Selamat Milad Ke-43 bagi mantan kombatan dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang jatuh pada Rabu, 4 Desember 2019 beberapa hari yang lalu. Milad bermakna momentum mengingat kembali hari dimana GAM memproklamirkan kemerdekaan Aceh yang selama itu menurut mereka telah dijajah oleh Indonesia.
Deklarasi kemerdekaan Aceh tersebut diucapkan langsung oleh pimpinan tertinggi GAM Tgk Muhammad Hasan Ditiro kala itu di wilayah gunung Halimun Kecamatan Tiro Kabupaten Pidie, Aceh.
Paska deklarasi itu dilakukan, berbagai peristiwa pun terjadi. Mulai dari konflik bersenjata yang berkepanjangan yang menimbulkan korban tidak sedikit hingga perundingan menuju perdamaian untuk mengakhiri peperangan. Namun sebelum itu, tercatat ada peristiwa dahsyat terjadi di Aceh yang juga telah menelan korban ratusan ribu jiwa yaitu gempa dan tsunami.
Upaya GAM yang ingin memisahkan diri dari wilayah NKRI dengan mendirikan Negara Aceh boleh dikatakan secara hakikat sebagai sesuatu yang tidak bertentangan dengan hukum manapun. Sebab negara itu sendiri merupakan sebuah kesepakatan. Artinya dapat terbentuk kapan saja dan bubar kapan saja bila kesepakatan tidak lagi ada.
Namun tekad kelompok pejuang kemerdekaan yang dipimpin oleh Dr Muhammad Hasan Tiro untuk membentuk Negara Aceh lepas dari Indonesia gagal terwujud hingga beliau meninggal dunia. Meskipun para kombatan telah berjuang dan berperang selama 32 tahun lebih.
Kegagalan GAM memerdekakan Aceh puncaknya ditandai dengan lahirnya Memorandum of Understanding (MoU) Perdamaian Antara GAM dan Pemerintah Indonesia atau dikenal dengan kesepahaman untuk mengakhiri konflik. Dibawah MoU tersebut arah gerakan politik GAM secara total berubah.
Pendapat sebagian masyarakat memang mengatakan GAM telah gagal. Akan tetapi langkah untuk mewujudkan kesejahteraan bagi rakyat Aceh belum berakhir. Tidak hanya mantan GAM namun juga seluruh elemen masyarakat apalagi pemerintah Aceh, Â memiliki tanggung jawab yang besar terhadap masa depan Aceh yang lebih baik.
Beranjak dari MoU Helsinki dan kemudian ditambah dengan UUPA sejatinya Aceh sudah lebih baik dan maju dari kondisi sebenarnya bahkan dari daerah lain. Sebab kedua dokumen penting itu telah memberikan kewenangan besar terhadap Pemerintah Aceh dalam mengelola seluruh sumber daya negeri darussalam tersebut.
Namun nyatanya sampai hari ini walaupun Aceh disiram dengan uang ratusan triliun dari pemerintah pusat, Aceh masih terlilit dengan begitu banyak masalah. Mulai dari korupsi hingga serangan kristenisasi. Di bidang ekonomi pun Aceh masih jalan ditempat hingga kemiskinan di mana-mana.
Mengapa Aceh terus dalam kondisi miskin? Apakah MoU Helsinki tidak memiliki pengaruh apa-apa terhadap perekonomian? Bila kita membaca isi MoU tersebut Aceh mempunyai kewenangan begitu termasuk dalam hal ekonomi dan moneter. Misalnya Aceh berhak untuk mengatur kebijakan bunga sendiri yang berbeda dengan Bank Indonesia.
Hal ini sebagaimana diatur dalam MoU Helsinki butir a poin 1.1.2 yang tercantum dalam Undang-undang baru penyelenggaraan Pemerintahan di Aceh yang berbunyi sebagai berikut: