Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Manuver Politik Menuju 2024

8 Juni 2019   22:48 Diperbarui: 9 Juni 2019   05:27 2076
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi silaturrahmi politik [BeritaSatu.com]

Dalam dua pekan terakhir menjelang Hari Raya Idul Fitri 1440 H, keluarga Yudhoyono atau lebih dikenal dengan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menuai banyak pujian dan simpati masyarakat sekaligus cibiran sinis netizen.

Banyak menuai pujian dan simpati karena telah wafatnya Ibu Hj. Kristiani Herrawati Letjen (Purn) Sarwo Edi. Beliau menghembuskan nafas terakhirnya di sebuah rumah sakit di Singapura setelah empat bulan berjuang melawan penyakit kanker darah yang ia derita.

Semenjak dirawat SBY benar-benar membuktikan kesetiaan cintanya pada Ibu Ani hingga berakhir dengan takdir kematian. Itulah janji mereka di depan penghulu untuk saling setia sampai ajal tiba, dan janji itu oleh SBY tidak dikhianati. Karena itu pula publik semakin bersimpati pada SBY dan anak-anak mereka yang selalu mendampingi Ibu Ani sejak berada di rumah sakit tersebut.

Apakah SBY juga setia dalam berpolitik?
Tampaknya inilah asal muasal penyebab banjirnya cacian, makian, dan hujatan yang datang ke kubu SBY beserta Partai Demokrat yang dipimpinnya, bahkan sinisme itu lebih besar dari jumlah simpati yang datang saat Ibu Ani wafat. SBY dinilai oleh sebagian masyarakat Indonesia terutama netizen sebagai sosok yang tidak setia bahkan cenderung mengkhianati kawan dalam berpolitik.

SBY memang sudah identik dengan sifat ragu-ragu, inkonsisten, dan lamban dalam membuat keputusan. Publik mungkin masih ingat betapa Megawati dan Partai PDIP pernah dikhianati oleh SBY saat menjadi menterinya Bu Mega. Dan sepertinya sejarah itu terus berulang.

Walaupun hari ini (8/6) Wakil Sekjen PDIP Ahmad Basarah menilai berpindahnya dukungan Partai Demokrat ke pasangan Jokowi-Ma'ruf tak bisa disebut sebagai pengkhianatan. Menurutnya perpindahan dukungan suatu partai merupakan kewajaran dalam politik.

Terlepas apakah itu pengkhianatan atau bukan terhadap koalisi yang tergabung dalam BPN yang mengusung capres-cawapres Prabowo-Sandi, namun yang pasti, publik sudah memiliki rapor SBY, AHY, dan Partai Demokrat.

SBY kloning AHY
Kehebatan SBY dalam berpolitik tidak dapat diragukan. Sejak reformasi, satu-satunya presiden yang berhasil berkuasa dua periode, SBY lah orangnya.

Kepiawaian Ketua Umum Partai Demokrat itu bahkan tidak hanya dalam politik praktis, dalam melahirkan kader politik pun SBY sangat mumpuni. Buktinya SBY berhasil mengkloning AHY sebagai "copy-paste" dirinya.

AHY pernah berkarir di militer, tampan, dan memiliki kemampuan komunikasi yang sangat bagus, terstruktur, formal, dan sedikit jaga image (jaim), istilah zaman now. Dari jalur militer kemudian AHY menjadi putra mahkota Partai Demokrat sebagai generasi kedua trah Cikeas terjun ke dunia politik.

Mantan Cagub DKI Jakarta itu mulai aktif terjun kedunia politik, tidak tanggung-tanggung AHY langsung dipasang sebagai kontestan pilkada DKI Jakarta, padahal pengalaman politiknya masih nol besar. Hingga peran AHY dalam posisi koalisi BPN pun sangat strategis mewakili Partai Demokrat.

Publik menilai sosok AHY "kloning" SBY. Penilaian itu mencuat ketika tiba-tiba manuver AHY berkunjung ke istana dan bertemu Jokowi hampir dua kali. Padahal Prabowo-Sandi sedang berjuang menuntut keadilan atas penyelenggaraan pemilu yang diduga penuh kecurangan.

Langkah AHY tersebut tentu saja dipandang tidak beretika mana kala teman seperjuangan justru sedang berjuang di MK. Sedang AHY malah tebar pesona ke istana. Kata netizen AHY sama saja dengan SBY yang sebelumnya telah memberikan ucapan selamat bagi pasangan Jokowi-Ma'ruf, padahal kubu Prabowo-Sandi masih mempermasalahkan klaim kemenangan kubu Jokowi-Ma'ruf.

Iskandar Yusuf bahkan menulis dalam artikelnya "Berpolitik itu kita harus wajib belajar sekaligus memahami "etika berpolitik". Seorang "diktator besar" sekelas Adolf Hitler pun menerapkan "etika berpolitik" ketubuh partai Nazi-nya, yaitu, "etika moral" dan "etika kesetiaan". Bila anggota partai atau koalisinya melanggar kedua etika tersebut, Hitler dengan cerutu menyala dibibir, menembak kepala Si Pengkhianat tersebut."

AHY dan SBY dinilai telah melanggar kedua hal tersebut, melanggar etika berpolitik sekaligus etika moral dan etika kesetiaan. Karenanya AHY dipandang oleh publik tidak ada bedanya dengan karakter berpolitik ayahnya SBY.

Meskipun pemilu 2024 masih belum jelas kepastiannya. Namun para politisi dan partai politik sudah mulai merancang untuk meraih keuntungan besar pada pesta demokrasi akan datang.

Sementara di tahun 2024 banyak tokoh-tokoh politik yang masih aktif saat ini akan memasuki masa pensiun karena dimakan usia. Mereka terpaksa istirahat karena sudah uzur.

Di antara tokoh itu termasuklah SBY, Megawati, Yusuf Kalla, Prabowo Subianto, Surya Paloh, Wiranto dan sejumlah politisi lainnya. Mereka tidak dapat lagi berperan lebih besar lagi dalam politik Indonesia karena faktor usia.

Lantas untuk menjaga trah masing-masing, SBY dan Megawati berusaha agar penerus mereka dapat semakin eksis dan dikenal oleh publik agar popularitas mereka semakin meluas. Sehingga akan mudah terpilih nantinya.

Tidak diragukan lagi jika Megawati sedang mempersiapkan Puan Maharani, maka SBY juga melahirkan putra mahkotanya, siapa lagi kalau bukan AHY. Akan tetapi nilai jual mereka berdua diperkirakan tidak terlalu menarik. Apalagi AHY yang kini mulai membuat kepercayaan publik semakin menurun.

Keluarnya SBY dan Megawati dari dunia perpolitikan karena sudah uzur akan berpengaruh kepada partai masing-masing. Puan Maharani tidak memiliki trah langsung Soekarno sehingga loyalis Bung Karno belum tentu masih bertahan di PDIP. Begitu pula AHY, dengan jejak politik zig zag seperti sekarang ini akan sulit mendapatkan dukungan bagi dirinya dan Partai Demokrat.

Akibatnya proses regenerasi di tubuh Partai Demokrat dan PDIP akan mengalami kegagalan meraih suara terbanyak di tahun 2024. Bagaimana pun, jalan politik yang dipertontonkan hari ini menjadi rapor bagi publik untuk menentukan pilihan pada pemilu 2024. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun