Mohon tunggu...
Hamdani
Hamdani Mohon Tunggu... Konsultan - Sang Musafir - Mencari Tempat untuk Selalu Belajar dan Mengabdi

Kilometer Nol

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Menyoal Quick Count, Lembaga Survei dan Kecurangan Pemilu

21 April 2019   21:59 Diperbarui: 21 April 2019   22:13 485
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prabowo-Sandi paslon capres 02 | tribunnews.com

Pilpres 2019 telah berakhir, meskipun belum seluruh tahapannya dapat dinyatakan tuntas. Karena saat ini proses perhitungan suara masih berlangsung sampai diumumkan oleh KPU pada 22 Mei 2019 mendatang.

Tetapi meskipun rekapitulasi suara berdasarkan C1 dan C1 plano masih berjalan, kedua kubu pasangan calon presiden dan wakil presiden telah mengumumkan kemenangan bersadarkan klaim masing-masing.

Jika kubu paslon 01 menyandarkan klaim kemenangannya pada hasil quick count lembaga survei, maka kemenangan kubu 02 paslon Prabowo-Sandi berdasarkan hasil real count internal badan Pemenangan Nasional (BPN) yang dilakukan oleh relawan Prabowo-Sandi dan tim nasional.

Akibat saling klaim tersebut kini suara publik terbelah. Perdebatan publik meningkat tajam baik di media mainstream maupun media sosial. Media mainstream yang ikut menyiarkan hasil quick count lembaga survei melawan media sosial dengan posting C1 plano yang kumpulkan para relawan paslon dilapangan.

Perang opini berlangsung sangat seru. Semua pendukung paslon 02 haqul yakin kandidatnya menang. Mereka memiliki keyakinan mendalam bahwa paslon jagoan mereka akan memenangi pilpres 2019 dengan syarat tidak dicurangi. Begitu pula sikap 01 dan para pendukung.

Memperdebatkan hasil pilpres berdasar klaim, membuat kita hanya berorientasi pada hasil, tanpa peduli bagaimana prosesnya. Situasi ini sangat menyedihkan. Tak peduli bagaimana prosesnya. Halal, haram, hantam, yang penting menang.

Lebih jauh perdebatan publik telah semakin mengkristal pada polarisasi tertentu. Polemik hasil pemilu yang dirilis oleh lembaga survei Indonesia (LSI) sebagai salah satu contoh betapa publik tidak percaya validitas dan keakuratannya. Sehingga LSI pun dipleset menjadi Lembaga Survei Istana (LSI).

Dugaan awam publik yang menuding bahwa lembaga survei dilingkaran istana telah menyembunyikan sesuatu menjadi semakin diyakini bukanlah sebuah isapan jempol belaka. Hal ini terkuak melalui pendapat yang tidak sejalan antara Denny JA dan Bambang Setiawan.

Polemik antara peneliti senior Litbang Kompas Bambang Setiawan dengan Denny JA membongkar fakta yang disembunyikan. Denny seperti disebut oleh Bambang menyembunyikan "angsa hitam." Menggelembungkan elektabilitas Jokowi.

Dapat dibayangkan bagaimana orang sekaliber Bambang Setiawan dengan media Kompas yang dikenal sebagai barisan pendukung petahana mempertanyakan sepak terjang Denny JA yang juga loyalis inkumben. Berarti ada hal yang mereka sembunyikan.

Namun kita sebagai masyarakat biasa dan bukan politisi yang berada dalam salah satu kubu tentu harus hati-hati dan bijak menyikapi hal ini. Jangan tergesa-gesa menuduh, menuding, apalagi sampai menghina pihak-pihak yang kebetulan berseberangan dengan aspirasi politik kita sebagai rakyat.

Hindari memposting hal-hal yang dapat menimbulkan persoalan hukum, seperti baru-baru ini dilakukan oleh istri seorang artis dan aktor terkenal Andre Taulani. Reinwartia Trygina (Erin Taulany) yang memposting foto sang capres disertai dengan kata-kata yang dianggap menghina. BPN menilai tindakan Erin keterlaluan.

Meskipun tindakan Erin Taulani bukan hanya ia sendiri yang lakukan. Bahkan tidak sedikit pula pendukung 02 yang melakukan hal-hal yang tidak pantas terhadap Jokowi, namun bedanya penghinaan terhadap presiden langsung ditangani Kepolisian RI. Dan banyak yang dijebloskan dalam penjara seperti Jonru.

Sikap yang paling tepat adalah kita menunggu hasil perhitungan suara oleh KPU RI walaupun di KPU sendiri juga banyak kejanggalan-kejanggalan yang terjadi. Beberapa kali terjadi kesalahan fatal yang dilakukan oleh KPU dalam mengimput data yang merugikan paslon 02.

Sehingga cara pandang publik terhadap KPU mulai berubah dan masyarakat mulai kurang percaya pada independensi KPU. Lalu tidak dapat dihindari jika ada suara-suara masyarakat yang mengatakan pemilu 2019 penuh kecurangan.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sendiri mengakui pemilu kali ini sangat banyak kecurangan. Laporan yang masuk dari 121.993 TPS, Bawaslu mendapati petugas KPPS di 4.589 tidak netral. Padahal total jumlah TPS sebanyak 809 ribu.

Termasuk Bawaslu juga mencatat sebanyak 6,7 juta pemilih tidak mendapatkan undangan memilih atau formulir C6 yang teridentifikasi sebagai pemilih potensial paslon 02.

BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno sendiri mengklaim menemukan 1.261 laporan tindakan kecurangan dalam Pemilu 2019 yang menurut mereka bakal dilaporkan ke Bawaslu.

Namun apapun yang terjadi, kita sebagai rakyat tetap menjaga Indonesia ini sebagai rumah besar kita bersama. Kita mesti merajut kembali persatuan dan kesatuan sebagai sebauh bangsa besar. Terlalu murah harganya negara ini kita hancurkan karena kepentingan kekuasaan sesaat.

Tugas besar kita bersama untuk menyatukan bangsa yang terpecah belah, terkotak-kotak dalam dua kubu besar yang saling mengintai, mencari-cari kesalahan dan saling menjatuhkan satu sama lain yang akhirnya membuat bangsa ini lemah karena tercerai berai.

Adapun kepada penyelenggara pemilu tentu saja wajib menjaga amanah rakyat dengan baik, tidak boleh ada kecurangan yang disengaja karena ada tekanan dan permintaan pihak-pihak yang ingin memanipulasi "suara Tuhan". Mari kita bekerja secara ikhlas, amanah, dan tuntas. (*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun