Dikalangan masyarakat kini muncul sejumlah tanda tanya, bagaimana stempel gubernur bisa ada di kantor Pemkab Pidie? Kemudian siapa yang membubuhi cap stempel tersebut pada LKPJ Bupati? Apakah ini disengaja atau sebuah kelalaian staf? Lalu seperti apa prosedur sebenarnya soal "cap-meucap" di lingkungan Pemkab Pidie?
Jadi pertanyaan "pat ku stempel?" yang tadinya sebagai guyonan belaka, kini justru di Pidie menjadi sangat serius hingga ada yang bilang bisa menjadi persoalan hukum dan pidana. Duh, kasihan pelakunya.
Seorang praktisi hukum di Pidie Muharam memandang keberadaan stempel Gubernur Aceh di Pemkab Pidie itu bisa masuk ranah tindak pidana karena dianggap menggandakan stempel negara atau stempel pemerintahan.
Jika kita simak pernyataan Muharam di atas, besar kemungkinan keberadaan stempel Gubernur Aceh di Pemkab Pidie merupakan barang ilegal alias haram karena diduga palsu. Tapi siapa yang berani menggandakan atau memalsukan stempel penguasa Aceh itu? Untuk apa digunakan? Apakah mungkin juga sudah lama digunakan untuk hal-hal yang melanggar hukum?
Apabila perbuatan tersebut terdapat unsur kesengajaan maka akan melahirkan konsekuensi hukum. "Jika ada indikasi kesengajaan maka secara hukum perlu dipertanggungjawabkan" kata guru besar FH Unsyiah.
Saya kira aparat penegak hukum dan pihak-pihak yang terkait dengan pembinaan Aparatur Sipil Negara (ASN/PNS) perlu melakukan penyelidikan lebih lanjut untuk mengetahui kebenarannya. Hal ini penting ditindaklanjuti agar menghindari berbagai spekulasi yang menyebabkan menurunnya kepercayaan publik terhadap Pemkab Pidie.
Selain itu Pemkab Pidie juga harus memberikan sanksi administratif terhadap oknum di jajarannya yang terlibat, supaya menjadi pelajaran bagi yang lainya karena tugas yang dijalankan adalah mengelola pemerintahan bukan mengelola rumah tangga apalagi warung kopi.
Soal stempel tidak boleh main-main sebab itu berlambang negara. Bagi pemerintah, stempel adalah legalitas atas keabsahan sebuah keputusan. Ketika sebuah laporan diberikan stempel gubernur maka nilai legalitas tersebut adalah dokumen gubernur. Maka sangat salah jika pejabat Pidie mengabaikan soal itu. Apakah mereka tidak mengerti?
Saya rasa peristiwa ini bukanlah mereka tidak mengerti prosedur. Apalagi tidak paham kalau menggunakan stempel gubernur merupakan kesalahan besar. Dugaan saya ini terdapat unsur kesengajaan dan semacam sabotase. Oleh karena itu perlu diusut apa motif pelaku dibalik kejadian ini.
Semoga kalimat seru "pat ku stempel" kini menjadi pelajaran bagi pejabat Pidie atau stafnya yang diamanahkan memegang stempel tersebut. Namun bagi masyarakat seperti saya, kalimat "pat ku stempel" justru menjadi penambah energi ketika sudah terlalu lelah menunggu 'pejabat stempel.' (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H