atau akan mengundurkan diri dari koruptor.

Kedua strategi ini dapat dipertimbangkan sebagai cara untuk menghemat uang negara dan menyelamat anggaran dari orang-orang yang tidak berhak.

Selain itu para pejabat pun sangat senang dan antusias saat menempeli striker 'keluarga miskin atau kurang mampu' di rumah-rumah penduduk yang menjadi sasaran. Bahkan diikuti dengan liputan media dan publikasi.

Kendatipun tidak membuat nyaman si miskin penerima bantuan karena mereka merasa dipermalukan dengan cara terhormat seperti itu. Namun pemerintah kelihatannya sangat senang dan menikmati strategi ini dengan menganggap langkah suskes penertiban.

Selain langkah teknis memperjelas status keluarga miskin atau tidak mampu yang telah diterapkan tersebut. Dampak psikologis selanjutnya bagi penerima manfaat adalah semakin tertanam dalam benak mereka status 'kami orang miskin'.

Selanjutnya bisa saja membuat keluarga ini semakin terpuruk dalam mentalitas kemiskinan mereka. Tidak mampu lagi keluar dari jeratan psikologis itu karena merasa hal itu sudah baik dan benar. Atau dengan kata lain itulah yang disebut dengan istilah 'budaya miskin/kultur kemiskinan'.  (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun