Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

MoU Helsinki, UUPA, dan Aceh Termiskin di Sumatera

11 Desember 2019   09:45 Diperbarui: 11 Desember 2019   10:09 124
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto dokumentasi KIA Aceh

a) Aceh akan melaksanakan kewenangan dalam semua sektor publik yang akan diselenggarakan bersama dengan administrasi sipil dan peradilan, kecuali dalam bidang hubungan luar negeri pertahanan luar, keamanan nasional, hal ihwal moneter dan fiskal, kekuasaan kehakiman dan kebebasan beragama, di mana kebijakan tersebut merupakan kewenangan Pemerintah Republik Indonesia sesuai dengan Konstitusi.

Selanjutnya poin 1.3. Bidang Ekonomi pada bagian 1.3.1. Aceh berhak memperoleh dana melalui utang luar negeri. Aceh berhak untuk menetapkan tingkat suku bunga berbeda dengan yang ditetapkan oleh Bank Sentral Republik Indonesia (Bank Indonesia).

1.3.2. Aceh berhak menetapkan dan memungut pajak daerah untuk membiayai kegiatan-kegiatan internal yang resmi. Aceh berhak melakukan perdagangan dan bisnis secara internal dan internasional serta menarik investasi dan wisatawan asing secara langsung ke Aceh.

Beberapa poin MoU diatas sampai saat ini belum jelas dan tidak dapat dijalankan. Aceh masih menjalankan sistim moneter terutama soal suku bunga sebagaimana kebijakan moneter secara nasional yang diatur oleh otoritas Bank Sentral yaitu Bank Indonesia (BI). Ada pihak yang menanyakan, siapa yang mengatur suku bunga di Aceh? Apakah Aceh juga memiliki bank sentral?

Dalam hal pajak juga Aceh sebetulnya memiliki keunikan tersendiri di mana zakat yang ditunaikan oleh masyarakat dapat menjadi unsur pengurang pajak yang harus disetorkan. Kekhususan ini memang hanya ada di Aceh. Ini pula yang diingatkan oleh Kepala DJP Aceh Ir. Tarmizi, M.Si saat dirinya berbicara di sebuah kampus beberapa hari yang lalu.

"Dalam konteks pajak, menurut Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) No. 11 Tahun 2006 zakat dapat menjadi pengurang pajak. Artinya ini merupakan sistim yang khas dan hanya ada di Aceh. Mestinya perintah undang-undang tersebut sudah berjalan di Aceh bahkan bisa menjadi model bagi nasional." kata Tarmizi.

Tapi sayang apa yang harusnya menjadi hak Aceh sebagai hasil perjuangan, ternyata hanya menjadi sebuah tulisan yang sekedar sebagai kesepakatan untuk mengakhiri konflik saja. Belum menjadi pintu masuk utama membawa Aceh kepada situasi yang lebih makmur dan sejahtera bagi seluruh rakyat.

Hari ini setidaknya ada lima masalah besar yang dihadapi Pemerintah Aceh. Critical Poin Aceh saat ini; (1) Daerah termiskin Sumatera. (2) Sebanyak 73 Ribu warga Aceh pengguna narkoba. (3) Beasiswa yang bermasalah  dalam pengelolaannya. (4) Mutu pendidikan Aceh masih tertinggal. (5) Korban (ODHA) HIV/Aids tergolong tinggi di Aceh.

Itulah tantangan yang harus dijawab oleh pemerintah, GAM, Politisi lokal dengan Partai Lokal (Parlok) nya, Ulama, perguruan tinggi, dunia usaha, mahasiswa/santri dan para cendekia Aceh, aktivis, tokoh-tokoh perempuan, NGO, dan seluruh komponen masyarakat Aceh untuk bersama-sama memberikan kontribusi nyata sesuai dengan peran masing-masing bagi kemajuan Aceh kedepan. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun